Tarian yang Mempesona
Sebuah tarian ritual disulap jadi tarian yang megah dan menghibur. Salah satu atraksi wisata terbaik di Indonesia yang tak bisa dilewatkan begitu saja.
JIKA memasuki Kabupaten Banyuwangi dari arah Jember, Anda mungkin akan terpesona pada patung penari gandrung berukuran besar di pelataran sebuah taman. Ia dibingkai pilar bujursangkar. Ya, Anda telah memasuki wilayah Kabupaten Banyuwangi yang dijuluki Kota Gandrung.
Gandrung adalah tarian khas Bumi Blambangan, sebutan lain bagi Banyuwangi. Sebagai ikon Banyuwangi, ada di mana-mana. Patung gandrung terpajang di berbagai sudut kota dan desa. Tapi yang menakjubkan adalah Taman Gandrung Terakota di Kecamatan Licin. Ratusan patung penari gandrung membentuk formasi indah di tengah persawahan terasiring di kaki Gunung Ijen, tepatnya di kawasan Jiwa Jawa Resort.
Selain hamparan sawah, perbukitan, dan kebun kopi, Taman Gandrung Terakota dikelilingi pemandangan indah Gunung Merapi, Raung, Suket, dan Meranti. Beragam acara musik dan budaya yang menarik pun digelar di sini, di sebuah amfiteater terbuka. Dari Jazz Gunung Ijen hingga sendratari Meras Gandrung.
Gandrung juga selalu hadir dalam setiap perayaan atau pagelaran. Bahkan jadi salah satu kegiatan unggulan Banyuwangi dengan nama Festival Gandrung Sewu.
Baca juga: Sajian dari Beragam Pasar Kuliner
Festival Gandrung Sewu merupakan salah satu agenda dalam kalender pariwisata tahunan Kabupaten Banyuwangi, yang dikemas dalam tajuk Banyuwangi Festival. Gandrung Sewu kali pertama digelar tahun 2012. Menampilkan tema berbeda setiap tahunnya.
Festival Gandrung Sewu 2019, misalnya, mengambil tema “Panji-Panji Sunangkara” yang mengisahkan perlawanan rakyat bumi Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Rempeg Jagapti terhadap penjajah.
Festival diikuti 1.350 siswi sekolah dasar, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan dari seluruh penjuru Banyuwangi.
“Gempuran budaya global melalui media sosial, di mana anak-anak mulai teralienasi dari budaya lokalnya, Gandrung Banyuwangi menjadi bagian dari cara daerah agak anak-anak kembali senang dengan budayanya," ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas pada acara Festival Gandrung Sewu 2019, Oktober silam.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Festival Gandrung Sewu 2019 digelar secara kolosal. Di tengah terik matahari, daratan pasir Pantai Boom di Kabupaten Banyuwangi memerah. Ribuan penari gandrung berkostum merah tumpah-ruah. Hentakan kaki, lambaian tangan, liukan badan, gelengan kepala hingga lirikan mata berpadu serasi. Selaras dengan iringan musik dan syair yang dinyayikan oleh kelompok pengiring.
Dan penonton terpesona dibuatnya.
Bukan Semata Hiburan
Gandrung, yang artinya cinta atau tergila-gila, merupakan kesenian asli dan tertua Banyuwangi. Ia tak berbeda jauh dari kesenian rakyat di daerah lain seperti tayub, ronggeng dan cokek, yang tampil dalam bentuk tari dan nyanyian dengan iringan musik tertentu.
Menurut antropolog Belanda John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi (1927), kemunculan gandrung berkaitan dengan pengangkatan Mas Alit sebagai bupati dan pembabatan hutan untuk dijadikan ibukota baru Blambangan. Gandrung berfungsi sebagai hiburan sekaligus ritual mohon keselamatan dari marabahaya penunggu hutan.
Namun ada juga pendapat bahwa kemunculan gandrung berkaitan erat dengan seblang, salah satu ritual suku Osing. Ritual ini digelar untuk keperluan bersih desa dan tolak bala. Para penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya keturunan penari seblang.
Menurut Sal M. Murgiyanto dan A.M. Munardi dalam Seblang dan Gandrung, tari seblang mirip dengan tari sang hyang di Bali, yang di masa lalu ditemui juga di Banyuwangi dengan sebutan tari sanyang. Tarian sanyang dilakukan dua anak lelaki yang berpakaian perempuan dan dalam keadaan kesurupan.
Menariknya, nyanyian-nyanyian dan tatabusana penari dalam sanyang masih terjejaki dalam pertunjukan seblang dan gandrung. “Lintasan gerak dan pose-pose dasar ketiga tarian tersebut pun masih menunjukkan banyak kesamaan,” tulis mereka.
Gandrung berkaitan dengan mitos Dewi Sri. Masyarakat Using (suku asli Banyuwangi) yang agraris menghormati Dewi Sri dengan ritual tarian sebagai ungkapan rasa syukur atas panen yang melimpah. Namun dalam perkembangannya unsur hiburan lebih menonjol dalam pertunjukan ini.
Pada awalnya tarian gandrung dibawakan lelaki yang didandani menyerupai perempuan atau dikenal dengan istilah gandrung lanang. Mereka menari berkeliling dari rumah ke rumah atau pasar sambil menyanyikan lagu-lagu tradisional Banyuwangi. Seiring kuatnya pengaruh Islam, gandrung lanang perlahan menghilang. Apalagi Marsan, penari terakhir gandrung lanang, kemudian meninggal dunia. Gandrung kemudian identik dengan penari perempuan, hingga kini.
Gandrung perempuan pertama yang terkenal adalah Semi –acap disebut Gandrung Semi. Menurut cerita, Semi berusia sepuluh tahun kala menderita penyakit kronis. Segala upaya untuk menyembuhkannya tak membuahkan hasil. Maka, Mak Midhah (Mak Milah), ibunya, bernazar bila sembuh, dia akan menjadikan Semi sebagai seblang. Ternyata Semi sembuh. Tapi, selain seblang, Semi mahir menarikan gandrung yang waktu itu mulai digemari masyarakat.
Apa yang dilakukan Semi diikuti adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan “Gandrung” sebagai nama panggung. Maka, selain Gandrung Semi, dikenal pula Gandrung Misti, Gandrung Soyat, dan Gandrung Miati. Kesenian ini pun berkembang di seantero Banyuwangi.
Kendati unsur hiburan lebih menonjol, aspek ritual dalam pertunjukan gandrung masih terasa. Gandrung kerap tampil dalam upacara petik laut (panen ikan), bersih desa, hingga tingkeban (kehamilan tujuh bulan).
Karena kekhasan kesenian ini, pada 1990 gandrung resmi diangkat menjadi identitas bersama Banyuwangi. Lalu, sejak 2002 ditetapkan sebagai maskot pariwisata Banyuwangi. Puncaknya, gandrung ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2013.
Megah nan Indah
Sejak lama kesenian gandrung mendapat perhatian dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pada 1970-an, gandrung diberi sentuhan sedikit koreografi modern dan ditayangkan di TVRI. Tayangan itu mendapat sambutan yang luas.
“Tari tersebut telah diangkat menjadi tari yang sekarang di luar negeri selalu memperoleh applause yang ramai dan lama,” kenang Astrid S. Susanto, yang bekerja di Bappenas, dalam buku Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro.
Perkembangan itu mendorong pemerintah daerah Banyuwangi untuk merawat dan mengembangkan gandrung, terutama di kalangan generasi muda. Gandrung tak hanya ditarikan keturunan penari gandrung. Banyak gadis, siswi sekolah hingga mahasiswi mulai mempelajari tarian ini. Gandrung bukan hanya dipentaskan untuk memeriahkan pesta perkawinan, misalnya, tapi juga acara-acara resmi. Lalu, pada 1974, pemerintah daerah untuk kali pertama menggelar Festival Gandrung.
Baca juga: Selera Naga Sejuta Rasa
Setelah lama mati suri, festival semacam itu dihidupkan kembali pada 2012 dengan nama Festival Gandrung Sewu. Seperti namanya, ada seribu bahkan lebih penari yang tampil membawakan tarian gandrung. Gagasan ini berasal dari Bupati Azwar Anas untuk mempromosikan Banyuwangi dan menumbuhkan kecintaan warga Banyuwangi akan seni dan budayanya.
“Kami mencari cara bagaimana agar anak-anak penari diberi panggung yang istimewa. Karena selama ini mereka hanya tampil di desa saja. Tidak ada kebanggaan lebih, karena yang nonton hanya orang-orang di lingkungannya,” kata Anas.
Gagasan itu ternyata berbuah sukses. Perhelatan ini mampu menarik animo dari wisatawan dalam maupun luar negeri. Mereka terhibur sekaligus berdecak kagum akan kemegahan dan keindahan tarian ini. Tak heran jika Gandrung Sewu masuk sebagai salah satu atraksi wisata terbaik Indonesia atau “10 Best Calender of Event Wonderful Indonesia” versi Kementerian Pariwisata.
Tari Gandrung Banyuwangi sudah selayaknya dilestarikan. Kabupaten Banyuwangi sudah melakukannya dengan beragam cara, salah satunya lewat Festival Banyuwangi.
Ah, Banyuwangi selalu bikin tergila-gila.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar