AWAL bulan menjadi waktu yang paling ditunggu-tunggu kuli kontrak perkebunan tembakau Deli. Masa gajian berarti akan segera tiba. Pihak perkebunan biasanya menyuguhi para kuli dengan serangkaian hiburan semisal pertunjukan wayang atau teater Tionghoa. Rombongan khusus dari Malaka atas biaya perusahaan perkebunan sengaja didatangkan. Itu adalah pesta besar ala masyarakat perkebunan Deli.
“Yang jauh lebih penting untuk mengurangi kebosanan dibandingkan dengan pesta-pesta khusus itu adalah permainan judi,” ungkap Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli. “Hiburan inipun secara resmi dibatasi hanya untuk masa lumbung (masa panen), dan untuk itu disediakan bangsal khusus.”
Menurut Breman, para majikan mempersukar kebebasan para kuli bergerak di luar perkebunan. Permintaan cuti tak pernah dikabulkan untuk mencegah kuli melarikan diri. Dengan demikian, hiburan pun hanya dapat dilangsungkan di perkebunan. Judi dadu merupakan salah satu hiburan yang begitu digemari kaum kuli Deli.
Bisnis hiburan gelap ini dikelola oleh pemuka Tionghoa kaya setempat. Sementara pengorganisasiannya dilakukan para mandor yang menyalurkan kredit terhadap para kuli yang berniat meminjam uang. Pelesiran dan kesenangan yang dialami kuli kontrak ibarat penjara tak kasat mata. Mereka dibuai tanpa sadar. Tujuannya membuat kuli-kuli tersebut hidup dalam kemelaratan. Dengan begitu, kuli-kuli tak akan berdaya menolak perpanjangan kontrak yang disodorkan.
“Selain membuka kedai kelontong yang melayani kuli-kuli sehari-hari, mereka menjual opium, mengelola rumah gadai, menjadi bandar judi dan membangun barak-barak pelacuran,” ujar Emile W. Aulia dalam roman Berjuta-juta dari Deli
Nikmat berujung Sengsara
Dalam roman lain Merantau ke Deli, sastrawan Hamka berkelakar bila sang buruh menang judi, berseri-seri lah mukanya. Ada pula yang geram menepuk-nepuk tangan ke paha. Sebabnya, uang gaji yang baru diterima pukul lima sore telah lenyap di meja judi pukul tujuh malam. Penyelenggaraan judi menjadi senjata bagi pengusaha perkebunan untuk menjerat kuli. Mereka yang telah datang ke Deli sebagai pekerja kebun sukar untuk kembali ke tempat asal karena harus memperbaharui kontrak.
“Tetapi biasanya alasan untuk memperbaharui kontrak adalah habis ludasnya uang simpanan tabungan buruh itu selama suatu pesta pasar malam yang diselenggarakan oleh onderneming pada setiap akhir tahun penanaman di mana segala hiburan termasuk perjudian diadakan,” tulis Karl Pelzer dalam Toean Kebun Toean Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria.
Seperti judi, candu pun dibiarkan masuk ke lingkungan perkebunan. Obat penenang berupa daun opium yang dibakar dalam pipa ini diakrabi para kuli terutama dari Tionghoa. Bagi mereka, menghisap candu menjadi sarana kenikmatan pelepas penat sehabis bekerja setiap hari. Namun pengunaan candu menyebabkan ketergantungan yang justru melemahkan fisik. Selain itu, candu akan melilit kuli ke dalam kemiskinan karena memaksanya untuk berutang.
Pemerintah kolonial punya kepentingan dibalik konsumsi candu para kuli. Breman mencatat, biaya pemerintahan dalam negeri, pengadilan, dan penempatan tentara seluruhnya dapat ditutup dengan uang borongan candu yang berarti dibayar oleh para kuli. “Penghasilan ini merupakan surplus yang tidak kecil untuk anggaran belanja daerah pada umumnya,” ujar Breman.
Pada 1901, pengeluaran pemerintah di Sumatera Timur sejumlah 2.200.000 gulden sedangkan pemasukan mencapai 5.300.000 gulden. Dari total pemasukan itu, candu menyumbang 2.259.500 gulden dan judi sebesar 2.321.980 gulden. Dengan demikian, Sumatera Timur mencuat sebagai kawasan penghasil devisa terbesar pemerintah kolonial dibanding hampir semua daerah di Hindia Belanda.
Nasib Buruh Perempuan
Selain judi dan candu, kuli perempuan yang dilacurkan juga menjadi komoditas komersil di kebun Deli. Perekrutan kuli perempuan baru dilakukan pada 1875. Mereka dipekerjakan untuk menggaru tanah, menyortir, memilah, menggantung, hingga mencari ulat tembakau. Memasuki abad 20, dari 62.000 pekerja di perkebunan Deli, hanya 5.000 yang perempuan.
Ann Laura Stoler dalam Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979 menyebut kuli perempuan didatangkan dari Jawa dan didatangkan dalam kondisi belum menikah. Mereka ditipu akan dipekerjakan sebagai kuli dengan penghasilan yang cukup tinggi. Tetapi sebenarnya, mereka juga dipekerjakan sebagai pelacur untuk membuat betah pekerja laki-laki - terutama kuli asal Jawa – untuk memperpanjang kontraknya. Lelaki Jawa sebagaimana diungkap Breman betapa sulit bertahan hidup di perkebunan tanpa kehadiran perempuan.
Kuli perempuan terpaksa melacurkan diri. Mereka hanya menerima upah 1,5 gulden sebulan, setengah dari pendapat pekerja laki-laki dan tak mendapat tempat penampungan. Akibatnya, mereka punya fungsi lain di perkebunan: memikat pekerja laki-laki di malam hari.
Dalam skripsinya “Pelacuran pada wilayah Perkebunan di Deli tahun 1870-1930” di Universitas Sumatera Utara, Wahyu Putra Kelana mencatat pelacuran terjadi pada setiap malam gajian. Di saat itulah kuli perempuan akan berdandan dengan cantik dan menjadi penari ronggeng. Setelah pertunjukan ronggeng, praktik pelacuran dimulai. Pengusaha perkebunan turut memfasilitasi dengan membangun tenda-tenda prostitusi di tanah-tanah kosong perkebunan.
Tak hanya kuli, beberapa tuan kebun menikmati praktik pelacuran di perkebunan. Mereka mengambil kuli perempuan yang cantik untuk dijadikan nyai. Adapun yang berparas biasa saja menjadi jatah kuli-kuli yang telah lama bekerja sebagai istri tanpa ikatan pernikahan yang resmi.
Maraknya pelacuran atau prostitusi membuat penyebaran penyakit kelamin mewabah di perkebunan. Para kuli perempuan rentan terjangkit sifilis karena kerap berganti-ganti pasangan. Dampak lain yang ditimbulkan adalah terjadinya praktik pergundikan dan maraknya anak-anak yang lahir di luar nikah.