MALAM telah larut tetapi suasana di dalam sebuah arena di salah satu wilayah Amerika Serikat itu masih saja ramai dengan teriakan para penonton yang tengah menyaksikan dansa maraton, sebuah kompetisi berhadiah uang yang sangat digemari oleh penduduk Negeri Paman Sam di masa Depresi Besar. Sorak-sorai para penonton yang memberi dukungan kepada para kontestan yang telah menari selama berhari-hari beradu dengan iringan musik dari fonograf di sudut arena. Keriuhan ini seakan memberi gambaran lain dari Depresi Besar yang menghancurkan ekonomi AS di tahun 1930-an. Dansa maraton tidak hanya dipandang sebagai hiburan, tetapi juga peluang untuk bertahan hidup di tengah krisis yang tak menentu.
Menurut sejarawan Carol J. Martin dalam Dance Marathon: Performing American Culture of the 1920s and 1930s, dansa marathon telah dimulai sejak tahun 1920-an sebagai bagian dari kegemaran untuk memecahkan rekor dunia. Pada pertengahan 1930-an, kegiatan ini telah menjadi bentuk hiburan yang diperluas, tak hanya sekadar berhasil memecahkan rekor tetapi juga memberikan janji ketenaran dan kekayaan yang mungkin dicapai melalui kontes ini.
Pada mulanya, dansa maraton digelar sebagai kontes menari tanpa henti dengan iringan musik live, umumnya berlangsung selama beberapa jam. Meski berhasil minat sejumlah penonton, menyaksikan para peserta menari tanpa henti meski diiringi musik lambat laun menjadi membosankan. Oleh karena itu, berbagai macam atraksi tambahan diberikan di sela-sela acara utama kontes dansa maraton untuk membuat para penonton tertarik untuk terus menyaksikan kompetisi tersebut.
Baca juga:
Wabah Aneh yang Membuat Orang Menari
Seiring dengan meningkatnya minat terhadap dansa maraton, peraturan mengenai kompetisi ini pun dikembangkan untuk mengatur keseluruhan acara. Salah satu peraturan yang disusun berkaitan dengan aturan untuk menentukan waktu menari dan waktu istirahat bagi para kontestan. Selain itu diatur pula arena untuk berkompetisi, tempat untuk band dan penghibur lainnya, serta tempat istirahat dan tempat medis yang seringkali berada di lokasi yang dapat terlihat jelas oleh para penonton. Peraturan lain berisi tentang posisi tempat duduk penonton. Tempat duduk di pinggir arena memungkinkan para penonton untuk berinteraksi dengan para peserta yang mengikuti dansa maraton. Di sisi lain arena juga tersedia tempat penjualan makanan ringan dan cinderamata untuk para penonton dan tamu-tamu khusus, serta para penari itu sendiri.
‘’Dengan demikian, dansa maraton tidak hanya meliputi pembawa acara, juri, pemain musik, perawat dan para peserta, tetapi juga penyedia makanan, penjaja cinderamata dan makanan ringan, serta penonton yang berkerumun menyaksikan kompetisi tersebut. Pada akhirnya, maraton berkembang menjadi sebuah acara yang kompleks yang melibatkan kompetisi, drama, musik, dan jenis hiburan populer lainnya, serta partisipasi penonton,’’ tulis Martin.
Krisis ekonomi berkepanjangan imbas Depresi Besar turut memengaruhi perkembangan dansa maraton yang menjelma menjadi hiburan populer di era Depresi. Kompetisi yang semula hanya berlangsung berjam-jam berubah menjadi lebih lama, bahkan bisa berlangsung hingga berbulan-bulan. Para penonton menghabiskan waktu berhari-hari dan bermalam-malam menyaksikan para peserta melakukan putaran tanpa henti di lantai dansa. Beberapa penonton yang memiliki uang lebih banyak kerap menunjukkan superioritas mereka dengan menghujani para kontestan dengan koin setelah berhasil melakukan tantangan-tantangan tertentu.
Lambat laun para peserta yang mengikuti kompetisi ini tak hanya penari amatir atau orang biasa yang mengikuti kompetisi untuk menarik perhatian publik atau sekadar menghabiskan waktu dan bersenang-senang, tetapi juga para profesional yang berharap mendapatkan uang. Para profesional ini mengikuti kompetisi dari satu maraton ke maraton lainnya dan seringkali mengikuti promotor tertentu. Demi meningkatkan publisitas dan menarik lebih banyak sponsor, para promotor kompetisi dansa maraton tak jarang meminta para peserta untuk berpartisipisasi dalam hiburan tambahan seperti pernikahan pura-pura, perkelahian, atau menyelesaikan tantangan-tantangan khusus.
‘’Hiburan dan situasi dramatis yang sebelumnya muncul secara spontan di kompetisi dansa maraton, kini lebih disorot dan diprofesionalkan selama masa Depresi. Fitur hiburan khusus ditambahkan, dan selebriti lokal sering ‘mampir’ untuk mengucapkan beberapa kata penyemangat atau memberi kesan meremehkan kepada para kontestan. . . . Pada masa ini pula dansa maraton mulai menambahkan fitur eliminasi di mana para kontestan harus mempertahankan suatu bentuk gerakan yang berkelanjutan,’’ tulis Martin.
