Kapolri Mengundurkan Diri
Kapolri mengundurkan diri karena ditentang para perwira tinggi polisi. Penggantinya, Hoegeng Iman Santoso, diberhentikan sebelum habis masa jabatannya.
Dalam perjalanan kariernya, Hoegeng Iman Santoso pernah bertugas di luar kepolisian. Pada 1960, dia menjabat Kepala Jawatan Imigrasi. Setelah itu, pada 1966 dia menjabat Menteri/Sekretaris Kabinet Inti atau Presidium Kabinet Dwikora yang Disempurnakan.
Hoegeng tak lama menjadi menteri karena kepolisian membutuhkannya. Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (kini, Kapolri) Jenderal Polisi Soetjipto Joedodihardjo meminta izin kepada Presiden Sukarno untuk menarik Hoegeng kembali ke kepolisian. Sukarno mengizinkan dan terserah Hoegeng. Sebab, bila kembali ke kepolisian, maka jabatannya turun dari menteri menjadi deputi.
Hoegeng menjabat Deputi Urusan Operasi. Masa-masa awal menjadi deputi, dia gunakan untuk mengenal kembali seluk-beluk dan situasi kepolisian. Maklumlah dia bertugas di luar kepolisian kurang lebih enam tahun sejak tahun 1960.
Baca juga: Hoegeng Pernah Keluar dari Kepolisian
Tampaknya Soetjipto menarik Hoegeng untuk menggantikannya sebagai Kapolri. Sebab, saat itu kondisi di dalam tubuh kepolisian tidak kondusif. Para perwira tinggi polisi tidak puas dengan kebijakan Soetjipto yang dinilai kurang tegas dalam beberapa hal. Masalahnya menjadi semakin tajam setelah Soetjipto menskors perwira yang menentangnya, seperti AKBP Mr. R. Soejono.
“Yang mengalami kesulitan justru Pak Tjip sendiri. Hal itu berakibat ia ingin mengundurkan diri saja, artinya minta pensiun,” kata Hoegeng dalam otobiografinya, Polisi Idaman dan Kenyataan.
Soetjipto mengungkapkan keinginannya mundur kepada Hoegeng. Dia juga menyampaikan bahwa para deputi telah sepakat untuk mengusulkan Hoegeng sebagai penggantinya. Usul itu telah disampaikan kepada Presiden Sukarno dan Jenderal TNI Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet. Sukarno dan Soeharto setuju, tetapi Soeharto meminta Tengku Azis sebagai wakil Kapolri. Hoegeng tidak keberatan karena sudah kenal dengan Tengku Azis.
Hoegeng merasa terharu karena masih dipercaya rekan-rekan di kepolisian. Padahal, dia sudah lama berada di luar kepolisian. Justru karena itulah Hoegeng dipilih menjadi pengganti Soetjipto.
“Saya juga berada di luar klik-klik para perwira yang pro atau kontra Soetjipto Joedodihardjo. Tak condong ke sana dan ke mari. Setidak-tidaknya demikain saya menilai diri sendiri,” kata Hoegeng.
Suatu hari, Hoegeng dan Tengku Azis dipanggil Soeharto. Soeharto meminta kepada Hoegeng agar polisi menjalankan tugasnya sebagai polisi, jangan lagi memikirkan tugas angkatan lain, seperti peperangan. Selain itu, Soeharto juga meminta jangan ada lagi grup-grupan di kalangan para perwira tinggi polisi, yang satu sama lain saling tendang.
Pada 1 Mei 1968, pangkat Hoegeng dinaikkan menjadi bintang tiga, yaitu Komisaris Jenderal Polisi. Dua minggu kemudian, pada 15 Mei 1968, Hoegeng dilantik menjadi Kapolri dengan wakilnya Tengku Azis. Pembantunya Katik Soeroso (deputi urusan operasi), A.J.M. Pieter (deputi urusan pembinaan), dan B. Mardjaman (deputi urusan khusus).
Baca juga: Jenderal Polisi Divonis Mati
Namun, jabatan Hoegeng sebagai Kapolri berakhir sebelum waktunya. Alasan pemberhentiannya karena pengungkapan kasus penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahyadi pada 1969. “Diisukan bahwa kasus penyelundupan Robby Tjahyadi merupakan salah satu alasan mengapa saya tak disukai atau dipecat sebagai Kapolri,” kata Hoegeng.
Hoegeng dianggap telah melangkahi Bakolak pimpinan Jaksa Agung Ali Said dengan membongkar kasus penyelundupan itu lebih dini. Bakolak adalah Badan Koordinasi Pelaksana Inpres No. 6/1971 tentang pemberantasan penyelundupan. Kepolisian salah satu unsur dalam Bakolak. Akhirnya, Bakolak menangkap Robby Tjahyadi dengan barang bukti 28 mobil mewah. Robby dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara ditambah denda dan penyitaan barang-barang terkait penyelundupan.
Dalam salah satu wawancara dengan media, Hoegeng mengumumkan bahwa akan datang kejutan, big news, yaitu pembongkaran penyelundupan ratusan juta rupiah di Tanjung Priok. “Sebelum saya sempat mengumumkannya, saya sudah melakukan serah terima jabatan,” kata Hoegeng. Masa jabatan Hoegeng sebagai Kapolri berakhir pada 2 Oktober 1971.
Baca juga: Polisi Berat Menjadi Seperti Hoegeng
Hoegeng tidak mendapat penjelasan dari atasannya, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Maraden Panggabean, mengapa masa jabatannya sebagai Kapolri dipercepat. Dia pun menyimpulkan bahwa pemberhentiannya semata-mata beleid (kebijakan) Presiden Soeharto.
Hoegeng kemudian menghadap ke Cendana. Soeharto bertanya, “Lho, bagaimana, Mas, mengenai soal dubes itu?”
Hoegeng ditawari menjadi duta besar di Belgia. Pada masa Orde Baru, pejabat yang sudah tidak dikehendaki penguasa biasanya akan “didubeskan” yang berarti “dibuang”.
“Saya tak bersedia jadi dubes, Pak. Tapi, tugas apapun di Indonesia, akan saya terima,” kata Hoegeng.
“Di Indonesia tak ada lagi lowongan, Mas Hoegeng,” kata Soeharto.
“Kalau begitu, saya keluar saja,” kata Hoegeng.
Baca juga: Hoegeng, Pensiunan Kapolri jadi Seniman
Setelah serah terima jabatan dengan Kapolri baru, Letnan Jenderal Polisi Drs. Mohammad Hassan, Hoegeng mengembalikan semua inventaris milik kepolisian, mulai dari walkie talkie, peralatan radio, mobil, dan sebagainya.
M. Hassan pun terkejut, “Kok semua barang-barang kamu kembalikan?”
“Habis kan memang bukan milik saya,” kata Hoegeng.
“Kamu masih punya mobil?”
“Ya enggak, dong!”
“Pergi ke mana-mana naik apa?”
“Naik Mercedes, bis kotanya Ali Sadikin,” kata Hoegeng tertawa. Ali Sadikin adalah gubernur DKI Jakarta.
M. Hassan yang terenyuh menawarkan, “Bagaimana kalau saya pinjamin?”
Hoegeng mengisi masa pensiun dengan menikmati hobinya: melukis, mengutak-atik radio, dan main musik Hawaiian.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar