Hari ini 17 Agustus, 76 tahun lalu. Hari di mana Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Hari di saat orang Indonesia menyobek biru dari bendera Belanda dan di seluruh negara Merah Putih mulai berkibar. Hari Kemerdekaan? Apakah orang-orang di Belanda juga akan menyebut hal yang sama, karena sebenarnya di Indonesia si penjajah belum sepenuhnya menghilang. Negara dan rakyat masih harus melewati empat tahun masa Revolusi, dan menghadapi Agresi Militer Belanda, dua rangkaian peristiwa berdarah yang mengakibatkan belasan ribu orang mati.
Kemenangan terasa manis: ia membuat semua korban menjadi martir, menjadikan mereka sebagai pahlawan, sementara orang-orang Belanda jadi pecundang. Di tahun 1950, saat Indonesia akhirnya bisa menulis sejarahnya sendiri, sementara itu Belanda dengan malu menutupi luka-lukanya, sebagai pecundang yang tidak terlalu baik.
Belanda merajuk, bahkan menolak mengakui 17 Agustus 1945 sebagai momen kemerdekaan Indonesia. Bagi Belanda, Indonesia baru merdeka bulan Desember 1949, ketika Belanda dan Indonesia menandatangani apa yang disebut "De Overdracht" (penyerahan kedaulatan) di dalam buku-buku sejarah Belanda. Sebuah sikap picik yang sama seperti Inggris saat mereka tak mengakui 4 Juli sebagai hari kemerdekaan Amerika, karena setelah 1772 Inggris terus menerus memerangi Amerika.
Baca juga: Distorsi Sejarah dan Kebencian pada Sukarno
Ini mungkin omong kosong historis, tetapi untuk orang Belanda argumen itu absah dari segi hukum. Sebab kalau Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, artinya Belanda mengakui bahwa mereka berperang selama empat tahun di wilayah negara Indonesia merdeka. Sama artinya dengan invasi yang bisa menjadi serangkaian klaim ganti rugi Indonesia atas Belanda untuk kerusakan yang berkepanjangan.
Belanda dan Indonesia tidak pernah bersepakat tentang 17 Agustus 1945, –orang Indonesia meninggalkan masalah itu dan melihat ke depan, sementara orang Belanda paling banyak menatap ke belakang. Kedua negara menulis versi sejarahnya sendiri, dengan terminologi yang berbeda dan dengan versi sendiri dari apa yang persis terjadi dan kenapa itu terjadi. Dan sejak Desember 1949 mereka berjalan sendiri-sendiri saat berbicara sejarah. Saling berlawanan, bukan saling bertautan satu sama lain.
Tapi tentu saja para pegawai Kedutaan Besar Belanda di Jakarta bersedia menghadiri upacara-upacara resmi tujuhbelasan, dan pada 2005 Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot datang ke Jakarta untuk ikut merayakannya –sebagai pejabat tinggi pemerintah Belanda. Menurut Bot, kehadirannya itu adalah pengakuan. "Pengakuan bahwa di Belanda ada kesadaran bahwa kemerdekaan Indonesia secara de facto sudah mulai pada 17 Agustus 1945 dan bahwa kami, enampuluh tahun setelahnya dengan murah hati menerima fakta itu dalam arti politik dan moral".
Baca juga: Harga untuk Kemerdekaan Indonesia
Dia pasti bersungguh-sungguh tanpa keraguan, tetapi dengan semua kemurahan hati sang menteri terkesan seakan melarikan diri dengan menggunakan kata "de facto". Belanda telah mengakui 17 Agustus secara "de facto", tetapi itu sangat berbeda dengan "de jure", secara hukum. Jadi pengacara manapun tidak bisa berbuat apapun dengan pengakuan itu, begitu pula dengan orang Indonesia.
Saat itu orang Belanda dan beberapa warga Jakarta bertanya kepada saya, "benar atau tidak kalau Belanda mengakui 17 Agustus?" Saya hanya bisa menjawab, “Iya secara de facto, tidak secara de jure.”
Keraguan yang sama juga terjadi pada soal "meminta maaf", sebuah kalimat yang selama bertahun-tahun tidak mau Belanda ucapkan –misalnya berhubungan dengan pembunuhan massal di Rawagede. Tanpa disadari, Indonesia menjadi saksi atas permainan kata-kata yuridis yang halus dan sejatinya memiliki perbedaan makna antara "meminta maaf" atas sesuatu hal dengan "menyesali" sesuatu hal.
Baca juga: Kemenangan dari Masa Lalu dalam Kasus Rawagede
Sekali lagi orang-orang bertanya kepada saya sebenarnya apa persoalan sekarang ini? Sekali lagi saya jawab dengan penjelasan, yang dalam bahasa Indonesia lebih sulit lagi dimengerti daripada dalam bahasa Belanda: "Kalau Anda minta maaf, Anda mengakui bahwa Anda salah. Kalau Anda menyesali sesuatu, Anda hanya mengakui bahwa sesuatu pernah terjadi..."
"De-jurisme" ini telah lama menjadi ciri khas sikap Belanda berhubungan dengan sejarah: sebuah upaya untuk tidak pernah mengatakan sesuatu secara terus terang dalam arti yuridis dan tidak bersedia menggunakan kata-kata yang disarankan dalam sudut pandang itu. Dapat dimengerti jika Anda berpikir bahwa pemerintah Belanda selalu mencari keseimbangan antara kesalahan dari masa lalu dengan beberapa isu sensitif, misalnya veteran-veteran perang Belanda yang merasa tersingkirkan, janji-janji yang tidak realistis kepada orang-orang Maluku dan Papua, warga Indo yang memikul beban dari trauma yang dalam.
Belanda merasa dikhianati dan dirampok. Di antara semua itu, pemerintah Belanda mencoba menyelamatkan mukanya dengan bermain kata-kata dan eufemisme supaya aman. Sejak hubungan Belanda-Indonesia terputus, Belanda sudah memainkan hal tersebut. Itu terlihat dari beberapa perbedaan istilah yang digunakan di kedua negara.
Contoh: orang Indonesia memakai kata "Agresi Militer". Itu adalah ungkapan untuk periode yang oleh orang Belanda disebut sebagai "Politionele Acties" (aksi polisionil). Orang Indonesia terbiasa dengan istilah Agresi Militer. Sementara "Aksi Polisionil" tidak bisa ditemukan di buku sejarah mereka. Untuk apa harus begitu? Itu bukan tentang upaya menegakan hukum oleh polisi, tetapi sebetulnya tentang kampanye kekerasan oleh tentara Belanda yang direncanakan dan disetujui oleh pemerintah Belanda. Karena pada saat yang sama, ketika "Aksi Polisionil" itu dilancarkan, banyak sekali pembantaian di desa-desa di Indonesia yang telah membuka banyak luka.
Sebaliknya orang Belanda lebih banyak bicara tentang "Periode Bersiap": sebuah istilah yang dipakai untuk merujuk kepada periode yang penuh kekerasan tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan oleh Sukarno 17 Agustus 1945. Seperti halnya istilah ‘Aksi Polisionil’, istilah ‘Periode Bersiap’ juga tak bisa ditemukan dalam buku pelajaran sejarah di Indonesia.
Apa yang terjadi pada periode itu: Hasutan dikumandangkan melalui radio "pemuda" (pejuang muda) untuk memburu semua orang Belanda atau orang yang pernah berkolaborasi dengan orang Belanda. Dalam beberapa bulan mereka membunuh antara 20 dan 30-ribu lelaki, perempuan, orang lansia dan anak-anak. Misalnya tiga anak-anak Van Slooten, yang berusia 7, 8, dan 10 saat mereka dibunuh di Batavia pada 7 Desember 1945. Nama dan tanggal kematian mereka disebut pada nisan salib putih di kompleks pemakaman Menteng Pulo di Jakarta.
