TERCIDUKNYA artis beken berinisial VA kembali menguak tabir prostitusi yang melibatkan artis. Angka transaksinya mencengangkan: 80 juta rupiah. Kabar ini lantas viral dan jadi perbincangan.
Dari masa ke masa, faktor ekonomi (baca: uang) memang selalu memainkan peran utama dalam bisnis esek-esek macam ini. Di kalangan selebritis, gaya hidup yang serba glamor menuntutnya agar terus eksis. Dan ini perlu biaya tinggi. Tidak heran keputusan untuk melacurkan diri jadi opsi. Apalagi di zaman sekarang, semakin majunya teknologi informasi, memungkinkan bisnis prostitusi dilakukan secara daring. Bila sudah berususan dengan hukum, kaum perempuanlah yang paling merasakan nahasnya.
Kembali ke masa silam, fenomena yang hampir serupa juga pernah mewarnai kehidupan masyarakat perkebunan di tanah Deli, Sumatera Timur. Prostitusi awalnya diperkenalkan sebagai solusi persoalan sosial di perkebunan. Seiring waktu, ia menjadi bisnis hitam yang mengeksploitasi perempuan.
Sejak lahan di buka tahun 1860, penggarapan perkebunan tembakau Deli hanya menggunakan tenaga kerja laki-laki. Pertama-tama didatangkan kuli dari Tionghoa kemudian Jawa. Maraknya praktik homoseksual di kalangan sesama kuli lelaki mendorong para tuan kebun merekrut pekerja wanita.
Baca juga: Dari Tiongkok ke Deli
Pada 1873, kuli-kuli perempuan didatangkan dari Jawa. Mereka dikaryakan untuk pekerjaan ringan, seperti menyortir daun tembakau. Tidak heran mereka menerima upah yang lebih kecil daripada kuli laki-laki. Mereka hanya mendapat 1,5 gulden atau 2,20 dolar, setengah dari pendapatan buruh pria. Selain itu, kuli perempuan tidak diberi fasilitas tempat tinggal. Untuk bermukim, mereka harus membaur di barak laki-laki.
Menurut Ann Laura Stoler dalam Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979, banyak dari kuli perempuan yang datang dari Jawa ke Deli karena tipu daya. Sebelum hijrah, mereka dijanjikan pekerjaan sebagai buruh perkebunan dengan upah tinggi. Setiba di Deli, kenyataan berbicara lain. Bahkan, untuk tempat tinggal saja kuli perempuan ini tidak diberi fasilitas.
Untuk melanjutkan hidup yang lebih berada, kuli perempuan dijepit oleh keadaan. Mereka dihadapkan pada pilihan terbatas: tetap menjadi kuli perkebunan dengan upah yang sangat sedikit atau memperoleh penghasilan tambahan dengan melacurkan diri. Sejarah mencatat, cukup banyak yang melakoni pilihan terakhir.
Menurut Jan Breman, sejarawan Belanda yang meneliti sejarah perkebunan di Hindia, kuli-kuli perempuan di perkebunan Deli sejatinya memang diproyeksikan untuk menjadi pelacur. Mereka terpaksa melacurkan diri demi sekedar bertahan hidup atau supaya bisa membeli kebutuhan seperti pakaian, sabun, bedak, dan lulur. Akibatnya, terjadilah praktik prostitusi.
Baca juga: Yang terbuai di perkebunan Deli
Transaksi sekaligus praktiks seks kerap terjadi di tengah rerimbunan tembakau ataupun di barak-barak tempat tinggal para kuli lelaki. Pasangan yang merasa cocok akan mengikat diri ke dalam relasi sejoli meski tanpa status pernikahan. Di sisi lain, tuan kebun pemilik modal diuntungkan karena prostitusi menjadi alat pemancing untuk membuat betah kuli laki-laki bekerja di perkebunan. Bahkan, tidak jarang pula tuan kebun yang terhormat itu juga ikut memakai jasa kuli perempuan guna memuaskan birahinya.
“Menurut anggapan yang berlaku di perkebunan; semua kuli perempuan adalah pelacur, atau terpaksa menjadi pelacur,” tulis Jan Breman dalam Menjinakan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20. “Walaupun demikian, para tuan kebun memanfaatkan juga pelacur kontrak itu untuk memuaskan nafsu seksual mereka, yang berarti bersaing dengan dengan kuli lelaki.”
Baca juga: Ronggeng Deli, hiburan orang Melayu yang mati suri
Perempuan lagi-lagi menjadi pihak yang paling nelangsa. Dalam romannya Berjuta-juta dari Deli: Satoe Hikajat Koeli Contract, - yang diadaptasi dari brosur De Millioenen uit Deli yang terbit pada 1902 - Emil W. Aulia menggambarkan penderitaan kaum kuli perempuan. Katanya, Di Deli, perempuan-perempuan muda Jawa hidup lebih menderita dibandingkan orang Kristen yang hidup di zaman Romawi era Kaisar Nero.Mereka menjadi korban nafsu kuli pria Tionghoa selama masa kontrak tiga tahun lamanya.
“Tuan-tuan kebun membiarkan perempuan-perempuan Jawa hidup dalam kelaparan hingga mereka kemudian dijadikan santapan pria-pria Cina,” tulis Emil. “Perempuan-perempuan Jawa, baik lahir maupun batin, sangat menderita dan pengusaha perkebunan menganggap hal itu bukan sesuatu yang serius.”
Baca juga: Derita kuli di Tanah Deli