Pasar Senen, Jakarta di era berlakunya Perjanjian Renville (1948) merupakan wilayah Belanda. Kendati jatuh bergantian ke tangan penguasa yang berbeda, sejak 1930-an, kawasan itu tetap menjadi tempat nongkrong yang nyaman bagi para jago, seniman, pedagang barang bekas dan tukang catut. Di tahun 1940-an, Pasar Senen bahka kerap menjadi tempat bertemunya para mahasiswa pejuang kemerdekaan.
“Pada mulanya, para mahasiswa pejuang tersebut datang ke Senen untuk menjual atau membeli buku ke toko loak "Nasution" (yang) terletak di belakang Bioskop Grand,” ungkap Misbach Yusa Biran dalam Keajaiban Pasar Senen.
Baca juga:
Chairil Anwar termasuk seniman yang kerap mangkal di Pasar Senen. Menurut Hasan Aspahani dalam Chairil Anwar: Sebuah Biografi, selain memang Pasar Senen sudah menjadi tempat tongkrongan favoritnya sejak zaman Jepang, secara jarak, kawasan itu memang tidak terlalu jauh dari kantornya di Gunung Sahari.
“Sejak Januari 1948, Chairil Anwar bekerja sebagai pengelola majalah Gema Suasana,” ungkap Hasan.
Hampir setiap malam, Chairil kerap menghabiskan waktu di kedai-kedai Pasar Senen yang banyak terdapat dalam gang-gang-nya. Bersama sesama seniman dan pengunjung kedai, Chairil kerap mendiskusikan apapun termasuk soal-soal filsafat.
Salah seorang kenalan Chairil adalah seorang serdadu Belanda dari Divisi 7 Desember. Namanya Kopral J.C. Princen alias Poncke. Dia merupakan kawan akrab dari Dolf Verspoor, wartawan Belanda yang menjadi kolega Chairil di Gema Suasana. Bersama Dolf, hampir tiap malam juga Poncke Princen menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama para seniman Pasar Senen.
“Kami tidak saja membicarakan tentang kemerdekaan…tetapi juga tentang agama, tahayul dan hukum alam,” kenang Princen dalam otobiografinya Kemerdekaan Memilih.
Pada suatu malam, Poncke baru saja datang ke kedai saat tetiba Chairil mendatanginya. Dengan agak malu-malu, Chairil meminta Poncke membacakan puisi Karawang-Bekasi yang baru saja dibuatnya. Sang seniman tahu bahwa Poncke diam-diam menyimpan simpati kepada perjuangan kemerdekaan kaum republik sehingga bisa jadi dia berpikir anak muda Belanda itu merupakan “sasaran empuk” untuk menjadi obyek propaganda-nya.
“Sajak ini sangat bagus…” ujar Poncke usai membaca Krawang-Bekasi.
Baca juga:
Namun tidak hanya memuji, Poncke juga mengkritik posisi Chairil Anwar yang dia anggap “tidak cukup bertanggungjawab” terhadap sikap nasionalisme-nya.
“Memang enak duduk-duduk di rumah sambil menulis-nulis dan menyerahkan pada orang lain guna menyelesaikan pekerjaan berat ini. Apa kalian memang hebat untuk tidak berkelahi?” ujar Poncke.
Tentu saja, pernyataan nakal Poncke itu disambut dengan geram oleh Chairil dan kawan-kawan republik-nya. Mereka pun balik mengeritik Poncke yang seolah sudah merasa cukup nyaman hanya dengan memiliki rasa simpati terhadap perjuangan orang-orang republik.
“Kalau kau memang lebih tahu, apa yang kau kerjakan di sini sekarang? Apa kau lebih baik dibandingkan orang Jepang atau orang Jerman?” jawab Chairil dalam nada tajam.
“Bila aku tidak bisa berbuat lain lagi, maka aku akan aktif berada di pihak kalian, karena aku pikir kalian ini yang benar,” ujar Poncke.
“Apa ini berarti bahwa kamu akan menjadi musuh dari kawan-kawanmu, orang Belanda?” tanya Chairil lagi.
“Bukankah kalian semua adalah kawanku?Apakah seorang Belanda yang mati lebih buruk dari seorang Indonesia yang mati?” jawab Poncke.
Sontak semua terdiam.
Hampir delapan bulan kemudian setelah perdebatan panas itu, pada 28 April 1949 Chairil Anwar meninggal muda (27 tahun) akibat komplikasi. Sementara itu saat hari duka tersebut, Poncke Princen tengah menyabung nyawa dengan kawan-kawan sebangsanya di hutan-hutan Sukabumi dan Cianjur. Janji yang diucapkannya kepada Chairil di Pasar Senen untuk aktif bergabung sebagai pejuang republik digenapi lelaki Den Haag itu secara sempurna.
Baca juga: Perburuan Desersi Princen