Masuk Daftar
My Getplus

Mayoritas Responden Tuntut Belanda Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945

Sebagian besar responden tidak menerima sikap Belanda yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 02 Des 2021
Sukarno membacakan naskah Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. (Arsip ANRI).

Untuk mengetahui bagaimana pendapat publik Indonesia mengenai penjajahan Belanda di Indonesia, Historia.id dan De Volkskrant, harian nasional Belanda, bekerja sama melakukan jajak pendapat yang berlangsung dari 17 Agustus 2021 sampai 16 September 2021. Respondennya adalah pembaca Historia.id di seluruh Indonesia. Sebanyak 1.604 responden dari 34 provinsi berpartisipasi dalam survei ini.

Michel Maas, wartawan senior De Volkskrant, dalam artikel pengantar survei yang dimuat di De Volkskrant dan Historia.id, menyebut bahwa Belanda menolak mengakui 17 Agustus 1945 sebagai momen kemerdekaan Indonesia. Bagi Belanda, Indonesia baru merdeka pada Desember 1949, ketika Belanda dan Indonesia menandatangani apa yang disebut dalam buku-buku sejarah Belanda sebagai De Overdracht (penyerahan kedaulatan). Bagi orang Belanda, argumen ini absah dari segi hukum.

Baca juga: Mencari Titik Temu Dua Sudut Pandang Sejarah

Advertising
Advertising

Soal tersebut menjadi pertanyaan dalam survei yang diajukan kepada responden: “Apakah Anda dapat menerima sampai saat ini Belanda masih mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, bukan 17 Agustus 1945?”

Hasilnya, sebagian besar responden (52,00%) “tidak menerima” karena pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945 Belanda telah kehilangan otoritasnya atas Indonesia. 24,06% responden juga “tidak menerima” karena Belanda seharusnya mengakui kemerdekaan Indonesia terjadi pada 17 Agustus 1945. Responden yang “menerima” sebanyak 16,27% dengan alasan karena peralihan kedaulatan secara formal terjadi pada 27 Desember 1949.

Mengapa Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945? Menurut Michel Maas, kalau Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, artinya Belanda mengakui bahwa mereka berperang selama empat tahun di wilayah negara Indonesia merdeka. Sama artinya dengan invasi yang bisa menjadi serangkaian klaim ganti rugi Indonesia atas Belanda untuk kerusakan yang berkepanjangan.

Penandatanganan hasil Konferensi Meja Bundar. (Wikimedia Commons).

Pengakuan De Facto

Bagi pemerintah Indonesia, persoalan pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 seakan tidak urgen. Pada 1995, menjelang kunjungan Ratu Beatrix, Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas mengatakan kepada Ranesi (Radio Nederland Seksi Indonesia), “Moeten wij oude koeien uit de sloot halen? (Haruskah kita membongkar hal-hal masa lalu?).”

Mengapa demikian? Menurut Aboeprijadi Santoso, mantan wartawan Ranesi, dalam tulisannya di Historia.id, karena pemerintahan Orde Baru, yang membuka dan merawat hubungan diplomatik dengan Belanda, secara pragmatis berkepentingan demi hubungan dagang dan pembangunan ekonomi.

Baca juga: Di Balik Permohonan Maaf Belanda

Joss Wibisono, mantan wartawan Ranesi, menambahkan bahwa Pangeran Bernhard mendesak putrinya, Ratu Beatrix, supaya tidak mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada 17 Agustus 1995.

“Kalau berlangsung tepat pada peringatan 50 tahun Proklamasi kemerdekaan, maka kunjungan itu bisa diartikan sebagai pengakuan Belanda pada Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Itu artinya sia-sialah tugas para veteran yang dikirim ke Indonesia selama perang kemerdekaan 1945–1949. Akhirnya, kunjungan kenegaraan itu berlangsung pada 21 Agustus 1995,” tulis Joss dalam artikelnya di Historia.id.

Sepuluh tahun kemudian, Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot berkunjung ke Indonesia dan menghadiri peringatan Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 2005. Dia menyatakan bahwa “Belanda berada pada sisi yang salah” pada masa Perang Dunia II di Indonesia. “Kehadiran saya dapat dipandang sebagai penerimaan (aanvarding) secara politik dan moral terhadap tanggal (17 Agustus 1945) tersebut,” ujar Bot.

