Kabinet 100 Menteri Dulu dan Kini
Kabinet Merah Putih yang dipimpin Presiden Prabowo berisikan lebih dari seratus pejabat tinggi. Di masa lalu, ketika negara dilanda krisis politik, Presiden Sukarno juga membentuk Kabinet Dwikora II yang lebih dikenal sebagai Kabinet 100 Menteri.
JENDERAL TNI (Purn.) Prabowo Subianto dilantik menjadi presiden RI ke-8 kemarin (20/10). Pada hari yang sama setelah pelantikannya, Presiden Prabowo segera mengumumkan kabinet berikut nama para menteri, wakil menteri, dan pejabat setingkat menteri di dalamnya. Bertempat di Istana Merdeka, Presiden Prabowo memperkenalkan para pejabat dalam kabinet yang dinamainya Kabinet Merah Putih itu.
Komposisi Kabinet Merah-Putih terbilang gemuk. Terdapat 48 menteri, termasuk 7 menteri koordinator, dan 56 wakil menteri ditambah 8 pejabat tinggi setingkat menteri atau kepala badan/lembaga. Totalnya ada 112 pejabat yang akan bertugas dalam Kabinet Merah Putih.
Bila Presiden Prabowo mengisi kabinetnya dengan banyak menteri saat baru menjabat, dulu Presiden Sukarno juga membentuk kabinet serupa di penghujung masa kekuasaannya. Pada 21 Februari 1966, Bung Karno mengumumkan pembentukan Kabinet Dwikora II. Ia merupakan penyempurnaan dari Kabinet Dwikora pertama (1964—1966). Maka kabinet ini disebut juga Kabinet Dwikora II yang disempurnakan. Tapi, merujuk komposisi menterinya yang terdiri dari 109 menteri, kabinet ini lazim pula disebut dengan Kabinet 100 Menteri.
Baca juga: Galang Dana Dwikora ala Sukarno
Menurut Ensiklopedia Sejarah Indonesia, Kabinet 100 Menteri adalah nama untuk kabinet yang dipimpin Presiden Sukarno dalam merespons krisis sosial, ekonomi, dan keamanan akibat perlawanan terhadap kepemimpinannya pasca-Gerakan 30 September (G30S) 1965. Setelah G30S, gelombang demontrasi mahasiswa dan pelajar mendesak pemerintah untuk merombak kabinet. Tuntutan itu memuncak pada aksi unjuk rasa pada 10 Januari 1966 yang melahirkan konsepsi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), yang berisi: bubarkan PKI, rombak Kabinet Dwikora, dan turunkan harga.
Pembentukan Kabinet 100 Menteri jadi salah satu kebijakan pemerintah Sukarno atas Tritura. Program penting kabinet ini yakni pemenuhan sandang pangan, konfrontasi Malaysia, dan melanjutkan pembangunan.
Namun, kabinet tersebut masih belum memuaskan sejumlah pihak. Beberapa menteri yang dianggap anti-G30S dicopot, seperti Jenderal Abdul Haris Nasution yang sebelumnya menjabat Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). Sebaliknya, Presiden Sukarno mengangkat pejabat yang diragukan atau dicurigai terlibat dalam G30S, seperti Soebandrio (Wakil Perdana Menteri I), Surachman (Menteri Pengairan Rakyat dan Pembangunan Desa), dan Oei Tjoe Tat (Menteri Negara).
“Tidaklah mengherankan kalau para mahasiswa memberi nama kabinet itu Kabinet Gestapu. Kabinet itu juga diberi julukan Kabinet 100 Menteri karena jumlah anggotanya seratus orang lebih,” catat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.
Baca juga: Ketika Jenderal Nasution Marah
Meski berjumlah besar, menteri yang ditambahkan ke Kabinet Dwikora II hanya berjumlah 15 dari Kabinet Dwikora I. Sebelum mengambil sumpah para menteri, Presiden Sukarno lebih dulu membacakan surat keputusan pengangkatan menteri baru dan pembebasan dari jabatan terhadap sebagian menteri lama. Para menteri yang dibebastugaskan itu, seturut berita Angkatan Bersendjata, 25 Februari 1966, antara lain: Jenderal Nasution, Laksmana Martadinata, Prof. Joened Poesponegoro, Ipik Gandamana, Artati Marzuki Sudirdjo, K.A. Iljas, Iwa Kusumasumantri, Arudji Kartawinata, Bugu Supeno, dan Abdul Wahab.
Pembentukan Kabinet Dwikora II, menurut sejarawan Merle Cochran Ricklefs, merupakan usaha terakhirnya untuk menyelamatkan Demokrasi Terpimpin. Selain memberhentikan Nasution sebagai Menteri Pertahanan, jabatan KSAB yang telah diemban Nasution sejak 1962 turut dihapus. Nasution yang setelah G30S cukup kritis dalam menentang Sukarno, tentu menolak pemecatannya. Sementara itu, Omar Dani (Menteri/Panglima Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang/KOPELAPIP) dan Soebandrio –dua orang yang diincar tentara– dipertahankan sebagai menteri.
“Sukarno menunjuk Letkol Imam Sjafei sebagai Menteri Negara Urusan Keamanan, bos para preman Jakarta. Preman-preman anti-KAMI pun segera diorganisir,” catat Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, 1200--2004.
Baca juga: Memburu Subandrio
Pelantikan kabinet pun tak berjalan mulus. Para demonstran melakukan aksi serentak mengempeskan ban-ban mobil di jalan-jalan raya Jakarta sehingga lalu lintas praktis terhenti. Di depan gerbang Istana, seorang demonstran bernama Arief Rahman Hakim, mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, meninggal akibat tertembak aparat keamanan. Kendati pelantikan Kabinet 100 Menteri dapat berlangsung, situasi krisis keamanan masih belum terastasi.
Presiden Sukarno sendiri pada saat pelantikan menegaskan posisinya sebagai kepala negara dan panglima tertinggi. “Jangan coba-coba dongkel dan menjungkrak-jungkrak saya. Saya bukan pemimpin yang mau dijungkrak-jungkrak,” kata Bung Karno dalam amanatnya seperti dikutip dalam Berita Yudha, 25 Februari 1966. Sukarno juga berseru dihadapan para menteri untuk terus melanjutkan kebijakan konfrontasi “Ganyang Malaysia”.
Pada akhirnya, Kabinet Dwikora II berlangsung singkat. Situasi keamanan tak kunjung kondusif. Dalam sidang terakhir pada 11 Maret 1966, rapat kabinet terganggu oleh aksi para demonstran dan kehadiran pasukan tak dikenal di sekitar Istana. Peristiwa ini menjadi prolog lahirnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966. Setelah terbitnya Supersemar, sebanyak 15 menteri ditangkap atas perintah Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto. Terhitung sejak pelantikan 24 Februari 1966 hingga demisioner pada 27 Maret 1966, Kabinet Dwikora II atau Kabinet 100 Menteri hanya bertugas selama sebulan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar