Jakarta 1953. Seorang perempuan bule berparas manis terlihat kebingungan di Kantor Jawatan Imigrasi. Dia tengah mencari informasi tentang seorang lelaki Belanda bernama J.H. van der Meulen yang tak lain adalah suaminya. Namun tak seorang pun petugas imigrasi yang tahu nama tersebut.
Seorang petugas imigrasi kemudian berinsiatif membawa perempuan muda bernama Nancy Bruning itu kepada J.C. Princen, yang saat itu baru saja pindah ke jawatan imigrasi. Princen merupakan pejabat imigrasi Indonesia berkebangsaan Belanda yang dulu pernah berdinas di Divisi Siliwangi dan terlibat dalam berbagai operasi militer.
Baca juga:
“Aku berhadapan dengan Nyonya Van der Meulen yang ingin mengetahui nasib suaminya yang (sebenarnya) sudah mati, namun secara resmi (statusnya) masih dinyatakan (oleh pemerintah Belanda) hilang dalam tugas,” ungkap Princen dalam otobiografinya, Kemerdekaan Memilih.
Princen bisa memastikan bahwa Van der Meulen kemungkinan besar sudah meninggal karena dia pernah menginterogasi salah satu komandan dalam gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) tersebut. Lantas bagaimana ceritanya orang dekat Kapten R.P.P. Westerling (pemimpin APRA) itu bisa kehilangan nyawa?
*
Alkisah dua tahun sebelumnya. Usai gagal menguasai Bandung pada 23 Januari 1950, pasukan APRA bergerak menuju Jakarta. Para serdadu itu meninggalkan Bandung dengan memakai rute Padalarang-Cianjur karena diberitakan di jalur Padalarang-Purwakarta pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) sudah siap menjegal pergerakan mereka.
Pasukan APRA di bawah pimpinan Komisaris Polisi J.H. Van der Meulen itu kabur dari Bandung pada Senin sore (23 Januari 1950) dengan menggunakan 10 truk dan satu kendaraan pick up. Kekuatan mereka terdiri dari anggota KNIL, KST (Korps Pasukan Khusus) dan Polisi Federal.
“Orang-orang APRA itu bersenjatakan cukup lumayan: 3 brengun, 4 senapan mesin 12,7 dan puluhan karaben” ungkap Sersan Mayor (Purn) Odoy Soedarja, eks anggota Seksi Intel Divisi Siliwangi.
Baca juga:
Amuk Ratu Adil di Oude Hospitaalweg
Mendapat informasi itu, Mayor Sutoyo dari Batatlyon H Divisi Siliwangi tak tinggal diam. Sebagai pasukan organik APRIS yang ditempatkan di wilayah Cianjur, Yon H pun bersiap dengan menempatkan Peleton-3 pimpinan Letnan Dua Furqon di jalan besar sekitar Stasiun Cipeuyeum. Sementara untuk menutup jalur alternatif menuju Jakarta via Cikalong-Mande ditempatkan Peleton-1 dibawah pimpinan langsung komandan kompi Letnan Satu Siradz dan Danton-1 Letnan Dua Barnas.
“Jika di Cipeuyeum lolos, pasukan APRA itu akan dihajar oleh Peleton-2 pimpinan Letnan Dua Yusuf,” ujar Soedarja kepada saya tiga tahun lalu.
Benar saja sekira hampir tengah malam, konvoi APRA itu sampai di Cipeuyeum. Begitu menaiki jalan yang agak menanjak sebelum pintu kereta api, mereka disambut oleh hujan peluru dari Peleton-3. Namun dengan cara bertahan di dalam kendaraan masing-masing, pasukan APRA itu lolos juga. Mereka maju terus ke Ciranjang. Di kota kecil itu, mereka kemudian disambut hujan tembakan yang tak kalah seru dari Peleton-2.
“Tapi akhirnya Ciranjang juga bobol diterobos APRA dengan perlawanan yang hebat lalu terus menerobos ke jurusan Cianjur,” demikian menurut Kolonel (Purn) Mohamad Rivai dalam biografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Khawatir akan berhadapan dengan kekuatan APRIS yang lebih besar di Cianjur kota, konvoi pasukan APRA itu membelok ke kanan jalan menuju arah Mande. Namun baru beberapa kilometer dari jalan besar, di pintu gerbang Perkebunan Karet VADA konvoi APRA dihadang oleh pasukan Letnan Satu Siradz.
