Masuk Daftar
My Getplus

Kapten Schmidt dan Gerombolan Bulenya Lawan Pemerintah Indonesia

Lantaran setia kepada Kerajaan Belanda, Kapten Schmidt rela bergerilya lagi di Indonesia. Ingin gulingkan pemerintahan sah.

Oleh: Petrik Matanasi | 26 Sep 2023
Van Kleef, bekas polisi Hindia Belanda yang bersama Westerling dan eks Kapten Schmidt menjalin hubungan dengan DI/TII guna melawan pemerintah RI (Ilustrasi foto: Pussejarah AD)

Bagi Kapten KNIL Henricus Catharinus Johannes Georgius Schmidt, kesetiaan pada negeri asal merupakan yang utama. Itu tak bisa ditawar-tawar lagi. Maka ketika keadaan “mengharuskan” dia untuk bertaruh nyawa untuk negerinya yang hendak kembali menguasai bekas koloninya, tanpa pikir panjang dia langsung bergerak.   

Kapten Schmidt orang Belanda totok. Arsip Studbook Stamboeken Officieren Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), 1815-1940 atas nama dirinya menyebut dia dilahirkan di Nederweert, Limburg, Negeri Belanda pada 12 Maret 1903. Dia anak dari pasangan Hermanus Catharinus Johannes Georgius Schmidt dan Johanna Maria Catharina Alexandrina Brandenburg.

Setelah studinya selesai, Schmidt jadi tentara. Koran Nieuwe Haarlemsche Courant tanggal 24 Januari 1956 menyebut Schmidt pernah belajar di Akademi Militer Breda. Dia lalu bergabung dengan Resimen Infanteri ke-14, mulai dari pangkat prajurit (sejak 1 Oktober 1919), lalu naik ke kopral (1 Juli 1920, kemudian sersan (15 September 1921).

Advertising
Advertising

Pangkat perwira baru didapatkan Schmidt pada 15 September 1925, saat dia menjadi letnan kelas dua infanteri. Dengan pangkat perwira itulah Schmidt menikahi Maria Clara Cecilia Grein di Weert pada 29 Desember 1925. Maria yang lebih tua dari Schmidt, lahir di Weert pada 13 Oktober 1901. Pasangan Schmidt-Maria dikaruniai momongan pada 1927, yang dinamai George.

Dengan pangkat perwira itu pula Schmidt ditugaskan ke koloni Hindia Belanda. Dia berangkat pada 2 Februari 1926 naik kapal SS Prins Nederlander.

Baca juga: Kelana Opsir KNIL Mencari Manusia Purba

 

Tiba di Betawi pada 8 Maret 1926, Schmidt lalu ditempatkan di Batalyon Infanteri KNIL ke-14. Sebagai letnan dua gajinya 375 gulden. Pada 8 September 1928 dia naik menjadi letnan satu infanteri dengan gaji 450 gulden.

Kendati jabatan yang sering diembannya adalah pengawas infanteri, Schmidt dikirim ke Aceh pada 15 September 1928. Dia ditempatkan di Batalyon Garnisun Aceh dan sekitarnya dengan jabatan komandan militer sebuah wilayah di sana. Daerah ini adalah daerah berbahaya bagi orang Belanda. Pada 12 November 1937, pangkatnya sudah naik menjadi Kapten. Gajinya tentu naik pula.

Ketika tentara Jepang akan mendarat di Hindia Belanda, Schmidt masih berdinas sebagai kapten KNIL. Sekitar Maret 1942, Kapten Schmidt adalah salah satu komandan kompi infanteri di Batalyon Infanteri ke-10 di Jakarta. Tangsi batalyon ini berada di sekitar Waterloo Plein (kini sekitar Hotel Borobudur). Satuan ini termasuk satuan yang dekat dengan istana gubernur jenderal.

Baca juga: Aksi Andjing NICA di Medan Laga

 

Tidak jelas apakah kompi Schmidt ikut bertempur atau tidak selama proses masuk tentara pendudukan Jepang. Yang pasti, perlawanan “tidak sungguh-sungguh” KNIL kepada Jepang hanya berlangsung sebentar.

“Pada malam tanggal 28 Februari dan 1 Maret 1942, terjadi serangan amfibi besar-besaran di empat lokasi di Jawa. Pendaratan tersebut melibatkan sekitar 25.000 tentara Jepang dari Angkatan Darat ke-16. Mereka dengan cepat membuat pasukan Sekutu kewalahan dan, dalam pertempuran yang hanya berlangsung selama seminggu. Ketika seluruh pertempuran usai, Jepang menawan 42.200 orang Eropa dan 38.000 personel KNIL pribumi. Orang-orang Eropa segera digiring ke kamp tawanan perang; mayoritas tentara KNIL yang ditangkap dibebaskan setelah beberapa saat disandera, namun banyak juga yang langsung dipaksa bertugas oleh Jepang dengan sebutan heiho,” tulis Fred L. Borch dalam Military Trials of War Criminals in the Netherlands East Indies 1946-1949.