Baca juga: Mempertanyakan Peran Indonesia dalam Penelitian Belanda
Untuk orang Indonesia "Periode Bersiap" tidak pernah ada. Di dalam buku-buku sejarah, periode itu tidak disebut secara tersendiri. Kekerasan ada kapan saja dan di mana-mana. Itu adalah revolusi. Hanya ada sedikit korban mati Indonesia yang nisan kuburannya yang dirawat sebaik di pekuburan Menteng Pulo (kecuali kuburan korban Rawagede), bahkan untuk semua anak-anak yang meninggal. Dan bagi mayoritas orang Indonesia "bersiap" hanya adalah sebuah kata yang hanya berarti, bersiap (siap siaga).
Suatu pembantaian tidak boleh menjadi pemakluman untuk hal lain. "Periode Bersiap" tidak boleh disandingkan dengan "Aksi-aksi Polisionil" dengan perbandingan siapa yang paling kejam di dalam perang: orang Belanda atau orang Indonesia? Memilih untuk menggunakan terminologi tertentu selalu memiliki maknanya sendiri: pada semua istilah yang dipakai merujuk kepada tafsiran atas kejadian. Penggunaan istilah itu adalah pernyataan sikap dan posisi dari sebuah kontestasi sudut pandang.
Sementara itu semua terjadi, dunia sedang terjaga. Suara dari yang pernah dijajah lebih terdengar dan perlakuan dari para penjajah tiba tiba menjadi kejahatan. Pameran dan buku-buku menggambarkan sudut pandang yang berbeda tentang kejadian di masa lalu. Artefak-artefak di museum menjadi terkuak bawah itu "hasil rampokan" dan harus dikembalikan, patung-patung dirobohkan dan sejarah kembali diteliti. Sejarawan-sejarawan Belanda dikirim ke Indonesia dalam sebuah misi yang mahal untuk meneliti kembali kekerasan-kerasan yang terjadi, terutama di tahun 1940-an. Mereka punya tugas khusus untuk meneliti "Periode Bersiap". Hingga kini mereka masih menyusun hasil penelitiannya.
Baca juga: Jajak Pendapat Pembaca Historia.ID: Persepsi terhadap Penjajahan Belanda di Indonesia
Di tengah dunia yang sedang terjaga ini, harian nasional Belanda De Volkskrant memilih tanggal 17 Agustus untuk mengirimkan kuesioner kepada orang-orang Indonesia, bekerjasama dengan majalah sejarah popular Indonesia Historia.ID. Ide ini tampaknya sederhana: Bagaimana pendapat orang Indonesia tentang orang Belanda? Tetapi saat menyusun kuesioner ini, para penyusun kuesioner sadar bahwa bicara sejarah tak pernah terhindar dari beban masa lalu. Di balik beberapa pertanyaan tanpa disadari ada kemungkinan bahwa pertanyaan itu mengandung maksud yang tidak terucap, prasangka-prasangka dan kesalahpahaman. Yang jelas bahwa selama 76 tahun tidak pernah ada percakapan yang baik antara dua bangsa tentang masa lalu, selain enggan mengotak-atik masa lalu dengan motif di baliknya dan alasan-alasan kompensasi.
Mungkin lebih gampang bagi saya untuk melupakan semua hal dari masa lalu dalam sudut pandang Belanda dan menjawab pertanyaan dalam kuesioner dari sudut pandang Indonesia masa kini –sebagaimana pernah saya alami selama 18 tahun tinggal di Indonesia yang membuat saya lebih memahami sejarah dari perspektif Indonesia. Pertanyaannya kini bagaimana perlakuan orang Indonesia terhadap orang Belanda?
Orang Indonesia menerima orang Belanda secara ramah, karena pada dasarnya mereka adalah bangsa yang sangat ramah tamah. Mereka bisa tertawa dengan hal-hal nostalgia yang terhubung dengan ikhtiar pencarian akar masa lalu orang Belanda di Indonesia, tetapi mereka memanfaatkan nostalgia itu juga di hotel-hotel dan restoran-restoran, di mana mereka memamerkan suasana kolonial dan menyediakan rijstafel Belanda. Mereka memainkan musik keroncong dan menyanyi "Als de orchideeën bloeien" dan dengan senyum mengucapkan "hotperdom", satu-satunya kata Belanda yang semua orang Indonesia kenal.
