PADA 11 November 1946, sebuah pesawat terbang Catalina, yang membawa anggota Badan Komisi Jenderal Belanda (delegasi Belanda), meninggalkan Jakarta. Di hari yang sama, dengan menggunakan mobil, delegasi Indonesia juga bergerak menuju tujuan yang sama. Kedua delegasi hendak menggelar perundingan lanjutan di Kuningan, Cirebon mengenai proses dekolonisasi Belanda di Indonesia.
Perundingan itu sebenarnya sudah berlangsung sejak 22 Oktober 1946 di Jakarta tapi belum mencapai titik temu, bahkan terancam gagal. Dalam kebuntuan, muncul gagasan dari delegasi Belanda untuk menghadirkan Sukarno-Hatta dalam proses perundingan selanjutnya. “(Willem) Schermerhorn berpendapat, sebuah pembicaraan dengan Sukarno di Yogyakarta atau di mana saja adalah hal yang amat penting agar semua menjadi final,” tulis Roesdhy Hoesein, penulis buku ini. Schermerhorn adalah ketua delegasi Belanda.
Namun karena Sukarno-Hatta tak memungkinkan datang ke Jakarta dan pemerintah Belanda melarang delegasinya untuk pergi ke Yogya, dicarilah tempat netral. Atas saran Maria Ulfah, perundingan akhirnya diadakan di Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Perundingan dimulai pada hari kedua setelah kedatangan kedua delegasi di Kuningan. Meski pembahasan pasal demi pasal kembali berlangsung alot, secara umum, untuk pasal-pasal tertentu, kedua pihak menemukan kata sepakat. Tapi ada sejumlah pasal yang masih mengganjal.
Di sesela perundingan, delegasi Belanda menemui Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta di kediaman Bupati Kuningan. A.K. Gani dan Amir Sjarifuddin, dua delegasi Indonesia, ikut serta. Sementara Sjahrir, ketua delegasi, tak ikut karena sakit kepala dan lelah. Selain itu, dia mengira kunjungan itu hanya pertemuan kehormatan yang tak ada sangkutpaut dengan urusan perundingan.
Dugaan Sjahrir meleset. Delegasi Belanda memanfaatkan pertemuan itu untuk mendiskusikan kebuntuan yang terjadi dalam perundingan dengan Sukarno dan Hatta. Van Mook, yang bersilang pendapat dengan A.K. Gani mengenai pasal 2 tentang penggunaan kata “merdeka” atau “berdaulat”, menanyakan kepada Sukarno apakah dirinya keberatan dengan perubahan redaksi dalam pasal 2 dari “Negara Indonesia Serikat yang merdeka” menjadi “Negara Indonesia Serikat yang berdaulat?” Rupa-rupanya Sukarno setuju saja dengan perubahan itu.
Van Mook juga menanyakan persetujuan Sukarno terhadap seluruh konsep Perjanjian Linggarjati: “Apakah dengan diterimanya perubahan ‘merdeka’ menjadi ‘berdaulat’ pada pasal 2, Presiden dapat menyetujui konsep Perjanjian Linggarjati seluruhnya?”
Sekali lagi, Sukarno menjawab setuju. Dia bahkan bersedia mendukung pasal lainnya yang masih mengganjal dan berjanji akan menggunakan pengaruhnya agar rakyat mau menerima hasil perundingan itu. Delegasi Belanda merasa puas. Selanjutnya mereka undur diri, menyudahi pertemuan.
Amir Sjafruddin dan A.K. Gani melaporkan kepada Sjahrir atas perkembangan yang terjadi di kediaman Bupati Kuningan. Sontak Sjahrir kecewa. Dia menyesalkan sikap Sukarno yang menyetujui naskah perundingan begitu cepat. M. Roem tak ketinggalan. Dia bahkan menuding Belanda melakukan tipudaya melalui Sukarno dan Hatta. Kepada Schermerhorn, Roem menyatakan bahwa Sukarno tak punya hak untuk menyatakan persetujuannya pada usulan-usulan Belanda itu dan harus meminta persetujuan Sjahrir terlebih dahulu selaku ketua delegasi.
