Tien Soeharto, Ibu Negara Tiga Dekade
Dia yang meneguhkan hati Soeharto yang sempat berniat hengkang dari militer. Setelah lama bercokol di puncak, Tien meminta suaminya itu untuk menyudahi kekuasaan.
Hari-hari setelah dicopot dari kedudukan panglima Teritorium IV/Diponegoro terasa bagai sembilu di hati Kolonel Soeharto. Upacara serah terima dengan Kolonel Pranoto Reksosamodra berlangsung tanpa seremoni yang berkesan. Sejak saat itu, hubungan Soeharto dan Pranoto merenggang.
“Bagaimanapun aku merasa dipermalukan dan dicoreng-moreng oleh sebab perbuatannya,” kata Soeharto merujuk Pranoto seperti terkisah dalam Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra: Dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya.
Pada 1959, praktik penyelundupan di Jawa Tengah yang melibatkan Soeharto terendus Markas Besar Angkatan Darat. Itulah musabab dirinya digantikan oleh Pranoto. Meski punya alasan kuat untuk mensejahterakan prajurit, Soeharto tetap saja melakukan pelanggaran. Terbongkarnya skandal itu membuat Soeharto terguncang. Dia dikabarkan berniat mundur diri militer lalu memulai kehidupan baru sebagai sopir taksi.
Baca juga: Ketegaran Tien Soeharto dan Hartini Sukarno
Beruntunglah Soeharto memiliki Siti Hartinah, pendamping yang telah diperistrinya sejak 1947. Dengan kelembutannya, wanita ningrat yang masih keturunan Mangkunegara III itu membesarkan hati Soeharto. Setelah diwejangi Tien, panggilan Siti Hartinah, niatan Soeharto alih profesi jadi sopir taksi urung sudah.
“Dulu saya tidak menikah dengan sopir taksi, tapi saya menikah dengan seorang prajurit, seorang tentara,” kata Tien kepada Soeharto seperti dicatat Abdul Gafur dalam Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.
Begitulah kekuatan kata-kata seorang istri. Soeharto pun melanjutkan kariernya di Angkatan Darat, meskipun dengan reputasi ternoda. Setelah “disekolahkan” di Kursus C (Seskoad), Soeharto menduduki sejumlah pos penting di Angkatan Darat. Pelan-pelan karier militernya moncer lagi.
Baca juga: Kala Soeharto Jadi Panglima (1)
Nama Soeharto mulai diperhitungkan ketika kampanye militer pembebasan Irian Barat digaungkan. Presiden Sukarno menunjuknya sebagai panglima Komando Mandala pada 1962. Setelahnya, Soeharto menjabat panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Pamor Soeharto kian melesat setelah berperan besar menumpas pemberontakan G30S 1965. Kursi pimpinan tertinggi Angkatan Darat hingga kursi RI-1 direngkuhnya dalam waktu singkat.
Pada 1968, Soeharto resmi menjadi presiden yang terpilih lewat Sidang Umum MPRS ke-V. Jabatan itu diembannya hingga tiga dekade. Dengan demikian, Tien tak lagi menjalankan tugasnya sebagai istri tentara, melainkan ibu negara. Kehadiran Tien sebagai ibu negara mengisi kekosongan di Istana Kepresidenan yang lama ditinggalkan ibu negara sebelumnya. Fatmawati, istri Presiden Sukarno yang juga ibu negara pertama meninggalkan istana sejak pertengahan 1950.
Meski lebih memilih tinggal di kediaman pribadi di Jl. Cendana 8 Menteng, Tien punya andil besar dalam menata Istana Kepresidenan di Jakarta. Istana Merdeka dan Istana Negara sejak era Presiden Soeharto dipoles dengan nuansa dan rasa yang lebih Indonesia. Mulai dari interior Istana, menu jamuan tamu negara, hingga furnitur diselaraskan dengan budaya Indonesia. Ukiran Jepara yang banyak menghiasi sudut-sudut istana merupakan salah satu buah gagasan dari Ibu Tien.
“Istana Presiden itu adalah peninggalan zaman Belanda. Bangunannya sudah kuno, oleh karena itu saya berusaha agar isinya tampak lebih menyolok corak ke-Indonesiaannya,” kata Ibu Tien seperti dicatat Abdul Gafur.
