Selama 20 tahun mendampingi Presiden Soeharto sebagai menteri, terselip satu pertemuan paling berkesan bagi Emil Salim. Titimangsa 1993, Soeharto memanggil Emil secara pribadi ke kediamannya di Jalan Cendana 8, Menteng, Jakarta Pusat. Pada awal pertemuan, Soeharto banyak bicara soal filosofi Jawa kepada Emil yang orang Minang itu.
“Ternyata, cerita yang panjang lebar itu merupakan pengantar. Inti pesannya adalah bahwa Pak Harto ingin mengabarkan bahwa saya tidak akan masuk lagi dalam kabinet yang berikut,” ungkap Emil Salim dalam bunga rampai Pak Harto: Sisi-Sisi yang Terlupakan suntingan O.C. Kaligis.
Emil Salim menjabat menteri sejak Kabinet Pembangunan I hingga V (1971—1993). Namanya absen dalam jajaran Kabinet Pembangunan VI. Alih-alih kecewa, Emil justru lega. Dia mengatakan sudah jenuh menjadi menteri. Istrinya juga menginginkan kehidupan normal sebagai orang biasa. Bisa makan di pinggir jalan tanpa harus terganggu dengan keberadaan wartawan atau orang lain yang ingin memotret.
Mendengar jawaban demikian, Soeharto takjub. Menurut Emil, ada bagian dari ucapannya yang menyentuh Soeharto, terutama menyangkut soal istri. Setelah itu, giliran Soeharto yang gantian curhat.
“Saya juga sudah sudah capek. Ibu Tien sudah berkali-kali meminta agar saya lengser keprabon. Saya sendiri juga merasa sudah waktunya untuk mengundurkan diri,” kata Soeharto
Baca juga: Minta THR ke Ibu Tien Soeharto
Curhat Soeharto capek jadi presiden itu kiranya bukan isapan jempol belaka. Try Sutrisno, wakil presiden yang mendampingi Soeharto periode 1993-1998, juga bilang demikian. Seingat Try, pada awal 1990-an ketika dirinya menjabat Panglima ABRI, Soeharto sudah mengisyaratkan keengganannya untuk dicalonkan sebagai presiden periode 1993-1998.
Soeharto pernah mengatakan, pelantikannya untuk masa bakti 1988-1993 adalah pelantikannya yang terakhir sebagai presiden. Saat itu usia Soehato sudah 67 tahun. Dan ketika menyelesaikan masa jabatannya pada usia 72, itulah waktu bagi Soeharto untuk berhenti sebagai presiden. Usia lanjut dan kesehatan tentu jadi pertimbangan.
Pertanda lainnya dinyatakan Soeharto ketika menerima kunjungan pengurus sebuah organisasi kepemudaan tahun 1991. Dalam pertemuan itu, dia menjelaskan pentingnya arti kaderisasi. Sambil berseloroh Soeharto juga merujuk kondisi dirinya yang sudah uzur.
“Saya ini sudah TOPP yang artinya sudah tua, ompong, peot, dan pikun,” kata Soeharto setengah bercanda sebagaimana dituturkan ulang Try Sutrisno dalam bunga rampai yang sama.
Baca juga: Try Sutrisno, Benny Moerdani, dan Soeharto
Tapi, yang terjadi kemudian Soeharto malah bersedia ketika dicalonkan kembali menjadi presiden periode 1993-1998. Pada periode berikutnya, Soeharto bahkan bersedia lagi untuk masa bakti 1998—2003, yang berujung didongkel rakyat lewat kekuatan Reformasi. Padahal, selain Ibu Tien, sejumlah kolega Soeharto telah menyarankannya untuk mundur lengser keprabon. Sebut saja seperti mantan Kepala Bakin Jenderal Yoga Soegomo, Gubernur Lemhanas Letjen Sayidiman Suryohadiprodjo, termasuk menantunya sendiri, Prabowo Subianto.
Jenderal Hartono, mantan KASAD yang dekat dengan Keluarga Cendana, dalam wawancara majalah Forum, 18 Mei 2003 bercerita bahwa Prabowo pernah memintanya membujuk Soeharto mengundurkan diri. Ketika Hartono bertanya siapa penggantinya, Prabowo mantap menyebut nama Habibie.
Kendati dalam hati kecilnya Soeharto ingin berhenti, Emil Salim menyebut ada kondisi di mana sekutu-sekutu politiknya terus saja mengipas-ngipasi agar Soeharto terus menjabat. Begitu pula menurut Try Sutrisno. Tetap bercokolnya Soeharto di tampuk kekuasaan karena desakan kelompok-kelompok kepentingan di “lingkaran dalam” dan “orang-orang dekat” di sekelilingnya.
Baca juga: Cara Jawa Melengserkan Soeharto
Pada pengujung 1997, Dewan Pembina Golkar meyelenggarakan penjaringan aspirasi rakyat. Hasilnya 92 persen responden menginginkan Soeharto tetap menjadi presiden. Ketua Umum Golkar Harmoko adalah tokoh yang paling getol mencalonkan Soeharto kembali sebagai presiden yang sudah menginjak usia 76 tahun.
Tjipta Lesmana, Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan, merunut pada 16 Oktober 1997, Harmoko dalam pembukaan Rapim Golkar IV di Hotel Indonesia mengatakan Golkar pasti akan mencalonkan kembali Soeharto. Tiga hari berselang, 19 Oktober, Golkar secara resmi memaklumatkan Soeharto sebagai calon presidennya. Hari itu bertepatan dengan peringatan HUT Golkar ke-33 di Balai Sidang Senayan.
“Bagaimana tidak jengkel Soeharto sebab hanya dalam waktu kurang dari setengah tahun rakyat yang semula dikatakan memintanya memimpin kembali, berbalik mendesaknya mundur. Itu berarti penjaringan aspirasi yang dilakukan Golkar tidak lebih rekayasa belaka atau sekadar manifestasi sikap penjilat di kubu Golkar, khususnya Harmoko,” ulas Tjipta Lesmana dalam Dari Soekarno sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa.
Baca juga: Harmoko dan Aneka Safari
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Salim Said menyebut Soeharto punya agenda tersembunyi di balik perpanjangan masa kekuasaanya. Ketika diangkat menjadi penasihat Fraksi Golkar dalam Badan Pekerja (BP) MPR, Salim berpendapat bahwa Soeharto sedang mempersiapkan putri sulungnya, Siti Hardianti Rukmana alias Mbak Tutut, untuk kelak menggantikannya. Tengara itu disampaikan Salim kepada Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung.
“Putri sulung sang Presiden sedang dalam proses berjalan ke tempat tertinggi Golkar sebagai bagian dari usaha sang Bapak menyiapkan putrinya menduduki jabatan tertinggi di Indonesia. Langkah pertama ke arah puncak kekuasaan itu adalah menjadi anggota kabinet,” tutur Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Mbak Tutut saat itu menjabat ketua Fraksi Golkar di BP-MPR. Dan terbukti kemudian, Mbak Tutut ditunjuk menjadi menteri sosial pada kabinet terakhir Soeharto. Tapi, Tutut tidak kesampaian jadi Ketua Umum Golkar menggantikan Harmoko. Reformasi keburu menggulung rezim Orde Baru.
Baca juga: Golkar Sepeninggal Daripada Soeharto
Yang terang, setelah terjungkal dari kekuasaan, Soeharto menyalahkan Harmoko, mantan pembantu dekatnya yang pernah tiga periode menjabat menteri penerangan. Harmoko dituding berkhianat atas lengsernya Soeharto. Sejak itu, Soeharto menolak bersua atau dibesuk Harmoko, sampai akhir hayat masing-masing.