30 Juli 1950, seorang anggota Angkatan Umat Islam (AUI), dengan membawa sepucuk senjata, berjalan mondar-mandir di jalan Stasiun Kebumen, Jawa Tengah. Lagaknya yang mencurigakan menarik perhatikan seorang anggota Corps Polisi Militer (CPM) yang sedang bertugas. Dia ditegur lalu ditangkap dan dibawa ke markas menggunakan truk,
Di tengah jalan, anggota AUI itu mengamuk. Malang, dia langsung dilumpuhkan petugas CPM dengan tembakan. Anggota AUI itu pun tewas.
Kabar itu memicu kemarahan AUI. Markas AUI di daerah Somalangu, 4 kilometer utara Kabupaten Kebumen, dipenuhi pasukan laskar yang bersiaga.
Pada 1 Agustus 1950 pagi pasukan AUI mulai menembaki pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang berjaga di utara Stasiun Kebumen. Mereka juga merazia dan menyandera pegawai-pegawai pemerintah.
Terjadilah apa yang disebut Peristiwa AUI di Kebumen. Versi pemerintah menyebutnya sebuah pemberontakan.
Pemerintah segera bereaksi. Upaya perundingan ditempuh tapi gagal. Maka, pemerintah mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan AUI.
“Clash antara AUI dan pemerintah pecah terutama setelah kegaduhan seputar ReRa (Reorganisasi Rasionalisasi),” ujar Singgih Tri Sulistyono, sejarawan dari Universitas Diponegoro, kepada Historia. Singgih pernah meneliti kasus ini, yang kemudian diterbitkan jadi buku berjudul Pemberontakan Angkatan Umat Islam (AUI) di Kebumen, 1950.
Pasukan Santri
Sama seperti daerah lainnya, setelah proklamasi, semangat mempertahankan kemerdekaan muncul di daerah Kebumen, selatan Jawa Tengah. Semangat ini mulanya dipelopori Angkatan Muda yang kemudian melebur ke dalam Pemuda Sosialis Indonesia.
Melihat dominasi Angkatan Muda, pemuka Islam di Kebumen seperti Mohammad Syafei, Affandi, dan Saebani berinisiatif membendungnya dengan membentuk badan perjuangan yang beraliran Islam.
Untuk menarik pengikut, mereka menggandeng Machfudz Abdurrahman, kiai kharismatik dan orator ulung dari Somalangu –sehingga dikenal dengan sebutan Kiai Somalanggu. Ajakan mereka diiyakan Machfudz.
Pada 11 September 1945, AUI resmi terbentuk. Kiai Machfudz terpilih sebagai ketua.
Karena pengaruh kuat Kiai Mahfud, AUI berkembang pesat. Pada Oktober 1945 sudah berdiri cabang AUI di Prembun, Kutowinangun, Petanahan, Aliyan, dan Karanggayam. Bahkan meluas hingga Banyumas, Kutoarjo, dan Wonosobo. Anggota AUI kebanyakan santri dan petani.
“AUI merupakan kelompok sendiri yang berpatron ke Kiai Mahfudz atau Kiai Somalangu. Mereka punya basis pesantren yang besar sejak era Mataram Islam,” ujar Singgih.
AUI ikut berjuang angkat senjata melawan Inggris dan Belanda. Namun, pada 1948, Kabinet Hatta meluncurkan kebijakan Restrukturisasi dan Rasionalisasi (ReRa) angkatan perang. Machfudz khawatir mayoritas anggota AUI yang berpendidikan rendah dan berbasis pesantren tak masuk dalam angkatan perang.
Menurut Henri Wibowo dalam skripsi di Universitas Negeri Yogya berjudul “Kontroversi Angkatan Umat Islam (AUI) Kebumen Bagian dari DI/TII Jawa Barat (1945-1950)”, beberapa usaha dilakukan pemerintah untuk menguasai AUI. Salah satunya, AUI diubah menjadi batalyon teritorial dengan nama Batalyon Lemah Lanang.
Rupanya, di dalamnya termasuk anggota-anggota bekas satuan Hizbullah yang disebut Pasukan Surengpati. Meski sama-sama berprinsip Islam, AUI dan Pasukan Surengpati tak akur. Maka, sejak terbentuk, Batalyon Lemah Lanang pun pecah. Kiai Mahfud dan pengikutnya memilih mundur ke Somalangu.
Pemerintah berusaha berunding dengan Kiai Mahfud tapi gagal. Kiai Mahfud menolak kedatangan wakil-wakil pemerintah maupun militer. Termasuk menolak bertemu dengan Menteri Agama KH Wahid Hasyim.
Menurut Henri Wibowo, pada waktu itu AUI sudah bertindak dengan kekuasaannya sendiri. AUI mulai memunguti pajak, membeli senjata, dan melakukan patroli daerah. Sejak Januari 1950, Polisi Militer sudah berusaha mendisiplinkan pengikut-pengikut Kiai Mahfud.
Dan akhirnya pecahlah peristiwa 30 Juli 1950. AUI angkat senjata. Pemerintah menggelar operasi penumpasan.
Penumpasan
Pasukan AUI membuat barikade kuat di basisnya, Sumolangu. Setelah digempur dari segala arah, Sumolangu jatuh. Kiai Machfudz dan pasukannya melakukan gerak mundur ke Desa Sadang sembari melakukan bumi hangus.
Selama 40 hari bertempur, tulis Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, sekira 85 rumah di Somalangu rusak dan korban jiwa mencapai 1.500-2.000 jiwa.
Pasukan AUI kemudian terpecah menjadi dua. Kelompok yang dipimpin Nursidik, adik Kiai Machfudz, bergerak menuju daerah Brebes dan Tegal untuk bergabung dengan DI/TII Jawa Tengah yang dipimpin Amir Fatah.
“Pasukan AUI ada yang bergabung dengan DI/TII untuk melanjutkan gerilya. Mungkin sebelumnya sudah ada kontak-kontak rahasia di antara mereka,” ujar Singgih.
Nursidik akhirnya tewas tertembak di dekat Kroya pada 26 Agustus 1950. Sisa-sisa pasukannya, tulis Cornelis van Dijk dalam buku Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, melarikan diri ke Brebes dan Tegal.
Sementara Kiai Machfudz beserta pengikutnya tetap bertahan di Banyumas. Ketika pasukan pemerintah semakin kuat, mereka mundur ke daerah Gunung Srandil, daerah Cilacap. Pertempuran di Gunung Srandil menewaskan Kiai Mahfud bersama sejumlah anak buahnya.
Beberapa orang berhasil ditawan, sementara sisanya melarikan diri ke Gombong dan Brebes. Sisa pasukan AUI yang berhasil melarikan diri ke Brebes juga bergabung dengan DI/TII Jawa Tengah.
Baca juga:
Jihad ala NU
Semangat Laskar Kere
Hizbullah Zaman Jepang
Barisan Jenggot Berbahaya