JOHANNES Cornelius Princen lahir di Den Haag, Belanda, pada 21 November 1925. Sedari remaja dia bercita-cita menjadi rohaniawan. Karena itulah dia memasuki seminari di Weert. “Setelah beberapa saat merasakan suasana pendidikan calon rohaniawan, aku sadar bahwa tempatku bukan di sana,” ujar Princen.
Keluar dari seminari pada 1943, dia terlibat dalam perjuangan melawan pasukan Jerman yang menjajah negerinya. Nahas, Princen tertangkap dan ditahan di berbagai kamp konsentrasi. Kala waktu senggang, dia membacakan buku Pastor Poncke karya J.H. Eekhout kepada kawan-kawannya sesama tahanan.
“Inilah awalnya aku mulai dipanggil Poncke,” ujar Princen sambil tertawa.
Baca juga: Dirgahayu, Poncke!
Mei 1946, Princen bebas dari penjara. Pada tahun-tahun itu, Belanda giat menancapkan kembali kukunya di Indonesia. Sebagai bentuk ketidaksetujuannya dan demi menghindari wajib militer, Princen lari ke Prancis. Dia luntang-lantung sebagai pengamen dan berkawan akrab dengan seorang Yahudi bekas buronan Nazi. Dari kawan Yahudinya, dia paham arti kemanusiaan. “Dia bahkan mendorong saya untuk melakukan sesuatu bagi orang-orang Indonesia yang ingin merdeka,” kenang Princen.
Singkat cerita, Princen berangkat ke Indonesia sebagai prajurit wajib militer. Namun, dia berusaha menghindari bentrok dengan para pejuang Republik. Suatu hari, di Bogor, dia melihat seorang remaja putri yang melawan saat dilecehkan ditembak rekan-rekannya. “Aku muak dengan perilaku itu dan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih demi misi awal hidupku pergi ke Indonesia,” ujar Princen.
Baca juga: Aksi Princen di Hardjasari
Princen bergabung dengan TNI. Dia ikut long march Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat. “Dia juga terlibat aktif dalam perjuangan melawan militer Belanda di daerah Cianjur dan Sukabumi hingga dianugerahi Bintang Gerilya oleh Presiden Sukarno,” ujar Sersan Mayor (Purn.) Aam Said, mantan rekan Princen di Yon Kala Hitam.
Usai perang, Princen berhenti jadi tentara. Pada 1951, dia didapuk sebagai kepala Imigrasi, namun hanya sebentar karena merasa bukan bidangnya. Empat tahun kemudian, dia terjun ke dunia politik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), partai politik kecil yang didirikan A.H. Nasution.
Baca juga: Ulah Pasukan Princen di Sukaraja
Selama menjadi anggota DPR, Princen dikenal sebagai pengkritik terkemuka pemerintahan Sukarno. Akibatnya, beberapa kali dia dijebloskan ke penjara. Namun, itu tak berarti kebiasaannya mengkritik berhenti, sekalipun penguasa sudah berganti. Pada 1970-an, lewat lembaga hak-hak asasi manusia yang didirikannya, dia menangani kasuskasus pelik: dari Kasus Tanjung Priok hingga Kedungombo. Dia juga gencar mengkritik “kebijakan perang” Orde Baru di Aceh dan Timor Timur (sekarang Timor Leste).
Princen menghembuskan napas terakhir pada 22 Februari 2002.*
Baca juga: Compagnie Eric Memburu Princen