Baca juga: Di Kalijati, Kekuasaan Belanda Diakhiri

 

Kapten Schmidt termasuk yang menjadi tawanan perang. Ketika dirinya ditawan, menurut kartu tawanan atas nama dirinya, anaknya Georg Schmidt tinggal di Pensionaat St Louis Weert, Limburg. Meski ditawan dan menderita di bawah tentara pendudukan Jepang, Kapten Schmidt tetap tak tinggal diam.

“Pada masa pendudukan Jepang saya bergerak secara bawah tanah,” akunya dalam pengadilan seperti diberitakan De Preangerbode tanggal 12 Oktober 1955.

Sebagaimana umumnya tawanan Jepang, Schmidt baru bebas setelah tentara Jepang menyerah kalah kepada Sekutu pada September 1945. Schmidt kemudian berdinas kembali di KNIL masih dengan pangkat kaptennya.

Kendati sempat diperiksa intelijen militer Hindia Belanda NEFIS sekitar 1946 untuk alasan yang masih buram, Kapten Schmidt bersama ribuan tentara Belanda lain kemudian ikut bertugas menyukseskan ambisi Belanda yang berusaha menduduki kembali bekas koloninya yang telah baru memerdekakan diri menjadi Indonesia.

Baca juga: Legenda dari Bawah Tanah

“Pada tahun 1947 saya dihukum tiga bulan karena desersi. Hukumannya sangat ringan karena saya berkomitmen pada kesetiaan dan karena saya baru saja menceraikan istri saya,” aku Kapten Schmidt.

Kesetiaan dan komitmen tinggi kepada Kerajaan Belanda membuat Kapten Schmidt tak rela Kerajaan Belanda kehilangan tanah koloninya. Karena itulah Schmidt rela untuk kedua kalinya melakukan gerakan bawah tanah di bekas Hindia Belanda. Gerakannya itu dilakukan melalui gerombolan bule bernama NIGO (Nederlansch Indie Guerilla Organisatie). Lawan dari NIGO adalah badan-badan perjuangan Republik Indonesia di Jakarta.  

NIGO kemudian bergerilya di sekitar Jawa Barat. Mereka berrelasi dengan orang-orang dari Darul Islam (DI), yang sama-sama melawan RI. Sekira tanggal 12 Januari 1950, terjadi pertemuan rahasia di Hotel Preanger, Bandung antara Kapten Westerling sekali pemimpin Angkatan Perang Ratu Adil, Kartosuwirjo selaku pemimpin DI/TII, dan kepala Negara Pasundan. Mereka sepakat menyerang dan menguasai Bandung.

Baca juga: CIA Ungkap Peristiwa APRA Westerling

 

“Selama pertemuan itu diputuskan bahwa, andaikan serangan terhadap Bandung sukses, wilayah Jawa Barat secara de facto menjadi teritori DI,” kata buku yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri tahun 1957, Subversive Activities in Indonesia: The Jungschlager and Schmidt Affair.

Wilayah operasi NIGO kemudian di sekitar Bogor. Mereka menjadikan rumah-perkebunan (landhuis) bekas milik tuan tanah Pieter Reinier van Motman di Dramaga sebagai markas besarnya. Di sanalah organisasi dijalankan, rencana dibuat, dan persenjataan-logistik dikeluar-masukkan.  

Gerakan NIGO, dan juga APRA sebagai induknya, akhirnya dicium dan dipatahkan aparat hankam RI. Bersama pejabat KPM yang pernah menjadi agen NEFIS bernama Leon Nicolaas Hubert Jungschläger, bekas Kapten KNIL Schmidt kemudian ditangkap oleh aparat hukum RI dan dimejahijaukan.

TAG

raymond-westerling apra

ARTIKEL TERKAIT

Serdadu Ambon Gelisah di Bandung Murid Westerling Tewas di Parepare Westerling Nyaris Tewas di Tangan Hendrik Sihite Menculik Pacar Westerling Petualangan Inspektur Frans Van Kleef, Polisi Nakal yang Ikut DI/TII Kisah Tragis Seorang Komandan APRA Jabatan Panglima APRA untuk Sultan Hamid II Mereka yang Diincar APRA Amuk Ratu Adil di Oude Hospitaalweg