Jajak Pendapat “Persepsi Penjajahan Belanda di Indonesia” yang digulirkan Historia.id bekerjasama dengan Volkskrant pada 17 Agustus–16 September 2021 mengungkapkan, mayoritas orang Indonesia menganggap alasan di balik sikap Belanda menentang kemerdekaan Indonesia pada 1945 adalah karena “Belanda hanya ingin memulihkan kekuasaan kolonialnya.” Pendapat tersebut disuarakan oleh 74, 62% dari 1.604 responden.
Jawaban “Belanda hanya ingin memulihkan kekuasaan kolonialnya” tak bisa dilepaskan dari nama Van Mook. Kendati bukan yang terbesar persentasenya, nama Van Mook juga muncul di jajak pendapat, tepatnya di jawaban dari pertanyaan “Tokoh-tokoh yang berperan dalam kolonialisme Belanda di Indonesia.”
Upaya pemulihan kekuasaan Belanda pasca-perang dan Van Mook merupakan dua sisi dari sekeping mata uang. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena faktanya memang demikian.
Usai Perang Dunia II, Belanda berupaya keras memulihkan kekuasaannya di bekas Hindia Belanda. Upaya tersebut dilakukan dengan membonceng pasukan Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) pimpinan Letjen Sir Philip Christison yang, sesuai Perjanjian Potsdam, bertugas menjaga ketertiban dan keamanan di bekas Hindia Belanda. Upaya lebih serius kemudian dilakukan Belanda dengan mengirim Hubertus Johannes van Mook, letnan-gubernur jenderal Hindia yang mengungsi ke Australia semasa perang, untuk memimpin Netherlands Indies Civil Administration (NICA) menjalankan pemerintahan sipil seperti sebelum perang.
Hubertus Johannes Van Mook merupakan birokrat senior cum intelektual Hindia Belanda. Lahir di Semarang pada 30 Mei 1893, masa kecil dan remajanya dihabiskannya di Jawa Timur (Malang dan Surabaya). Dari Surabaya, Van Mook melanjutkan pendidikan tingginya ke Leiden untuk belajar Indologi (1916-1918).
Di masa kuliah itu ia banyak dipengaruhi pemikiran Snouck Hurgronje, orientalis terkemuka yang saat itu menjabat penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan bumiputra. Van Mook mulai memimpikan negara federal di tempat kelahirannya saat itu. Ia juga bergaul karib dengan orang-orang bumiputra yang berkuliah di sana. Kedekatan itu, ditambah perhatian sama akan Hindia Belanda, mendorong Van Mook sebagai ketua Perhimpunan Ahli Indologi Leiden membuat Indische Studentencongres (Kongres Mahasiswa Hindia) pada 23-24 November 1917 di Leiden.
“Kongres itu dimaksudkan sebagai ‘dua hari propaganda bagi penyatuan Mahasiswa Hindia dalam arti yang seluas-luasnya.’ Hasilnya sungguh luarbiasa; Perhimpunan Hindia dan Perhimpunan Cina Chung Hwa Hui masing-masing mengirimkan juru bicaranya; perhimpunan-perhimpunan mahasiswa dari Utrecht, Delft, Leiden, dan Wageningen pun diwakili,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Baca juga: Universitas Leiden Resmikan Koleksi Asia Terbesar di Dunia
Dalam kongres itu, Van Mook menjadi pembicara terakhir. Dia mengutarakan pendapatnya tentang “mimpi” berdirinya negara federal di Hindia. Namun, mimpi itu masih terlalu jauh. Untuk menuntut adanya parlemen saja, katanya, belum memungkinkan karena jumlah kaum elite di Hindia masih amat kecil dan daerah-daerah di Hindia amat berbeda satu sama lain. Sebagai jawaban, dia menawarkan langkah yang lebih masuk akal berupa pengembangan berangsur-angsur berlandaskan pembentukan organ-organ demokrasi di tingkat lokal kemudian tingkat regional.
“Jadi gagasan mengenai negara federal yang ingin diwujudkan oleh Van Mook sesudah tahun 1945 itu sudah ada waktu itu dalam bentuk yang kasar,” sambung Poeze.
Selulusnya dari Leiden, Van Mook kembali ke Semarang dan bekerja sebagai inspektur distribusi pangan. Kendati sempat bergonta-ganti pekerjaan kemudian, Van Mook akhirnya menjadi anggota Volksraad pada 1931. Dari Volksraad, kariernya menanjak hingga akhirnya dia dipercaya menjadi menteri Perekonomian Hindia Belanda. Keberhasilannya membuat perekonomian Hindia tidak kolaps kendati Belanda diduduki Jerman-Nazi menjadi nilai plus tersendiri yang kemudian membuatnya dipercaya menjadi letnan-gubernur jenderal pada Desember 1941.
Namun, belum lama ia menduduki jabatan tersebut, Jepang menduduki Hindia Belanda pada Maret 1942. Van Mook bersama rombongan terakhir petinggi kemudian menyingkir ke Brisbane, Australia.
Impian Van Mook akan Hindia Belanda yang kuat, yang diperintah dari Batavia, bukan dari Belanda, akhirnya mendapatkan momen usai Perang Pasifik. Ia bersemangat mewujudkannya ketika kembali dari pengasingan pada Oktober 1945.
Namun, situasi politik di bekas Hindia telah berubah. Republik Indonesia (RI) telah didirikan pada 17 Agustus 1945 dan rakyat Indonesia amat bersemangat menjaga kemerdekaan negerinya. Di sisi lain, Van Mook dan para politisi di Belanda enggan berunding dengan Sukarno-Hatta yang mereka cap sebagai kolaborator Jepang, kendati panglima Inggris di Jawa terus mendesaknya.
Baca juga: Begini Naskah Proklamasi Dirumuskan
Van Mook baru mendapatkan momentum ketika Sutan Sjahrir, yang dianggap para politisi Belanda sebagai moderat, diangkat menjadi perdana menteri RI. “Sjahrir menjadi perdana menteri menimbulkan perasaan puas, bahkan lega, di antara kelompok orang Belanda ini. Ini jelas terlihat, misalnya, dari kabel pertama yang dikirim Letnan Gubernur Jenderal Van Mook kepada Menteri Koloni Logemann setelah pelantikan Sjahrir,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia.
Van Mook segera memanfaatkan momentum untuk mengajak berunding Sjahrir dan direspon positif. Pada 10 Februari 1946, Van Mook mengusulkan pembentukan persemakmukran (commonwealth) bersama Indonesia-Belanda. Perundingan resmi dimulai pada Maret 1946 di bawah pengawasan diplomat Inggris Archibald Clark Kerr. Pengakuan Van Mook atas hak rakyat Indonesia menentukan nasib sendiri disambut baik Sjahrir. Namun, Van Mook tidak bisa mengakomodasi keinginan mendasar pihak Indonesia.
“Pihak RI menekankan agar Belanda terlebih dahulu menyatakan kesediaan untuk mengakui kekuasaan RI,” tulis sejarawan Rushdy Hoesein dalam Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati.
Baca juga: Sukarno di Linggarjati
Macetnya perundingan membuat Van Mook menoleh ke kalangan elite lama. Tanpa diduga olehnya, Nadjamoedin Daeng Malewa, seorang elite politik dari Sulawesi Selatan, datang menemuinya karena kecewa tidak diikutsertakan ke dalam delegasi Sam Ratulangi ke sidang PPKI. Merasa mendapat dukungan, Van Mook melangkah lebih jauh dengan mengadakan Konferensi Malino pada 16-25 Juli 1946. Gagasan federalisme Van Mook didukung para elite lama dengan suara bulat di dalam konferensi. Negara Indonesia Timur (NIT) –yang meliputi seluruh Indonesia Timur minus Papua– pun berdiri sebagai negara federal pertama pada Desember 1946, lalu diikuti 14 daerah lain.
“Bahwa pola politik federasi dirancang untuk melemahkan pengaruh Republik dan menyingkirkannya dari peran yang berarti, segera menjadi bukti bagi para jurnalis yang berbasis di Batavia. Wartawan di Batavia dengan cepat menyadari bahwa sistem ini dirancang tidak hanya untuk menenggelamkan Republik sebagai negara konstituen, tetapi juga untuk menghasilkan formula pembagian-dan-aturan yang dirancang untuk memastikan dominasi Belanda yang mudah atas federasi,” tulis George McT. Kahin dalam Southeast Asia: A Testament.
Pihak RI tidak terima dengan langkah Van Mook. Tidak adanya titik temu membuat kedua negara akhirnya duduk bareng dalam Perundingan Linggarjati. Pihak Belanda akhirnya mengakui secara de facto bahwa Jawa, Sumatera, dan Madura merupakan wilayah RI kendati di sisi RI hasil tersebut amat merugikan.
Namun, dalam praktiknya Belanda mengkhianati hasil Linggarjati. Konflik politik terus berlanjut antara kedua negara. Puncaknya, Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama dengan dalih untuk memulihkan perekonomiannya pasca-perang. Wilayah-wilayah yang diduduki militernya kemudian dibatasi oleh garis demarkasi yang dikenal dengan Garis Van Mook.
Baca juga: Belanda Mulai Teliti Agresi Militernya ke Indonesia
Kendati Amerika Serikat (AS) telah berupaya menengahi lewat Komisi Jasa Baik atau Komisi Tiga Negara (KTN), konflik kedua negara tetap membara. Baru setelah pasukan RI berhasil melumpuhkan perkebunan-perkebunan yang diambil alih Belanda, kedua negara kembali berunding pada awal 1948 di kapal AS USS Renville.
Lagi-lagi, RI kalah banyak. Wilayahnya yang diakui dalam perjanjian menciut tinggal Jawa Tengah, Sumatera, dan Yogyakarta. Pasukan Indonesia pun mesti ditarik dari wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda. Namun, kedua negara sepakat membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) yang di dalamnya termasuk RI.
Kemenangan perundingan dimanfaatkan betul oleh Van Mook untuk mewujudkan mimpi negara federalnya. Pada 9 Maret 1948, dia membentuk Pemerintah Federal Sementara, yang akan berfungsi sampai federasi Uni Indonesia-Belanda terbentuk. Kendati menyalahi hasil keputusan Renville, Van Mook terus berjalan. Buah terpenting yang dipetiknya adalah Konferensi Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO), Mei 1948.
“Meskipun Perjanjian Renville Januari 1948 telah menetapkan bahwa pembentukan rezim sementara harus dilakukan melalui kerja sama bersama Belanda-Republik, dan bukan oleh tindakan sepihak salah satu pihak, Belanda bertindak sepenuhnya sendiri meskipun Republik protes kepada Komite Jasa Baik PBB,” tulis Kahin.
Tindakan Van Mook tak hanya membuat berang pihak RI. Belanda sendiri tidak menyukai tindakannya. Militer Belanda menginginkan penyelesaian dengan operasi fisik ketimbang diplomasi sebagaimana dilakukan Van Mook.
“Militer Belanda semakin blak-blakan dalam penentangannya, yaitu terus mengandalkan Sjahrir. Wakil Laksamana A.S. Pinke, orang kedua setelah perwira tinggi angkatan laut Belanda di Timur, percaya bahwa Letnan Gubernur Jenderal Van Mook memiliki bias pro-Sjahrir yang sangat berbahaya. Jenderal S.H. Spoor, perwira tinggi tentara Belanda di Hindia, berpendapat bahwa Sjahrir bukan lagi orang yang bisa diandalkan karena dia tidak berdaya,” tulis Mrazek.
Baca juga: Insiden Rawagede di Mata Jenderal Spoor
Para politisi sipil Belanda juga mencurigai Van Mook berambisi menjadi penguasa penuh Hindia. Dengan kekuasan penuh itu dia hendak membawa Hindia otonom tanpa bayang-bayang Belanda.
“Dalam metodenya Van Mook berpegang kepada siasat permainan segitiga, namun sasaran alternatifnya sangat terbatas. Betapa sering ia seakan-akan tertarik oleh Republik. Seluruh gagasannya untuk akhirnya mengadakan persetujuan politik terpisah dengan negara,” tulis P.J. Drooglever dalam Menelusuri Jalur Linggarjati: Diplomasi dalam Perspektif Sejarah.
Tekanan-tekanan dari sipil maupun militer Belanda akhirnya membuat Van Mook mundur. Negara federal yang didirikannya kemudian satu persatu runtuh ketika masing-masing memilih bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pasca-penyerahan kedaulatan pada 1949.