Baca juga:
Kendati berhasil menarik minat banyak penonton dan dianggap sebagai salah satu hiburan yang paling populer di Amerika, dansa maraton juga tak lepas dari kontroversi. Kritik terhadap kompetisi ini lebih banyak diarahkan kepada kondisi para peserta yang harus menari dalam waktu lama. Meski pihak promotor menyediakan tempat tinggal dan memberikan para peserta makanan, banyak pihak menganggap kesejahteraan para peserta yang mengikuti kompetisi ini berada di bawah garis yang seharusnya.
Menurut Emilyn Claid dalam Falling, through Dance and Life, dansa marathon yang berlangsung selama berminggu-minggu membuat para kontestan harus menjalani hidup yang tidak biasa. Peraturan yang mewajibkan mereka untuk menari selama empat puluh lima menit setiap jamnya membuat para kontestan harus makan, minum dan bercukur sambil berdansa. Mereka hanya memiliki waktu lima belas menit setiap jam untuk beristirahat. Kelelahan serta rasa kantuk harus ditahan, dan ketika kedua hal itu tak lagi tertahankan, para peserta saling bekerja sama dengan pasangannya untuk menjaga agar tubuh mereka tidak jatuh ke lantai dan didiskualifikasi. Gambaran mengenai kompetisi dansa maraton di bawah ini menunjukkan bagaimana hiburan tersebut, meski dianggap seru dan menyenangkan tetapi juga sangat berbahaya, khususnya bagi para peserta.
“Sudah menjadi pemandangan umum melihat salah satu peserta menjaga agar tubuh pasangannya tidak terjatuh ke lantai ketika ia mulai mengantuk atau tertidur saat menari. Musik berubah dari waltz ke rumba dan para pasangan mencoba menyesuaikan diri dengan irama yang baru, menggeser dan menggerakkan badan seadanya ke atas dan bawah, berpura-pura menari. MC meniup peluit, tanda bagi seluruh pasangan untuk berjalan terhuyung-huyung ke salah satu ujung arena. MC meniup peluitnya lagi, dan kompetisi kembali dimulai, para penari berjalan tertatih-tatih, berputar, mencoba berlari, sementara para penonton membujuk, bersorak, dan mencemooh pasangan favorit mereka,” tulis Claid. “Seorang penonton berdiri dan bersorak, berharap untuk menyaksikan kejatuhan yang spektakuler, tangisan yang menyakitkan, darah atau melihat peserta berhalusinasi. Satu pasangan jatuh berlutut, pasangan lainnya terjatuh. Ketika MC akhirnya meniup peluitnya dan menyalakan musik dansa lagi, hanya ada tiga pasangan yang tersisa,’’ tambahnya.
Baca juga:
Sementara itu Railey Jane Savage menulis dalam We Have a Winner! Tekanan yang kuat untuk terus menari demi mendapatkan hadiah uang membuat para peserta terus melanjutkan kompetisi meski mengalami luka di sejumlah bagian tubuh, paling banyak di bagian kaki dan tungkai. Pada akhirnya, dansa maraton tak lagi dipandang menarik, meski peminat terhadap kompetisi ini masih ada pada pertengahan tahun 1930-an, namun lebih banyak orang yang tak tertarik untuk ikut menjadi peserta karena kompetisi ini dianggap sebagai bentuk penyiksaan. Hadiah uang tunai yang ditawarkan tak lagi menarik ketika kesehatan fisik dan mental dipertaruhkan.
Lebih jauh lagi, dansa maraton menimbulkan pertentangan yang cukup besar baik dari segi moral maupun ekonomi. Beberapa orang menentang kompetisi ini karena dianggap merusak kaum muda, terutama para wanita muda. Menurut Martin, polisi mencurigai dansa maraton karena sentimen negatif masyarakat. Para pengusaha bioskop juga menentang dansa maraton karena mereka bersaing untuk mendapatkan uang dari waktu senggang yang sama. Kritik yang terus muncul bersamaan dengan berkurangnya peminat untuk berkompetisi dalam dansa maraton membuat hiburan yang sebelumnya populer itu mulai kehilangan tempat di industri Amerika.
‘’Dansa maraton telah dimulai setelah Perang Dunia I. Kontes ini telah muncul sebagai hiburan perjuangan dan harapan, dan kemudian, dengan adanya Depresi, telah berubah menjadi hiburan dari kesibukan yang menyedihkan. Namun, dengan adanya Perang Dunia II, sikap orang Amerika pun berubah. Industri telah bangkit kembali, dan orang-orang kembali bekerja. Siapa yang punya waktu untuk duduk berjam-jam menyaksikan orang-orang bergerak di lantai dansa?’’ tulis Martin.
Pada akhirnya, meski beberapa dansa maraton masih berlangsung hingga tahun 1940-an dan setidaknya satu kompetisi masih diadakan hingga tahun 1952, popularitas hiburan ini terus menukik tajam dan masa kepopulerannya pun telah berakhir.