Posisi Sukarno dalam perundingan itu jelas: bukan anggota delegasi. Mereka hanya “mengawal” proses perundingan dari kediaman Bupati Kuningan. Dan kedatangan mereka merupakan keinginan delegasi Belanda. Tapi apa mau dinyana. Kendati berat, delegasi Indonesia mau menerima keputusan tersebut. Namun tak berarti mereka menerima begitu saja persetujuan sepihak dari Sukarno. Sjahrir dan anggota delegasi lainnya lantas mengadakan rapat tertutup dengan Sukarno. Mereka minta Sukarno menjelaskan dasar keputusan yang diambilnya. Dengan tenang, Sukarno memberikan penjelasan. Mereka, termasuk Sjahrir, akhirnya tunduk pada keputusan Sukarno.
“Tampaknya, dibandingkan dengan delegasi Indonesia, delegasi Belanda sangat memperhatikan pengaruh Sukarno sebagai presiden. Bagi Schermerhorn dan (Lord Louis) Mountbatten, Sukarno-lah tokoh penentu dalam penetapan kebijakan pihak Indonesia soal perundingan Indonesia-Belanda. Walupun Sjahrir adalah pelaksananya,” tulis Roesdhy Hoesein. Mountbatten adalah Komando Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara.
Keesokan harinya, pada 13 November 1946, perundingan lanjutan atau perundingan kedelapan di Linggarjati dilanjutkan. Dalam kesempatan ini, Schermerhorn menjelaskan hal-hal yang terjadi saat bertemu Sukarno-Hatta di Kuningan semalam. Dibahas pula pasal-pasal yang masih menggantung di antara kedua delegasi. Setelah diskusi alot, kedua pihak akhirnya bisa menerima semua pasal yang terdapat dalam konsep perundingan. Secara resmi perundingan di Linggarjati pun selesai.
Dan seperti janjinya pada Schermerhorn, sejak pertengahan hingga akhir November 1946, Sukarno menyosialisasikan hasil perjanjian itu ke masyarakat dalam perjalanan dinas ke sejumlah wilayah di Jawa Barat. Di Garut, misalnya, seperti dikutip Kantor Berita Antara, Sukarno berpidato dalam rapat raksasa, menenangkan kegelisahan rakyat terkait posisi Ratu Belanda sebagai kepala UNI (Uni Nederland-Indonesia) –seperti terdapat dalam pasal 8.
Berkali-kali dia menerangkan, “Ratu Belanda sama sekali tak menyinggung kedaulatan RI. Sebermula sebelum persetujuan tercapai, memang bunyi pasal 8 itu menghendaki supaya Ratu Belanda yang berkuasa. Berkat kegiatan delegasi Indonesia, hal yang mengecewakan itu diubah dengan mendapat persetujuan dari kedua belah pihak.”
Hasil perundingan diparaf di rumah Pegangsaan Timur 56, Jakarta, pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947. Perjanjian itu menimbulkan pro dan kontra di dalam negeri. Yang kontra menganggap perjanjian itu memperlemah posisi Indonesia. Pelaksanaan perjanjian itu sendiri kemudian tak berjalan mulus, akibat perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda. Gubernur Jenderal H.J. Van Mook menyatakan Belanda tak terikat lagi dengan perjanjian itu, bahkan menggerakkan agresi militer Belanda I.
Melalui buku ini, yang merupakan disertasi doktoralnya, Roesdy Hoesein mencoba melihat sisi lain dari perundingan Linggarjati. Baginya, perundingan itu tak hanya menghindarkan konflik bersenjata pasukan republik dengan tentara Belanda. Ia juga menguatkan citra Indonesia di mata dunia internasional. Lebih dari itu karena proses kesepakatan dalam perundingan ini memiliki keunikan sendiri, yakni apa yang dia disebut sebagai “terobosan Sukarno”. Karena terobosan Sukarno, kebuntuan dalam perundingan itu terpecahkan. Dan Indonesia mendapat pengakuan secara de facto –modal untuk diplomasi berikutnya.