Baca juga: Van Mook, Tokoh Belanda Kontroversial dalam Memori Orang Indonesia

“Dengan kata lain, Bot tak menyatakan pengakuan politik-yuridis (de jure, red.) terhadap kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 melainkan ‘menerima’ secara de facto (politik-moral, red.) kemerdekaan,” tulis Aboeprijadi.

Michel Maas menyebut bahwa kehadiran Bot itu adalah pengakuan. “Pengakuan bahwa di Belanda ada kesadaran bahwa kemerdekaan Indonesia secara de facto sudah mulai pada 17 Agustus 1945 dan bahwa kami, enampuluh tahun setelahnya dengan murah hati menerima fakta itu dalam arti politik dan moral”.

Pengakuan Bot itu terkesan melarikan diri dengan menggunakan kata de facto. Belanda telah mengakui 17 Agustus secara de facto, tetapi itu sangat berbeda dengan de jure, secara hukum.

Baca juga: Tanam Paksa Periode Terburuk Penjajahan Belanda

De-jurisme ini telah lama menjadi ciri khas sikap Belanda berhubungan dengan sejarah: sebuah upaya untuk tidak pernah mengatakan sesuatu secara terus terang dalam arti yuridis dan tidak bersedia menggunakan kata-kata yang disarankan dalam sudut pandang itu,” tulis Maas.

Dengan demikian, lanjut Maas, pemerintah Belanda selalu mencari keseimbangan antara kesalahan dari masa lalu dengan beberapa isu sensitif, misalnya veteran-veteran perang Belanda yang merasa tersingkirkan, janji-janji yang tidak realistis kepada orang-orang Maluku dan Papua, dan warga Indo yang memikul beban dari trauma yang dalam.

Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot (kanan) pada 2005. (Robert Ward/Wikimedia Commons).

Pengakuan De Jure

Pemerintah Belanda telah beberapa kali meminta maaf atas kekerasan yang dilakukan tentara Belanda di Indonesia setelah Proklamasi kemerdekaan. Terakhir, permintaan maaf dan penyesalan disampaikan Raja Belanda Willem Alexander, saat berkunjung ke Indonesia pada 2020. Selain itu, Belanda juga telah memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada keluarga korban dalam kasus kekerasan di masa revolusi yang diputuskan pengadilan Belanda, yaitu pembantaian Rawagede dan pembataian Westerling di Sulawesi Selatan.

Namun, bagi Batara Hutagalung, salah satu pendiri dan aktivis Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), bukan itu yang diharapkan dari Belanda. “Yang kami tuntut sejak dulu adalah pengakuan pemerintah Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945,” kata Batara kepada Historia.id.

Baca juga: Belanda Akan Minta Maaf Kepada Indonesia

Batara mengatakan, pemerintah Belanda menghadapi dilema karena pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 –secara de facto dan de jure– akan mendatangkan beberapa konsekuensi berat. “Jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, maka itu artinya aksi polisionil mereka pada 1947 dan 1948 adalah agresi militer terhadap negara yang telah berdaulat dan merdeka,” ujar Batara.

Agresi militer terhadap negara yang telah berdaulat merupakan pelanggaran hukum internasional. Dengan demikian, menurut Batara, Belanda wajib membayar pampasan perang kepada Indonesia. Belanda juga wajib mengembalikan uang 4,5 miliar gulden atau setara US$1 miliar kepada Indonesia yang dibayar oleh pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Desember 1949 untuk melunasi utang Hindia Belanda.

“Karena RIS dianggap sebagai penerus dari pemerintah Hindia Belanda dan demikian utang-utang Hindia Belanda harus ditanggung. Padahal jumlah uang itu termasuk biaya agresi militer Belanda di Indonesia. Itu artinya kita membayar sendiri uang untuk memerangi rakyat kita sendiri,” kata Batara.

TAG

proklamasi belanda

ARTIKEL TERKAIT

Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Pengawal Raja Charles Melawan Bajak Laut Para Pejuang Bugis-Makassar dalam Serangan Umum Jenderal dari Keraton Murid Westerling Tumbang di Jogja Akhir Perlawanan Dandara Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Umar Jatuh Cinta di Zaman PDRI Detik-detik Menegangkan Saat Belanda Menjebak Diponegoro Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda