Ketegaran Tien Soeharto dan Hartini Sukarno
Dua ibu negara harus menutupi kelemahan suami mereka. Tetap setia meski pilu dan malu mendera.
Pengalaman menjabat Panglima Diponegoro meninggalkan kenangan pahit bagi Soeharto. Waktu itu pangkat Soeharto masih kolonel. Dalam amatan Soeharto, kondisi kesejahteraan prajuritnya cukup melarat. Soeharto putar akal bagaimana caranya mendulang uang.
“Dengan berani dan menantang resiko, Panglima melaksanakan barter gula dari Jawa Tengah yang berkelebihan produksinya dengan beras,” tutur Hartinah, istri Soeharto kepada Abdul Gafur dalam Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia. Menurut Tien – panggilan Hartinah – keadaan di Jawa Tengah dilanda paceklik karena gagal panen.
Sebagaimana kelak diketahui umum, Soeharto menjalankan bisnis gelap. Dia melakukan penyelundupan hasil bumi setelah kongkalikong dengan pengusaha Tionghoa, Liem Sioe Liong. Kegiatan ini tergolong ilegal, karena tentara tak diperkenankan berdagang.
Baca juga: Persekutuan Jenderal dan Pengusaha
Apes. Aksi Soeharto ketahuan Markas Besar TNI. Jenderal Nasution hampir saja ingin memecatnya karena dianggap bikin malu korps. Nama Soeharto pun lekat dengan citra buruk sebagai perwira dagang.
Mengangkat Semangat
Menurut Tien, kegiatan barter itu dilaksanakan setelah bermusyarah dengan Gubernur Jawa Tengah dan pimpinan partai-partai politik. Namun tak ada rincian berapa angka-angka yang dihasilkan dari barter tersebut. Alokasi dan distribusi hasil barter itupun entah kemana. Tien hanya menyebutkan kebijakan barter yang dilakoni suaminya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga prajurit dan menolong rakyat yang kekurangan beras.
Akibat skandal itu, Soeharto dicopot dari jabatan panglima. Dia digantikan oleh Kolonel Pranoto Reksosamudra. Tien mengenang suasana serah terima jabatan dengan rasa pilu. Sama sekali tak ada upacara resmi dengan tata upacara militer sebagaimana lazimnya suatu upacara militer. Tien sendiri merasa perlakuan terhadap suaminya tak adil dan sarat fitnah.
Baca juga: Soeharto Seteru Pranoto
Rasa kecewa dan minder menghinggapi diri Soeharto. Betapa frustrasinya Soeharto sampai-sampai dia berpikir untuk keluar dari dinas tentara lantas beralih profesi jadi sopir taksi. Tien-lah yang meneguhkan kembali mental Soeharto yang jatuh usai kasus penyelundupan.
“Dulu saya tidak menikah dengan sopir taksi, tapi saya menikah dengan seorang prajurit, seorang tentara,” ujar Tien kepada Soeharto yang lagi galau. “Segala sesuatu itu sebaiknya dihadapi dengan kepala dingin biarpun hati panas.”
Baca juga: Kala Soeharto Jadi Panglima (1)
Kata-kata penyemangat dari Tien itu mengurungkan niat Soeharto untuk angkat kaki dari dunia tentara. Tien adalah orang penting di balik nasib mujur yang dialami Soeharto di kemudian hari hingga akhirnya meraih puncak sebagai Presiden RI yang kedua. Jalan nya sejarah mungkin akan lain andai Tien menuruti kehendak Soeharto jadi sopir taksi.
Terima Sepenuh Hati
Lain Soeharto, lain lagi pendahulunya, Sukarno. Bung Karno dikenal punya banyak istri. Pada awal 1960-an, wartawan kawakan Rosihan Anwar mencatat bawa Sukarno punya empat istri. Mereka antara lain: Fatmawati, Hartini, Ratnasari Dewi, dan Haryati.
“Dari keempat istri Presiden itu, Hartinilah yang paling pandai mengurus diri,” tulis Rosihan dalam Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961—1965.
Baca juga: Hartini, First Lady yang Tak Diakui
Hartini adalah istri yang dinikahi Sukarno pada medio 1950-an. Meski berparas ayu dan disebut-sebut paling pandai mengurus diri, toh Hartini juga mencurahkan kegetirannya mengenai kelakuan sang suami. Bukan soal uang, harta, ataupun korupsi. Namun apalagi kalau bukan soal kegemaran Sukarno terhadap perempuan.
“Hanya satu kelemahannya yakni soal perempuan. Beberapa orang hanya mengurus uang, tetapi Bapak hanya peduli dengan perempuan,” kata Hartini kepada Saskia Wieringa dalam wawancara 9 Februari 1984 termuat di Penghancuran Gerakan Perempuan.
Hartini mengungkapkan, ada pihak-pihak yang berkepentingan kepada Sukarno demi memuluskan tujuannya menawarkan perempuan sebagai alat tawar. Cara seperti ini merujuk kepada Ratnasari Dewi, gadis Jepang yang dikenalkan kepada Sukarno di sebuah klub malam. Perkenalan Sukarno dan Dewi tak luput dari lobi-lobi politik dan ekonomi.
Baca juga: Si Bung dan Dua Gadis Jepang
“Saya harus menerimanya karena ia (Sukarno) selalu memenuhi kewajibannya kepada saya,” kata Hartini. Ketika Sukarno di ambang keruntuhannya, Hartini-lah istri yang setia mendampingi. Dia berada di sisi Sukarno bahkan hingga saat-saat terakhir sang proklamator itu ada di dunia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar