Waktu ada pelatihan perwira di Sekolah Kadet Malang (SKM), pemuda bernama Rachwono bergabung ke dalamnya. Sebagaimana muda-mudi di berbagai daerah, pemuda asal Solo itu ingin ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan negerinya dengan apa yang dimiliki.
“Di Kota Malang, semakin banyak saja bermunculan kelompok-kelompok pemuda pejuang. Para pemuda Indonesia sedang dilanda euforia kemerdekaan. Barisan pemuda rakyat terbentuk di mana-mana. Asalkan ada satu tokoh pemuda yang menggerakkannya, akan terbentuk kelompok perjuangan,” tulis Haril M. Andersen dalam Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H. AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI.
Pemuda Rachwono yang ingin memdarmabaktikan diri dalam perjuangannya lewat angkat senajata, pilih masuk SKM mungkin karena ingin ikut berperang dengan bekal ilmu. SKM memang didirikan untuk mendapatkan komandan seksi (peleton) yang akan diterjunkan dalam Perang Kemerdekaan dengan cepat. Sekolah tersebut digagas oleh Letkol Soekandar Tjokronegoro dan Mayor Moetakat Hoerip dan disetujui Panglima Divisi VIII/Surapati Jenderal Mayor Imam Soeja’ie.
“Panglima Divisi VIII Jenderal Mayor Imam Soeja’ie membuka pendidikan militer perintis ini pada 12 November 1945. Tempatnya di gedung Hogere Burgere School (HBS). Gedung HBS ini persis berada di hadapan Balai Kota Malang. Pendidikan militer pertama di masa revolusi kemerdekaan ini diadakan selama dua bulan. Yaitu dari bulan November hingga Januari 1946. Semua alumninya mendapat pangkat Letnan Satu TKR Angkatan Darat,” sambung Haril.
Baca juga: Gempur-menggempur di Malang Timur
Sewaktu menjadi kadet SKM, Rachwono bersama Widodo Mulato, Soeprapto, Imam Basiran, Soeharto, dan Abdul Kadir Besar dilibatkan dalam pengamanan di sekitar Malang, Bangil, dan Lawang. Pengamanan itu untuk menyukseskan Sidang Pleno KNIP yang berlangsung di Malang, 25 Februari-5 Maret 1947.
Selain dihadiri banyak pihak termasuk wartawan asing, sidang pleno tersebut juga berlangsung panas lantaran berkaitan dengan penerimaan-penolakan Persetujuan Linggarjati yang dijalankan pemerintahan Sjahrir. Wartawan Rosihan Anwar menuliskan kesaksiannya soal panasnya sidang itu.
“Persetujuan (Linggarjati, red.) ini diterima oleh sidang KNIP paripurna di Malang pada tahun 1947. Tetapi penerimaannya ini tidak terjadi dengan mudah, memerlukan lebih dulu penampilan Wakil Presiden Hatta yang di muka sidang bicara dengan nada keras. Terus terang saya belum pernah mendengar Bung Hatta bicara dengan nada sekeras waktu itu. Kemudian Persetujuan Linggarjati diterima oleh sidang pleno KNIP dengan suara terbanyak,” tulis Rosihan dalam Mengenang Sjahrir.
SKM kemudian dimasukkan ke dalam Militaire Academie (MA) Yogyakarta pada 1948. Rachwono termasuk di dalamnya. Ia sebagai taruna MA angkatan kedua.
Baca juga: Bercanda Gaya Akademi Militer
Setelah Agresi Militer Belanda II, Rachwono malah ikut dengan Batalyon Kala Hitam –dari Divisi Siliwangi– pimpinan Mayor Kemal Idris. Maka setelah berjuang di sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah, dia berjuang di Jawa Barat.
Di Jawa Barat, Rachwono sempat dijadikan komandan peleton. Peletonnya, yang bertahan di sekitar Gunung Gede, kerap bergerak bareng peleton pimpinan desertiran tentara Belanda JC Princen.
