PUKUL 06.00 pagi, pesawat Belanda berputar-putar di atas Gedung Kepresidenan Yogyakarta (kini Gedung Agung Yogyakarta). Mengetahui hal itu, Sukarno beserta keluarga langsung naik mobil pergi mengungsi. Dia khawatir Belanda nekat mengebom Gedung Kepresidenan.
Sukarno memutuskan untuk mengungsi ke kediaman salah satu rekannya ketika kuliah di Technische Hoogeschool (THS, sekarang ITB, red.), Prof. Ir. BKRT Saluku Purbodiningrat.
“Waktu clash pertama itu Maguwoharjo (kini Lanud Adisutjipto, red.) dibom oleh Belanda. Jadi, Sukarno mengungsi ke beberapa teman dekatnya, di antaranya rumah ayah saya, supaya nggak ketahuan oleh mata-mata Belanda,” kata Raden Mas Lumiadji, putra pertama Purbodiningrat, kepada Historia.
Baca juga: Kisah menegangkan kala Yogyakarta diserang Belanda
Purbodiningrat merupakan adik kelas Sukarno. Dia masuk tahun 1924 dan lulus pada 1929, sementara Soekarno masuk tahun 1921. “Bung Karno lulus 1 tahun lebih dulu dibanding ayah saya. Bung karno tamat tahun 1928. Waktu di ITB sudah saling kenal. Bung karno banyak bergerak di politik, ayah saya banyak di bidang pendidikan,” kata Lumiadji.
Meski namanya tak populer dalam sejarah, Purbodiningrat punya banyak jasa. Dia merupakan pendiri Mavro (cikal bakal RRI Yogyakarta), perancang tata ruang Yogyakarta yang dikenal dengan Purbodiningrat’s Plan, dan anggota Dewan Konstituante.
Kediaman Purbodiningrat terletak di Jalan Patangpuluhan No. 22, sekira tiga kilometer barat-daya Gedung Kepresidenan Yogyakarta. Ketika menginap di rumah Purbodiningrat, Sukarno menempati kamar di timur ruang tengah dan menggunakan tempat tidur istri Purbodiningrat, Siti Aminah. Lumiadji yang kala itu masih duduk di kelas 1 SMA diminta pindah kamar. Dia tidur bersama para pengawal presiden dan adiknya, RM Djunaedi.
Baca juga: Kantor Sultan Yogyakarta diserbu Belanda
Semasa mengungsi itu, rapat-rapat darurat bersama beberapa pemimpin politik lain diadakan di rumah Purbodiningrat meski pihak keraton sudah menyiapkan gedung-gedung kementerian. “Ayah saya tiap malam itu sampai nggak bisa tidur. Kalau malam selalu rapat. Saya pernah lihat Sutan Sjahrir waktu itu,” kata Ismusilah, anak Purbodiningrat yang kini menempati rumah itu. Para menteri yang menghadap presiden datang secara sembunyi-sembunyi. Penjagaan dari pengawal presiden pun sangat ketat karna banyak mata-mata Belanda.
Ketika Lanud Adisutjipto kembali diserang Belanda, suara ledakan terdengar hingga ke rumah Purbodiningrat. Orang-orang panik lantaran beberapa hari sebelumnya pesawat Belanda sering terbang di atas rumah itu.
“Kalau ada bunyi sirine atau pesawat yang terbang di atas, kami langsung bersembunyi di bawah apa saja,” kata Lumiadji.
Fatmawati, seperti yang dia ceritakan dalam autobiografinya yang berjudul Fatmawati Catatan Kecil Bersama Bung Karno, bersembunyi dengan tiarap sambil menggendong Guntur di bawah wastafel. Mereka takut rumah tersebut dijatuhi bom karena tepat di atas mereka pesawat Belanda terbang berputar-putar.
Baca juga: Kisah sedih Guntur Sukarnoputra menikah tanpa sang ayah
“Ayah saya sudah berpikir kalau kami semua pasti mati. Tapi kok ternyata endak,” kata Ismusilah yang ketika diwawancara didampingi keponakannya, Anggrita Sallestyani.
Setelah seminggu menginap di rumah Purbodiningrat, Sukarno pindah. Dia khawatir mata-mata Belanda mencium keberadaannya. Dia lalu menginap di rumah Raden Sigit Prawiro, salah satu petinggi Asuransi Bumiputera.
Dari satu rumah teman ke rumah teman lain, Sukarno berhasil sembunyi. Dia baru kena sial, ditangkap Belanda, pada Agresi Militer II, Desember 1948, lalu diasingkan ke Berastagi dan Parapat.
Baca juga: Pejuang Parapat ingin culik Bung Karno secara terhormat