SMP Nasional merupakan sekolahnya pendukung Republik Indonesia di Makassar ketika kota Makassar menjadi daerah pendudukan Belanda dan ibukota Negara Indonesia Timur (NIT). Wolter Mongisidi, Andi Sose, dan Ahmad Mattulada adalah tiga dari sekian banyak siswa yang dengan terang-terangan melawan tentara Belanda.
Mattulada ikut serta dalam Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI) yang didirikan Manai Sophiaan, ayah aktor Sophan Sophiaan. Buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 menyebut Mattulada adalah komandan Pemberontak Boeloekoemba Angkatan Rakjat (PBAR). Laskar ini kemungkinan berbasis di Bulukumba, Sulawesi Selatan bagian tenggara. Bulukumba adalah kampung halamannya, tempannya ketika kecil disapa Mattola Adeq.
Dalam sebuah gerilya yang diikutinya pada akhir 1946, Mattulada ditangkap aparat keamanan yang condong ke Belanda. Ketika itu 120-an personel Depot Special Troepen (DST) yang dipimpin Kapten Westerling mendarat di Sulawesi Selatan. Mereka sempat ke Bulukumba.
“Saya resah menunggu giliran dihabisi Westerling. Saya hanya bisa berdoa,” aku Mattulada, dikutip M. Dahlan Abu Bakar dalam Mattulada, dari Pejuang hingga Ilmuwan.
Kepala Polisi La Tippa, catat Dahlan, pada 7 Januari 1947 datang ke penjara Bulukumba dan tidak terjadi pembantaian hari itu. Artinya, Mattulada selamat dari Westerling.
Setelah tentara Belanda angkat kaki, Mattulada yang terpelajar tidak latah menjadi tentara seperti kebanyakan pejuang. Dia malah masuk polisi. Pada 1950, Mattulada bertugas di Pengawas Aliran Masjarakat (PAM). Pada 1951, PAM yang dipimpin Komisaris Omargatab (ayah Indro Warkop) berubah menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN). Kerja lembaga ini antara lain menggali informasi tentang kelompok-kelompok yang membahayakan RI.
Selama di kepolisian, menurut catatan buku Pemilihan umum 1987 Volume 18, Mattulada aktif dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI), salah satu peserta Pemilu 1955. Sambil jadi polisi dia terus bersekolah hingga mendapat ijazah SMA pada 1952. Mattulada memilih berhenti dari kepolisian pada 1956.
Mattulada kemudian menjadi guru. Dengan cepat dia menjadi direktur atau kepala sekolah sebuah SMA di Makassar. Sembari jadi guru, Mattulada kuliah lagi di Universitas Hasanuddin dan pada 1964 dirinya menjadi sarjana sastra dari kampus tersebut.
Setelah menjadi menjadi dosen di almamaternya, Mattulada terus kuliah hingga pada 1975 merampungkan disertasinya yang terkenal, “Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis”, di Universitas Indonesia. Mattulada pun jadi dia doktor antropologi. Karya tulisnya kemudian bermunculan, antara lain Menyusuri Jejak Makassar dalam Sejarah (1977) dan Pedang dan Sempoa, Satu Analisa Kultural Perasaan Kepribadian Orang Jepang (1979).
Sebagai akademisi terkemuka di Sulawesi, dirinya pernah menjadi pejabat. Sejak 1981 dia adalah Rektor Universitas Tadulako di Palu, Sulawesi Tengah. Sebagai orang terpelajar dia pernah ungkapkan pendapatnya terkait pidato pertanggungjawaban Soeharto pada 1983 di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang menyebut “dinamika masyarakat meninggi. Sebeb kehidupan semakin keras.”
“Salah satu masalah terbesar adalah soal pencari kerja. Mereka terdiri atas pemuda berusia 15-25 tahun yang kurang disiapkan untuk bersaing dalam pasar tenaga kerja yang semakin selektif,” kata Mattulada sep erti dicatat Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984. Pada 1987 dia dijadikan anggota MPR.
Dirinya, bersama Hamzah Daeng Mengemba, budayawan Sulawesi Selatan lainnya, pada 1976 adalah orang-orang yang menolak perubahan nama Makassar menjadi Ujungpandang. Setelah kota Makassar diperluas dengan mendapat sebagian wilayah dari Maros yang dianggap kawasan etnis Bugis. Waktu itu Mattulada dkk harus kalah karena selama puluhan tahun Makassar menjadi Ujungpandang, namun akhirnya pada 1999, sebelum kematian Mattulada, Ujungpandang akhirnya kembali menjadi Makassar lagi. Pria kelahiran Bulukumba 15 November 1928 ini tutup usia pa da 13 Oktober 2000 di Makassar.*