SETELAH ibukota RI Yogyakarta diserbu pasukan Belanda pada 19 Desember 1948, Batalyon Andjing NICA yang berada di –bawah komando Overste (setara letnan kolonel) Adrianus van Santen– daerah Banyumas bergerak ke Magelang. Batalyon ini bagian dari Brigade V KNIL.
“Gerak maju yang spektakuler dari Brigade V melalui Pantai Utara, sepanjang lereng (Gunung, red.) Slamet menuju dataran Jawa Tengah Selatan. Pasukan Andjing NICA, di bawah pimpinan komandan barunya yang populer, Mayor (sekarang lettnan kolonel) Van Santen, dengan cepat maju melewati Gombong,” demikian De Locomotief tanggal 8 Desember 1948 memberitakan laju Andjing NICA menuju Magelang.
Kota tangsi tentara kolonial Koninklijk Nederlandch Indische Leger (KNIL) di zaman Hindia Belanda (baca: Magelang) itu posisinya dikepung gunung dan bukit. Bentang alam tersebut dimanfaatkan betul oleh para pejuang RI yang angkat senjata. Alhasil gunung dan bukit itu dianggap tak aman oleh tentara Belanda yang menganggap mereka sebagai teroris atau ekstrimis. Letnan Kolonel (Letkol) TNI Sarbini, komandan kawasan itu, jelas merupakan masalah bagi prajurit Andjing NICA dan tentara Belanda lain di sana.
Suatu hari, datang laporan ke para perwira Belanda. Bunyinya, ada banyak warga sipil (laki-laki, perempuan, dan anak-anak) “ditahan” di lereng Gunung Sumbing, barat Magelang. Komandan Overste Van Santen pun langsung memerintahkan bawahannya untuk membawa kembali orang-orang itu.
“Kamu harus melakukannya dengan hati-hati,” kata Overste van Santen kepada Letnan Sjoerd Albert Lapre. “Kamu tidak akan mendapat dukungan artileri, warga sipil tak boleh berada dalam bahaya. Tapi hati-hati, kata Kok musuh kuat di sana.”
Letnan Kok adalah perwira intelijen di batalyon, begitu yang diingat Sjoerd Albert Lapre dalam Het Andjing NICA in Nederlands Indie 1945-1949. Lapre, menurut kartu tawanan perangnya di zaman pendudukan Jepang, ditahan di Jawa Barat dan dia pada 1942 sudah jadi letnan dua cadangan KNIL di Batalyon Infanteri e-4 di Cimahi. Lapre dan pasukannya sempat berada sebuah tempat yang disebut Awango.
Letnan Lapre di dalam Andjing NICA memimpin sekitar 50 serdadu. Bersama mereka Lapre bergerak menuju lereng Sumbing dari arah Magelang. Selain ada supir, bersama pasukan itu ada operator radio untuk perhubungan dengan markas pasukan di Magelang dan petugas amunisi.
Dalam udara dingin anak buah Lapre bekerja dalam bahaya. Provinciale Overijsselche en Zwolsche Courant tanggal 28 Maret 1949 menyebut setiap harinya, pasukan Lapre berjalan kaki 13 km di lereng bukit yang hutannya masih lebat. Lapre tak membiarkan pasukannya berjalan lambat. Komandan KNIL kelahiran Betawi, 1 Maret 1920 itu memberikan teladan dengan teratur berjalan cepat.
Perburuan hari pertama itu dihabiskan untuk mencari keterangan soal posisi musuh. Para penduduk didekati. Setelah berhari-hari di pegunungan, informasi terkumpul dan analisa dibuat oleh Lapre. Letnan Lapre curiga bahwa para kepala desa di sekitar Sumbing mendukung gerilyawan RI.
Kecurigaan itu dibuktikan saat anak buah Lapre kemudian berhasil mencegat seorang pembawa pesan. Orang itu membawa pesan dari kepala kampung ke pasukan gerilya RI yang mengabarkan bahwa patroli Belanda menyisir Sumbing. Lapre tahu orang-orang itu berkumpul di Desa Tepus dan anggota gerilyawan pro-RI di Sereal, tinggi kedu wilayahnya sekitar 1.300 meter dari permukaaan laut.
Lapre pun langsung membagi pasukannya. Sersan Mayor Anton dan Sersan Langgalau membawa orang-orangnya untuk mengumpulkan orang sipil di Tepus. Sersan Kailoehoe dan orang-orangnya akan mendekati musuh pada subuh.
Setelah bergerak, mereka melihat orang-orang Indonesia sedang mandi di aliran sungai pegunungan yang airnya mengalir deras. Diketahui senjata mereka tak dekat dengan air ketika mandi sehingga mereka tak bisa lari apalagi melawan ketika ada suara ledakan dari arah lain. Maka pasukan Andjing NICA langsung mengganggu ritual pagi itu dengan mengepung. Sukses!
Kunci dari sebuah serangan, menurut Lapre, adalah kecepatan. Itu yang diterapkannya dalam pergerakan pasukannya.
Setelah sukses menggerakkan pasukan penyerang itu, Lapre dan pasukannya bergerak ke Tepus. Keadaan di sana tampak aman bagi mereka. Setelah sekitar 4 hari berpatroli ke gunung, pasukan Lapre sukses membawa hasil, 89 orang sipil. Pasukan Lapre lalu turun gunung.
Belanda menganggap penggerebekan pasukan Lapre itu akan mengurangi kekuatan TNI di Gunung Sumbing, di mana Letkol Sarbini adalah pimpinan TNI di kawasan itu. Pihak Belanda menyebut pasukan Sarbini bahaya bagi kedudukan Belanda di Magelang. Pasukan Sarbini dikabarkan hendak membakari lereng Gunung Sumbing.