Baca juga: Penelitian tentang Kejahatan Perang Belanda di Indonesia
Bagaimana dengan orang Belanda menurut orang Indonesia? Mereka bicara keras, sangat kaku, banyak minum (minuman keras) dan punya hidung yang mancung. Mereka tinggal di "Negeri Kincir Angin". Tapi kalau orang Indonesia liburan ke Belanda mereka akan senang selfie di De Zaanse Schans, mereka berfoto dengan pakaian tradisional Volendam dan berkunjung taman tulip De Keukenhof. Kalau Belanda terlalu jauh mereka akan kunjungi Holland Village di Jawa untuk ambil selfie dan memakai klompen, sepatu kayu, seolah mereka berada di Belanda.
Sementara itu kalau orang Belanda berkunjung ke Indonesia, mereka akan mencari rumah kelahiran kakek-neneknya, sebuah rumah yang mereka kenal dari selembar foto hitam putih dengan orang berpakaian rapih yang sedang menyenangkan diri di kebun yang terawat dengan pohon besar. Dalam foto itu kakek-nenek mereka berdiri di teras rumah besar dan megah.
Tentu mereka, orang-orang Belanda yang sedang berkunjung ke Indonesia, akan senang ketika rumahnya masih ada, walaupun kebunnya sudah tidak ada lagi dan sekarang rumah itu sudah menjadi bangunan sekolah. Mereka malahan membiarkan diri mereka terkejut oleh bunyi riuh tawa seisi kelas saat murid-murid meneriakkan ‘penjajahan’ saat mereka bertanya soal zaman kolonial. Kami tidak merasa diacuhkan. Lagipula mereka merasa bukan kolonialis. Perasaan mereka juga sama ketika mereka berpikir tentang ayah, kakek, kakek buyut mereka, semunya orang baik juga.
Baca juga: Penelitian Menyeluruh Kekerasan Serdadu Belanda di Indonesia
Orang Belanda menjadi sangat hangat ketika mereka mendengar orang Indonesia memakai kata-kata seperti "waslap", "asbak", "handuk", "persneling", "rem", "notaris", dan "kantor". Sementara itu pemuda pemudi Indonesia masa kini bereaksi sama terkejutnya dengan orang Belanda tentang kata-kata tersebut. "Lho, apakah itu sama dalam bahasa Belanda?" Sebab untuk mereka, orang Indonesia, kata-kata itu sudah lama tidak lagi menjadi kata dalam bahasa Belanda, melainkan kosakata Indonesia yang mereka gunakan sehari-hari.
Turisme membebaskan sejarah dari esensinya yang berat, dengan menjadikan sesuatu hal yang sebenarnya serius dan ruwet menjadi sesuatu yang lucu. Biarkan waktu yang akan mengubahnya. Suatu saat, "hubungan lama" antara Belanda dan Indonesia yang penuh kerumitan, akan menjadi latar belakang untuk selfie saja.
Kuesioner dari harian De Volkskrant, berkolaborasi dengan Historia.ID ini adalah sesuatu eksperimen kecil tetapi penting, di tengah persimpangan dua dunia pemikiran yang begitu berbeda ini.
Penulis adalah wartawan senior De Volkskrant.
Artikel ini ditulis sebagai pengantar survei Persepsi Pembaca Historia.ID terhadap Kolonialisme Belanda di Indonesia. Artikel dalam bahasa Belanda berjudul “Hoe denken de Indonesiërs over de Nederlanders? Een nodig, maar moeilijk gesprek in een ontwakende wereld” terbit di De Volkskrant, 17 Agustus 2021. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Arjan Onderdenwijngaard dan Bonnie Triyana. Survei dilakukan oleh harian De Volkskrant dengan Historia.ID.