Kepada Siradz, Van der Meulen yang tetap duduk di bagian depan mobil pick up mengatakan bahwa mereka diperintahkan oleh Panglima Divisi Siliwangi untuk menuju Perkebunan Kiara Payung.
“Baik tapi kalau tuan-tuan mau selamat, saya akan periksa dulu seluruh kendaraan dan lebih dahulu menelepon Tuan Klassen (Adminisratur Perkebunan Kiara Payung) untuk memberitahukan kedatangan tuan-tuan,” ujar Siradz.
Van der Meulen setuju. Dalam sorotan cahaya bulan, Siradz melihat genangan darah dan orang-orang bergelimpangan di hampir semua truk. Nampak pula prajurit-prajurit yang kelelahan dan bermuka sangar, menatap tajam Siradz dengan senjata siap ditembakan.
Usai memeriksa seluruh kendaraan, Siradz bergegas ke pos penjagaan. Maksud hati akan meneriakan kata “gempur” kepada pasukannya yang sudah bersiap di setiap sudut, namun Van der Meulen keburu menembakan brengun-nya ke arah sang komandan kompi itu. Untung-lah Siradz sigap dan cepat tiarap, hingga peluru-peluru yang ditembakan sekira 7 meter dari dirinya itu hanya berdesing di atas kepalanya.
Pertempuran jarak dekat pun terjadi dengan hebat. Karena merasa kalah persenjataan, pasukan APRA pun kabur menuju perkebunan. Pergerakan mereka lantas diburu oleh Peleton-3 dari Kompi III pimpinan Letnan Dua Bustaman.
“Kami mensinyalir bahwa dari Perkebunan VADA, APRA menuju Hutan Bakong sebelah timur Cipanas dan sebelah barat Perkebunan VADA,” ujar Bustaman.
Perkiraan Bustaman ternyata keliru. Mereka justru bergerak ke arah Maleber dan Pasir Sarongge dengan menyebrangi jalan utama Cianjur-Cipanas. Tanpa ampun, para prajurit APRA itu pun terus diburu.
*
Sementara itu di Jakarta, Komandan Yon Kala Hitam Mayor Kemal Idris memerintahkan Letnan Dua J.C. Princen untuk membawa satu regu pasukan sebagai tim pengintai ke Cianjur. Pasukan kecil itu lantas bergerak dengan menggunakan dua jip. Baru sampai Pacet, mereka mendapat kabar bahwa pasukan APRA tengah bergerak ke arah Cipanas. Maka berhentilah pasukan Princen di Cipanas dan langsung membuat posisi stelling.
“Kami kemudian maju ke arah tenggara dan menunggu sambil sembunyi untuk melakukan penyergapan,” kenang Princen.
Baca juga:
Namun beberapa saat kemudian ada telepon dari Yon H, bahwa pasukan APRA telah berhasil dihancurkan di wilayah Maleber dan Pasir Sarongge. Pimpinan mereka (Van der Meulen) berhasil ditangkap dan akan dibawa ke Sukanagara untuk dinterogasi.
“Karena aku berbahasa Belanda, maka akulah yang memeriksa Van der Meulen,”ungkap Princen.
Saat diperiksa oleh Princen, tentu saja awalnya Van der Meulen memilih bungkam. Namun setelah diintimidasi secara psikis, akhirnya dia mau membeberkan nama-nama dan alamat orang-orang yang tersangkut APRA.
“Aku hanya bilang kepadanya bahwa dia punya dua pilihan: kalau anda tak mau mengatakan apapun padaku, akan datang orang lain dan dia pasti akan mendapatkan keterangan-keterangan itu dengan kekerasan. Anda jangan lupa puluhan orang-orang mereka ditembak mati di Bandung dan mereka ingin membalasnya,” kenang Princen.
Setelah diinterogasi di Sukanagara, agak lama Princen tak tahu pasti seperti apa nasib Van der Meulen. Dari komandan-nya kemudian dia diberitahu bahwa Van der Meulen telah diberi hukuman melalui pengadilan cepat dan ditembak mati menurut metode Westerling.
Namun menurut Soedarja, sesungguhnya Van der Meulen tidak meninggal di depan regu tembak. Dia justru diserahkan kepada pasukan yang personilnya banyak menjadi korban dalam Insiden APRA di Bandung dan secara tragis dibunuh lewat cara digorok lehernya.
Baca juga: