Sebuah rumah di Merbaboeparkweg alias Jalan Taman Merbabu, Malang ramai pada malam 27 September 1941. Sang tuan rumah, Kapten Raden Sanjoto Adi, punya hajat yang bukan kaleng-kaleng. Banyak dari para tamu yang datang merupakan petinggi militer maupun sipil.
Hajat itu merupakan syukuran Kapten Sanjoto atas penghargaan yang diterimanya dari pemerintah Hindia Belanda. Penghargaan itu didapat Kapten Sanjoto berkat kiprahnya dalam bidang sosial di daerah Gadang, Malang.
Gadang, disebut Soerabaijasch Handelsblad tanggal 19 Februari 1938, menjadi tempat penampungan para tunawisma.
Untuk mewujudkan aksi sosial itu, sebuah yayasan bernama Pangoengsen Gadang didirikan. Yayasan yang dimiliki seorang Tionghoa tersebut mendirikan rumah penampungan untuk para tunawisma dengan sewa sebesar 100 gulden setiap bulannya.
Pangoengsen Gadang setidaknya menampung 222 orang, baik pria, wanita maupun anak-anak. Mereka diarahkan untuk tidak menjadi pengemis di Malang.
Selain Raden Sanjoto, pemuka yayasan itu di antaranya pensiunan pegawai tinggi pemerintah seperti Raden Wartoredjo. Para pemuka yayasan itu berusaha mendapatkan dana dari pemerintah.
Upaya tersebut tak bertepuk sebelah tangan. Dengan cepat istri Gubernur Jenderal Tjarda Van Starkenborgh tertarik untuk mendatangi rumah penampungan tersebut. Soerabaijasch Handelsblad tanggal 4 Mei 1938 mengabarkan kunjungan nyonya gubernur jenderal tersebut. Raden Sanjoto sebagai ketua yayasan ikut menyambut istri penguasa Hindia Belanda tersebut. Hadir pula dalam acara itu bupati Malang.
Kendati kunjungan itu hanya 20 menit, Nyonya Tjarda cukup tertarik. Maka itulah pada 1941, seperti disebut De Indische Courant tanggal 10 Oktober 1941, Nyonya Tjarda memberi sumbangan besarnya kepada Yayasan Pangoengsen Gadang.
Kerja-kerja sosial itu membuat Kapten Sanjoto mendapatkan penghargaan Ordo Oranye Nassau dari Kerajaan Belanda. De Indische Courant (29 September 1941) dan Soerabaijasch Handelsblad (29 September 1941) mengabarkan bahwa penghargaan tersebut diterimanya pada 31 Agustus 1941.
“Ketua Yayasan Tunawisma Indonesia ‘Pangoengsen Gadang’ (Pangoengsen berasal dari kata kerja bahasa Jawa ngoengsi yang berarti: mencari perlindungan) Kapten cadangan Raden Sanjoto pada hari Sabtu menerima hadiah besar untuk tempat penampungan tunawismanya dari Nyonya Tjarda van Starkenborgh Stachouwer di Buitenzorg. Pemberian ini tentu saja sangat diapresiasi oleh pengurus,” tulis De Indische Courant, 10 Nov 1941.
Atas penghargaan itu, Kapten Sanjoto menghelat sebuah resepsi pada malam Sabtu, 27 September 1941 di rumahnya di Merbaboeparkweg. Dalam resepsi yang dihadiri petinggi militer dan sipil itu, ada seorang senior Raden Sanjoto juga datang, yakni Raden Mardjana.
Mardjana dan Sanjoto pernah berdinas di tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Keduanya sama-sama lulusan Sekolah Militer Jatinegara, Jakarta Timur. Mardjana lulus pada 1910 sementara Sanjoto lulus pada 1913. Keduanya kakak kelas dari Oerip Soemohardjo yang kelak menjadi inisiator pembentukan tentara Indonesia.
Raden Sanjoto, menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit. De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950, lahir di Bondowoso pada 7 April 1893 dan menjadi letnan dua di KNIL sejak 1913. Dia pernah bertugas di Aceh dan Jawa dalam karir militernya.
Menurut arsip militernya, pada 27 Maret 1915, dia mengawini Mas Roro Minette Siti Harsini –yang kelahiran Jember 5 Mei 1894– di Ngadiluwih, Nganjuk. Dari perkawinan itu lahirlah Felicitas Inisrah pada 10 Januari 1916. Kemudian, di Sigli pada 31 januari 1919, Letnan Sanjoto kawin lagi dengan Johanna Adriana Daniels yang kelahiran Magelang, 27 September 1895. Dari perkawinan Sanjoto dengan Johanna, lahir: Anna Soepini (3 Oktober 1919), Johanna Herani (19 Desember 1921), Catharina Soemini (23 Mei 1925), dan Alice Alida (9 Februari 1927). Pada tahun kelahiran putri bungsunya, Sanjoto naik pangkat menjadi kapten di KNIL.
Hidup Sanjoto sebagai kapten KNIL terbilang baik. Gajinya besar serta jatah liburan ke Eropa selama beberapa bulan tiap beberapa tahun. Sanjoto dan keluarganya mengambil jatah itu pada 27 Juni 1928-11 Juni 1929. Pada 1933, Kapten Sanjoto minta pensiun. Dia lalu tinggal di Malang dengan kehidupan yang masih nyaman.
Namun kenyamanan itu usai ketika masa pendudukan Jepang datang. Sanjoto yang sudah pensiun diaktifkan lagi sebagai perwira cadangan.
Ketika Hindia Belanda kalah, Kapten Sanjoto pun jadi tawanan perang sebagaimana umumnya orang Belanda dan Indo yang kemudian masuk kamp. Menurut kartu tawanan perangnya, putra Raden Ayu Hadjodipuro ini bertugas di kesatuan Landstormdistrict 7 di Malang. Bouman menyebut dia ditahan tentara Jepang dari 19 Maret 1942 hingga 19 April 1943. Ketika ditahan, keluarganya sempat tinggal di Malang.
Kapten Sanjoto mengalami zaman Indonesia merdeka. Setelah 1949, Sanjoto mendapat tunjangan pensiunannya lagi. Namun di zaman pasca-perang tentu pengemis dan tuna wisma jauh lebih banyak daripada di masa sebelum 1942, seperti yang diurusnya di Gadang dulu.