Masuk Daftar
My Getplus

Belanda Mulai Teliti Agresi Militernya ke Indonesia

Tiga lembaga penelitian Belanda mendapat gelontoran 4,1 juta euro untuk ungkap periode pascakemerdekaan di Indonesia. Kontroversi di sana-sini.

Oleh: Bonnie Triyana | 15 Sep 2017
Tentara Belanda mengumpulkan rakyat sipil dalam agresi militer di Indonesia. Foto: NIMH.

SEORANG pria, kelihatan lebih dari 70 tahun, berdiri meminta waktu bicara, memperkenalkan diri sebagai veteran perang Belanda. Tidak ada pertanyaan darinya kecuali pernyataan keberatan istilah yang berulang kali digunakan oleh para pembicara: kejahatan perang (oorlogsmisdaden).

Kamis malam tadi, pukul 20:00 waktu Belanda, veteran serdadu tersebut hadir di gedung Pakhuis De Zwijger, Amsterdam bersama sekitar duaratus orang peserta acara peluncuran program penelitian dekolonisasi lainnya. Remy Limpach, penulis buku De Brandende Kampongs van Generaal Spoor (Kampung-kampung yang Ter(di)bakar Jenderal Spoor) yang berhasil mengungkap kekerasan masa agresi militer Belanda di Indonesia tampil sebagai salah satu pembicara.

Temuannya itu menggemparkan Belanda. Foto-foto kekerasan serdadu Belanda di Indonesia kurun tahun 1946 sampai 1949 yang ada dalam bukunya, terpampang di berbagai media massa. Mendorong para politikus Belanda membawa topik tersebut sebagai perdebatan di dalam parlemen dan, akhir tahun lalu keluar keputusan pemerintah untuk mendanai penelitian besar tersebut.

Advertising
Advertising

Tiga lembaga bakal menjadi pelaksana proyek penelitian itu, Lembaga Kerajaan untuk Bahasa, Sejarah dan Kebudayaan (KITLV), Lembaga Belanda untuk Dokumentasi Perang, Holocaust dan Genosida (NIOD) dan Lembaga Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

Penelitian yang disponsori oleh pemerintah Belanda tersebut memperoleh dana 4,1 juta euro atau sekitar 60 milyar rupiah lebih dan akan dilakukan selama empat tahun ke depan. Ireen Hoogenboom, kordinator penelitian untuk wilayah Indonesia, dalam keterangannya mengatakan proyek ini juga melibatkan pihak Indonesia.

“Ada dua sejarawan dari Universitas Gadjah Mada yang akan terlibat di dalam penelitian ini, sejarawan Bambang Purwanto dan Abdul Wahid,” kata Hoogenboom dalam presentasinya semalam.

Proyek penelitian ini mengundang kontroversi karena banyak hal tentang perang Belanda di Indonesia yang akan terungkap, termasuk praktik kekerasan di dalamnya. Gert Oostindie, pemimpin proyek ini, menyampaikan kepada publik bahwa perang Belanda di Indonesia adalah perang terbesar yang pernah terjadi pada masa sejarah modern mereka.

Frank van Vree, direktur NIOD, membeberkan lebih lanjut sembilan proyek penelitian yang akan dilakukan. Termasuk di dalamnya tiga proyek yang melibatkan Indonesia, yaitu periode Bersiap, kajian regional di pelbagai wilayah Indonesia dan laporan para saksi mata. Di Belanda periode Bersiap dikenal sebagai periode kekerasan yang dialami oleh orang-orang Belanda, kalangan Indo berdarah campuran dan warga minoritas lain. Pelaku kekerasan itu menurut mereka adalah orang-orang Indonesia.

Tetapi menurut Remy Limpach situasi selama periode Bersiap ini lebih rumit lagi. Menyebutnya sebagai perang saudara, peneliti keturunan Belanda Swis ini melihat waktu itu kekerasan juga terjadi di kalangan orang Indonesia sendiri, antara mereka yang pro kemerdekaan dan pro kembalinya Belanda.

Yang jelas istilah kekerasan kalangan Indonesia sudah muncul dalam jumpa pers Perdana Menteri Mark Rutte awal Desember 2016 ketika dia mengumumkan dukungan pemerintah bagi penelitian besar ini. Menurut Rutte penelitian ini tidak hanya mengarah pada ulah kalangan militer, tetapi juga peran kalangan politik, pemerintahan dan kehakiman. Dia berlanjut, “Juga kekerasan Indonesia dalam apa yang disebut periode Bersiap, termasuk keputusan di Den Haag dan kejadian setelah 1949.” Pada saat itu Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia.

Silang pendapat tajam juga terjadi dalam diskusi semalam. Penyelenggara dinilai tidak berhasil mendatangkan para pengkritik rencana penelitian besar ini. Nama Jeffry Pondaag berkali-kali disebut, dia adalah aktivis komite hutang budi Belanda yang menggugat pemerintah Belanda atas pelbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia semasa perang kemerdekaan. Bersama pengacara Liesbeth Zegveld ahli waris korban itu sekarang memperoleh ganti rugi, seperti diputuskan oleh pengadilan.

Begitu selesai, ketika keluar hadirin disodori selebaran yang mengkritik penelitian ini. Kalau pemerintah Belanda ingin meneliti periode Bersiap, bagaimana dengan Perang Aceh dan perang-perang lain di Hindia Belanda? Mengapa itu diabaikan?

Koran terkemuka di Belanda, NRC Handelsblad, menulis proyek penelitian ini sebagai upaya untuk melihat sejarah dengan cara yang lain (Een andere kijk op de geschiedenis). Semenjak perang usai, sebagian besar publik Belanda menerima versi sejarah pemerintahnya yang menyebut kedatangan serdadu mereka ke Indonesia sebagai “aksi polisionil”. Ini berbeda dengan apa yang publik Indonesia pahami bahwa aksi tersebut merupakan agresi militer ke negara yang sudah merdeka dan berdaulat.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Selintas Hubungan Iran dan Israel M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Tradisi Sungkeman Saat Brigjen Djasmin Dikata Pengkhianat Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Rossoblù Jawara dari Masa Lalu Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Ada Rolls-Royce di Medan Laga Kopral Roeman Melawan Teungku Leman Tradisi Membeli Baju Lebaran