Baca juga: Koleksi Seni Istana Tak Terpelihara Era Orba
Joop Ave, kepala Rumah Tangga Istana periode 1972—1978, bahkan menyatakan atasan langsungnya adalah Ibu Tien. Menurutnya Ibu Tien begitu cermat dan teliti mengurusi rumah tangga Istana, semisal mencicipi langsung menu jamuan tamu negara atau bila perlu memasaknya di Cendana untuk kemudian diantarkan ke Istana.
Di luar Istana, Tien aktif dalam pendirian yayasan-yayasan yang bergerak di bidang sosial dan kesehatan. Selain itu, Tien juga terlibat dalam memprakarsai sejumlah kebijakan Presiden Soeharto, khususnya yang menyangkut hak dan perlindungan kaum perempuan. Terbitnya Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 disebut-sebut tidak terlepas dari campur tangan Ibu Tien. Begitu pula dengan Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1983 tentang izin pernikahan dan perceraian bagi PNS. Peraturan ini melarang ketat pejabat negara untuk berpoligami. Tien dikenal anti poligami.
Tapi, selama menjadi ibu negara, Tien juga tersandung beberapa isu. Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagasnya pada awal 1970, dikritik karena dianggap memboroskan uang negara. Namun, pembangunan TMII tetap berlanjut dan setelah berdiri dikelola oleh Yayasan Harapan Kita. Sampai saat ini, TMII masih beroperasi sebagai destinasi wisata andalan di Jakarta. Status kepemilikannya dari Yayasan Harapan Kita telah berpindah kepada pemerintah di bawah Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
Baca juga: Cerita di Balik Pembangunan TMII
Yang paling mengganggunya barangkali selintingan rumor miring tentang praktik gratifikasi yang melibatkan kedudukan Tien sebagai ibu negara. Sosiolog cum eks jurnalis Tempo George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan menyebut nama Tien kerap diplesetkan menjadi “Ibu Tien Percent” (nyonya sepuluh persen). Julukan ini merujuk pada persentase yang dia minta dari perjanjian-perjanjian bisnis di mana dia terlibat melalui yayasan atau saudara-saudarinya. Desas-desus semacam ini tentu dibantah oleh mereka yang berada dalam rezim Orde Baru. Benar-tidaknya perkara ini tidak ada pembuktian lebih lanjut.
Jusuf Wanandi, pendiri CSIS, lembaga kajian pemerintah di masa Orde Baru, menegaskan tuduhan mengenai “Ibu Tien Percent” adalah tidak benar. Menurutnya memang benar ada kerabat Keluarga Cendana yang coba mengambil manfaat dari posisinya sebagai ibu negara, tetapi mereka gagal. Hanya ada satu atau dua kerabat presiden yang berhasil, seperti Probosutedjo dan Soedwikatmono.
“Tuduhan masyarakat terhadap Ibu Tien sangat tidak masuk akal. Ibu Tien hanya menjadi perisai yang digunakan Soeharto untuk mengalihkan kritik dari dirinya,” ujar Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965—1998.
Baca juga: Minta THR ke Ibu Tien Soeharto
Biar bagaimanapun, Tien adalah sosok yang masih tahu batas. Memasuki dekade ketiga masa pemerintahan Orde Baru, Tien menyarankan Soeharto untuk menyudahi kekuasaanya. Anjuran itu terbilang wajar mengingat Soeharto telah memasuki usia lanjut kepala tujuh. Sudah waktunya bagi suaminya itu untuk berhenti jadi presiden dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Soeharto sendiri pernah mencurahkan perihal keinginan Tien itu kepada salah satu menterinya, Emil Salim.
“Ibu Tien sudah berkali-kali meminta saya lengser keprabon. Saya sendiri juga merasa sudah waktunya untuk mengundurkan diri,” kata Soeharto seperti dituturkan ulang Emil Salim dalam bunga rampai Pak Harto: Sisi-sisi yang Terlupakan suntingan O.C. Kaligis.
Namun, sebelum Soeharto turun takhta, Tien wafat lebih dulu pada 29 April 1996. Sepeninggal Tien, Soeharto diguncang kesedihan yang amat dalam.
Soeharto sendiri baru lengser pada 1998. Itupun karena didesak rakyat yang menuntut reformasi pemerintahan.
Baca juga: Soeharto Capek Jadi Presiden
Tak lama setelah wafatnya, Tien dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Tien atau Sri Hartinah tercatat sebagai ibu negara terlama (29 tahun) sepanjang sejarah Indonesia. Hari-hari setelah Ibu Tien tiada, Soeharto lebih banyak didampingi putri sulungnya Siti Hardijanti Rukmana atau yang akrab dipanggil Mbak Tutut.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar