TIGA pasang pria dan wanita berhadap-hadapan. Mereka menari sambil melepas rasa dalam balutan pantun. Saling sahut-menyahut, mencurahkan nyanyian isi hati. Gesekan biola dan akordion mengiringi dendang irama Melayu. Penyayi dan penonton tenggelam dalam alunan ria pertunjukan. Demikianlah suasana riuh Ronggeng Deli yang diadakan komunitas Melayu di anjungan Sumatra Utara Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, 2 September 2015.
Ronggeng Deli dimulai sejak tanah Deli dibuka menjadi perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Kesenian ini menjadi sarana mengungkapkan perasaan. Roman Merantau ke Deli karya Buya Hamka mengisahkan, kesenian ronggeng telah menjadi hiburan yang diminati masyarakat kebun.
“Dan yang asyik menonton ronggeng itupun, bila sudah bersangatan asyiknya, ada yang tampil ke muka, sama-sama menari dengan sehelai selendang bersama perempuan ronggeng itu, sama-sama berbalas pantun! Demikianlah kehidupan di perkebunan, kehidupan dalam lingkungan Punale Sanctie,” tulis Hamka. (Baca: Derita Kuli di Tanah Deli)
Pembeda Ronggeng Deli dengan Ronggeng Jawa adalah seni berbalas pantun yang menjadi ciri khas orang Melayu. Selain itu, instrumen biola dan akordion memperlihatkan pengaruh Portugis yang menduduki Malaka pada abad ke-16. Umumnya, Ronggeng Deli dimainkan oleh tiga pasang penyanyi dan lima orang pemain musik.
Ronggeng Deli semakin populer pada dekade 1920-1930-an. “ Ronggeng biasanya digelar di pasar malam atau hajatan. Sampai-sampai dipanggil ke istana untuk menghibur sultan dan pejabat Belanda,” tutur Totok Sam, seniman Ronggeng Deli generasi ketiga. Pantun-pantun yang dilantunkan berkisah tentang kehidupan, seperti percintaan, nasihat, hingga ratapan kepada Tuhan.
Walaupun dilakukan berpasangan, Ronggeng Deli tidak memperbolehkan lelaki dan perempuan bersentuhan. “Jangan coba nyentuh, tak boleh. Menyanyi boleh, berjoget pun boleh. Tapi jangan coba nyentuh. Kalo di (Ronggeng) Jawa kan sampai bisa masuk duit ke tetek. Melayu identik dengan Muslim, itulah yang kami jaga,” terang Totok dengan logat Melayunya.
Menurut peneliti dan pemerhati budaya Melayu, Rizaldi Siagian, Sultan Serdang-lah yang memberi perhatian besar terhadap Ronggeng Deli. “Sultan Serdang membagi-bagikan lahan kepada seniman dan memelihara kesenian Ronggeng Deli di istana. Liuk tari yang terdapat dalam Ronggeng Deli adalah cikal bakal dari tari Serampang Dua Belas,” kata Rizaldi.
Menurut Rizaldi, ketika pendudukan militer Jepang, Ronggeng Deli terdekonstruksi. Dalam pertunjukan Ronggeng Deli, kegiatan prostitusi disusupkan untuk melayani serdadu-serdadu Jepang. Hal ini kemudian menimbulkan stigma negatif di masyarakat. Tuduhan Ronggeng Deli adalah seni erotis dan seronok tidak dapat terelakkan. Sejak itu, Ronggeng Deli kerap dipandang sebelah mata, meskipun masih diminati masyarakat Melayu Deli, khususnya di Medan.
Di kota Medan, komunitas seniman Ronggeng Deli berbasis di pinggiran Sungai Deli (Jalan Raden Saleh), di mana banyak masyarakat Melayu bermukim. Namun seiring waktu, Ronggeng Deli kian meredup.
Dalam pertunjukan Ronggeng Deli, semua orang dapat berpartisipasi. Penonton, jika senang hatinya dapat ikut berjoget. Hal ini kemudian terkontaminasi dengan budaya urban kota Medan yang semakin maju. Akibatnya, citra Ronggeng Deli semakin buruk di mata masyarakat.
“Misalkan di setiap pertunjukan ronggeng, datanglah perempuan ntah dari mana-mana. Ikut dia nimbrung di situ. Tau-tau ada laki-laki yang sor (berminat) sama dia, usai nari dibawalah (kencan berlanjut). Tempat ronggeng tuh jadi buruk kan,” kata Totok.
Selain itu, tulis Kompas 12 September 1992, citra Ronggeng Deli kemudian diidentikan dengan minuman keras. Banyak rumah-rumah yang menggelar pertunjukan ronggeng menjajakan minuman keras, seperti kamput (kambing putih) dan tuak. Hal ini acap kali membuat kegaduhan tengah malam karena banyak yang mabuk-mabukan.
Pada pertengahan 1980-an, pemerintah Kota Medan menggusur permukiman Sungai Deli. Akibatnya, ruang publik pertunjukan Ronggeng Deli ikut tergusur. “Tempat mereka tampil di gusur, senimannya diusir dan terpencar. Jadilah Ronggeng Deli menjadi kesenian yang terbuang. Ironisnya yang membuang justru pemerintah yang tidak mengerti seni,” kata Rizaldi.
“Padahal Ronggeng Deli itu adalah kesenian cerdas. Ia bisa menyatukan dan menyuarakan antaretnis Melayu Sumatera. Orang Batak, Karo, dan Mandailing punya tradisi pantun. Ketika itu dapat bergabung dalam ronggeng, mereka bisa kontribusikan menjadi karya-karya disini, ke dalam bahasa Melayu. Hal ini bisa menjadi pergaulan dan kritik sosial karena yang diungkapkan biasanya adalah problema-problema kehidupan. Di pagelaran ini, kita mencoba merevitalisasi kesenian Ronggeng Deli itu,” tutup Rizaldi.
[pages]