Sejak diungkapnya kasus Purwodadi oleh Poncke Princen, muncul berbagai pendapat pro dan kontra. Menurut Poncke, jumlah korban pembantaian mencapai dua ribu orang yang tersebar di beberapa daerah di wilayah Grobogan. Bahkan menurutnya dalam satu malam pernah terjadi pembunuhan terhadap 850 orang sekaligus. Banyak pihak yang meragukan keterangan Poncke, namun tak sedikit pula yang berada di pihaknya.
Sebagian aktvis di luar negeri, khususnya di Belanda, mengutuk keras aksi kejahatan itu. Prof. Jan Pluvier, guru besar sejarah Asia Tenggara, kolega Wertheim dalam wawancara pada Maret 2007 lampau di kediamannya di Heideweg No 5, Soest, Belanda mengatakan keterlibatannya dalam gerakan menentang Orde Baru berangkat dari solidaritasnya kepada rakyat Indonesia yang ditindas oleh Suharto. “Saya mendengar berita tentang pembunuhan massal itu dan saya menentang Suharto yang menginjak-injak kemanusiaan,” kata dia.
Berbeda dengan Jan Pluvier, Wertheim dan para Indonesianis lain yang umumnya mengecam rezim Orde Baru, Presiden World Veteran Federation (WVF) W. Ch. J.M. van Lanschot justru memperlihatkan sikap mendukung Orde Baru. Ia datang ke Indonesia disertai dua orang redaktur majalah Elsevier, Martin W. Duyzings dan Drs. A. Hoogendijk. Dalam kunjungannya itu, mereka menemui Menteri Penerangan Budiardjo. Mereka sepakat bahwa tidak ada gunanya membesar-besarkan kasus Purwodadi.
Baca juga: Purwodadi: Skandal Pertama Orde Baru
Dunia Barat, pascapergolakan politik 1965 dan transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto, semakin gencar mendekati Indonesia. Ekonomi yang porak-poranda akibat situasi politik dalam negeri yang tidak stabil selama tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno menjadi alasan utama bagi pemerintah Soeharto untuk mengundang investasi luar negeri ke Indonesia. Undang-undang Penanaman Modal Asing No. 1/1967 diberlakukan untuk melempangkan jalan masuk modal asing. Tim ekonomi yang dipimpin oleh Menko Ekuin Sri Sultan Hamengkubuwono IX gencar melakukan lobi ke luar negeri.
Sebuah iklan di koran The New York Times edisi 17 Januari 1969, sebulan sebelum terungkapnya peristiwa Purwodadi, berbunyi: “5 Years From Now You Could Be Sorry You Didn’t Read This Ad”. Iklan yang ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX tersebut mempromosikan Indonesia sebagai negeri yang terbuka terhadap investasi sekaligus menjamin investor Amerika Serikat untuk menanamkan modalnya di Indonesia. “Untuk membuat investasi di negeri kami semakin bergairah, kami telah meloloskan sebuah undang-undang penanaman modal asing yang menawarkan beberapa insentif seperti pembebasan pajak perusahaan dan pajak atas deviden selama lima tahun,” demikian kata iklan itu. Salah satu perusahaan Amerika Serikat yang memanfaatkan Undang-Undang tersebut adalah Freeport yang beroperasi sejak 1967 di Papua.
Peristiwa Purwodadi menjadi batu sandungan pertama di kala pemerintah Soeharto berbenah, merias wajah Indonesia yang baru dan bebas dari komunisme. Berbagai cara dilakukan untuk meredam eskalasi berita pembantaian massal di Purwodadi. Tak lama setelah terungkapnya pembunuhan massal di Purwodadi, penguasa militer di Jawa Tengah bersikap reaktif dengan mengawasi setiap pendatang ke ibukota Kabupaten Grobogan itu. Setiap orang luar yang hendak memasuki kota harus mendapat izin dari tentara. Mengenai hal ini, Harian Sinar Harapan, edisi 9 Maret 1969 melaporkan: Ketika memasuki daerah itu para wartawan diwajibkan terlebih dahulu melapor ke Penerangan Kodam VII/ Diponegoro. Sesudah itu harus pula minta ijin pada Asisten I dan diberikan surat. Kemudian baru melaporkan diri pada Komandan Kodim setempat. Ketika para wartawan tersebut memasuki kota Purwodadi, kelihatannya masyarakat Purwodadi nampak suasana ketakutan.