“Kebetulan JC Princen, itu prajurit KL yang membelot dan bergabung Kompi 1 Yon Kala Hitam, sudah berhasil membentuk peleton dan selama gerilya peleton saya hampir selalu bersama-sama dengan peletonnya Princen,” aku Rachwono, yang bersama Princen sama-sama berada di bawah komandan Kapten Saptadji, dalam Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi Yogya.
Princen yang orang Belanda kadang menyamar sebagai tentara Belanda. Taktik pengelabuannya itu cukup jitu.
“Pada permulaan, taktik ini berhasil memuaskan antara lain melucuti pos polisi Sukaraja, 5 km sebelah timur Sukabumi, penyergapan di perkebunan Harjasari, penghadangan di Desa Lio dan penyetopan kereta api di Gandasoli, 7 km sebelah timur Sukabumi,” ingat Rachwono.
Dalam aksi di pos polisi Sukaraja, Princen, yang menyamar jadi perwira Belanda, masuk ke pos polisi dengan dalih inspeksi. Dia menyuruh para polisi di sana untuk berbaris. Sementara, Rachwono dan pasukannya telah bersiap. Ketika para polisi itu berbaris, diam-diam Rachwono dan para kombatannya masuk dan menodong para polisi itu. Belasan polisi berhasil mereka tawan. Aksi Princen dan Rachwono serta pasukan keduanya itu kemudian sampai menjadi berita di koran Trouw (9 April 1949) dan De Locomotief (9 April 1949).
Baca juga: Ulah Pasukan Princen di Sukaraja
“Namun kemudian tentunya Belanda menjadi waspada. Lalu taktik ini kami tinggalkan,” aku Rachwono.
Rachwono lalu mengalami nahas saat kontak tembak di Gekbrong, Sukabumi. Dia tertembak. Tiga peluru bersarang di tubuhya. Sempat dirawat dr. Winata, Rachwono lalu diselundupkan dengan disamarkan sebagai orang sipil yang kena peluru nyasar ke Rumah Sakit Bunut Sukabumi. Setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, Rachwono dirawat kembali oleh dr. Winata di rumahnya. Dia tinggal di rumah dr Winata hingga gencatan senjata pada pertengahan 1949.
Untuk beberapa saat, Rachwono pincang jalannya. Ketika masih pincang, dia ditugaskan menjadi ajudan Mayor Kemal Idris.
Rachwono baru pulih pada November 1949 dan kemudian pulang ke Yogyakarta menggunakan pesawat dari Jakarta, untuk melanjutkan pelajarannya di MA Yogyakarta. Dia berhasil lulus akademi dan menjadi perwira TNI.
Sewaktu berpangkat mayor, Rachwono pernah menjadi wakil Asisten I/Intelijen KSAD yang memeriksa pemimpin DI/TII Sukarmaji Marijan Kartosuwiryo yang tertangkap. Dari hasil pemeriksaan dia mendapati bahwa Kartosuwiryo mendapat bantuan dari negara asing, termasuk senjata. Apa yang didapatnya dari Kartosuwiryo itu diteruskan kepada Asisten 1/KSAD Kolonel Ernest Julius Magenda.
Baca juga: Penangkapan Imam DI/TII S.M. Kartosoewirjo
Harysa Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menyebut Rachwono kemudian menjadi Asisten 4/Logistik panglima Kostrad. Setelah itu dia menjadi kepala Staf Komando Wilayah Pertahanan Sulawesi hingga 1978. Pada 1978, Rachwono diangkat jadi panglima Kodam Mulawarman dengan pangkat brigadir jenderal dan jabatan itu disandangnya hingga 1980. Setelah itu, ia menjadi Inspektur Utama Bidang Perbendaharaan (Irutben) Hankam, Kas Kowilhan III, dan Ka-G1 Kostranas. Tak diketahui lagi kiprahnya setelah itu.