Baca juga: Di Balik Berita Purwodadi
Meningkatnya pengawasan membuat situasi kota Purwodadi makin mencekam. Masyarakat tak leluasa menjalankan aktivitasnya, lebih-lebih pada malam hari. Mereka khawatir dituduh tentara sebagai anggota Gerilya Politik (Gerpol) PKI atau “PKI Malam”.
Panglima Kodam (Pangdam) VII/Diponegoro Mayor Jenderal Surono membantah terjadinya pembantaian massal dalam kasus Purwodadi. Dia mengatakan berita tersebut tidak benar. Dia curiga kabar tersebut menjadi bagian perang urat syaraf yang dilancarkan oleh “PKI Malam”. Dia malah balik menuding bahwa semua tuduhan itu semata-mata ditujukan untuk mengganggu stabilitas keamanan yang sedang dibangun oleh pemerintah Orde Baru.
Sementara itu Gubernur Jawa Tengah Munadi langsung mengundang seluruh wartawan baik luar maupun dalam negeri untuk hadir dalam konferensi pers yang digelar pada 4 Maret 1969 di Restoran Geliga, Jakarta. Pada pertemuan itu, dia membantah temuan Princen, bahkan menuduh Princen sebagai komunis (Kompas, 5 Maret 1969 dan Indonesia Raya, 6 Maret 1969). Dalam keterangan persnya Munadi mengatakan,“yang dipersoalkan sekarang adalah tahun 1968. karena tahun 1965 tidak terkontrol. Saya minta supaya dibatasi pada tahun 1968 saja. Kalau orang itu ditembak berjejer itu tidak mungkin.Tapi kalau dalam operasi ada orang yang ditangkap, tapi kemudian coba-coba lari dan diberi peringatan tapi tidak mengindahkan, mungkin saja ditembak.” (Kompas, 5 Maret 1969).
Bantahan Munadi didukung oleh Frank Palmos dari Melbourne Herald dan Judy Williams dari New York Times yang mengatakan tidak ditemukan adanya tanda-tanda telah terjadi pembunuhan massal di daerah Kuwu-Purwodadi dan daerah sekitarnya. Munculnya berita yang memperkuat pernyataan Munadi, membuat Princen kian tersudut dan semakin santer diberitakan bahwa dia seorang komunis.
Baca juga: Penemuan 16 Titik Kuburan Massal di Purwodadi
Merasa dirugikan oleh Munadi, Poncke menggugatnya ke Kejaksaan Agung dan mendaftarkan kasusnya sebagai pencemaran nama baik. Kepada wartawan Poncke mengatakan bahwa dia rela dituduh komunis, asalkan dapat membantu orang-orang tak berdosa. Akhirnya Poncke ditahan dan interogasi oleh Kopkamtib dengan tuduhan terlibat dalam gerakan komunis. Kepadanya ditanyakan tentang hubungannya dengan kaum komunis, baik di negeri Belanda maupun di Indonesia. Menjawab pertanyaan wartawan seusai interogasi, ia mengatakan, “Saya hanya mengkonstatir adanya suatu penyelewengan yang perlu ditindak. Hal ini segera saya telah sampaikan kepada Presiden Soeharto sekembalinya dari Jawa Tengah sebagai seorang patriot. Kami bukanlah seorang sentimentalis naif, tapi sebenarnya justru dengan terjadinya pembunuhan-pembunuhan bergelombang di Purwodadi telah lebih menguntungkan kaum komunis”. (Sinar Harapan, 7 Maret 1969)
Poncke juga mengatakan bahwa dia sangat jengkel pada orang-orang yang menuduhnya komunis. Mereka seolah lupa bahwa di “zaman Nasakom” mereka itulah yang justru paling getol bekerjasama dengan komunis. Tidak jelas siapa yang dimaksudkan Poncke dengan “orang-orang” yang menuduhnya sebagai komunis, mengingat hanya ada satu orang yang menyebut dirinya sebagai komunis, yakni Gubernur Jawa Tengah Munadi.
Sementara itu beberapa tokoh yang memiliki kedekatan secara pribadi dengan Poncke berusaha membelanya dengan menjelaskan siapa Poncke sebenarnya. Wartawan Belanda Henk Kolb meyakini bahwa pembunuhan massal di Purwodadi itu memang benar, dan dia yakin keterangan Poncke tidak memuat kepentingan apa pun selain demi kemanusiaan. Dia juga menjelaskan bahwa berita yang dimuat di korannya di Belanda bukanlah rekayasa. Selain Henk Kolb, Mayor Jenderal Kemal Idris, Panglima Komando Antar Daerah Indonesia Timur yang juga bekas atasan Princen, juga memberikan pembelaan dengan mengatakan bahwa Princen bukan komunis seperti yang dituduhkan Munadi (Indonesia Raya, 8 Maret 1969).
Baca juga: Alasan Sarwo Edhie Memimpin Operasi Pembunuhan Massal PKI
Panglima Angkatan Darat (Pangad) Jenderal M. Panggabean, seusai Rapat Komando Angkatan Darat pada 7 Maret 1969 mengatakan persoalan Purwodadi bisa diselesaikan “tanpa perlu rame-rame.” Dia juga menolak dengan tegas jika ada yang mengatakan kalau Angkatan Darat tukang bunuh orang. Jika memang ada jatuh korban, itu konsekuensi dari operasi militer yang sedang dilakukan oleh Kodam VII/Diponegoro (Sinar Harapan, 9 Maret 1969). Selanjutnya Panggabean menyatakan bahwa Kopkamtib sedang menyusun sebuah tim untuk menyelidiki kasus Purwodadi.
Sehubungan dengan rencana kunjungan Soeharto ke luar negeri pada medio 1969 dan untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan selama kunjungannya maka dia meminta Menteri Penerangan Budiardjo meninjau langsung ke Purwodadi. Soeharto mulai terusik dengan adanya berita-berita pembunuhan massal itu. Seperti laporan sebelumnya, Budiardjo pun melaporkan tidak ada bukti pembunuhan massal di Purwodadi.
Di tengah kesimpang-siuran berita yang tak menentu, para wartawan mendesak agar diizinkan melihat langsung kondisi di Purwodadi. Desakan itu ditanggapi Pangdam VII/ Diponegoro, Mayjen. Surono dengan mengundang beberapa wartawan, baik dari luar maupun dalam negeri, “Silahkan menceknya sendiri” ujar Pangdam. Namun kenyataan di lapangan tidak demikian, beberapa wartawan dari Jakarta dipaksa untuk pulang setelah sempat melakukan liputan.
Baca juga: Kerugian Nasional Akibat Genosida Politik 1965-1966
Tidak seperti yang sering tersiar bahwa operasi pembasmian komunis dilancarkan kepada mereka yang tak bertuhan, di Purwodadi beberapa guru Katolik kena getahnya. Kalangan umat Katolik Jawa Tengah yang dipimpin oleh Brigjen. dr. Soerojo berupaya keras untuk menyelamatkan tujuh guru agama Katolik yang ditahan dalam penggerebekan di Pastoran Purwodadi, mereka adalah Drs. Ngaini Imam Marsudi, Siswadi, B.A, Sutiono, B.A, Harnold, B.A, Djaswadi, Sumarta, Sri Mulyono, Pardan, Imam Sutikno, Rusdiono, Bambang Dasdiun, Bakri, dan Limaran (tewas). Soerojo mengirim sebuah dokumen penting kepada Presiden Soeharto yang dititipkan melalui wartawan New York Times, Judy Williams. Namun tidak diketahui apa isi dokumen itu.
Pemerintah tak bertikad menuntaskan kasus pembunuhan Purwodadi yang dibongkar oleh Poncke. Yang terjadi sejak akhir Februari sampai dengan akhir Maret 1969 hanya berhenti sebagai kontroversi tanpa pernah diketahui mana yang benar. Terhitung sejak tanggal 1 April 1969 atau bertepatan dengan dimulainya Repelita I, koran-koran tak lagi menurunkan berita tentang pembunuhan massal PKI di Purwodadi, menandai ditutupnya kasus tersebut. “Seperti biasa, kasusnya hilang begitu saja,” kata Goenawan Mohamad, yang pernah menulis kasus Purwodadi ketika bekerja di harian KAMI.