Selera Naga Sejuta Rasa
Di Banyuwangi, tak usah menunggu Imlek untuk bisa menikmati kuliner Tionghoa. Ada pasar kuliner khas yang digelar tiap pekan.
SUDAH empat tahun terakhir ini Banyuwangi menggelar Festival Imlek. Sebuah upaya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk mengangkat sekaligus memupuk kerukunan dalam keberagaman di Bumi Blambangan. Tapi ada yang spesial tahun ini.
Bersamaan dengan Festival Imlek, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memperkenalkan Pecinan Street Food; pasar wisata kuliner yang menjajakan beragam makanan khas Tionghoa.
“Pecinan Street Food akan rutin digelar setiap Jumat malam di areal jalanan menuju Kelenteng Hoo Tong Bio,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat peresmian pada 31 Januari 2020. “Jadi warga Banyuwangi dan wisatawan yang ingin menikmati masakan khas Tionghoa tidak perlu repot. Langsung saja ke tempat ini. Dijamin puas.”
Pecinan Street Food digelar di sepanjang Jalan Ikan Gurame, Kelurahan Karangrejo, yang membentang sepanjang 300 meter. Di kawasan ini Anda bisa mencicipi dimsum, lontong cap go meh, bebek, ayam peking, sate tai chan, hingga nasi goreng hitam. Selain itu, Anda akan menikmati suasana khas nan indah yang kental dengan nuansa Tionghoa. Mulai dari musik, hiburan, hingga ornamen serba merah.
Pecinan Street Food dipusatkan di sekitar Kelenteng Hoo Tong Bio, yang memiliki nilai sejarah penting bagi komunitas Tionghoa di Banyuwangi.
Perlindungan
Sejak lama orang Tionghoa menaruh perhatian pada perkembangan Blambangan, nama lama dari Banyuwangi. Ini dibuktikan dari kunjungan Cheng Ho ke Blambangan pada abad ke-14., sebagaimana dicatat dalam Ming Shih, sumber Tiongkok pada masa Dinasti Ming, yang diterjemahkan W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Kedatangan Cheng Ho bertepatan dengan konflik antara Blambangan dan Majapahit.
Setelah itu tak ada informasi lain mengenai orang Tionghoa. Namun, orang Tionghoa dikenal sebagai pedagang ulung. Selain berdagang di pelabuhan-pelabuhan lain di Nusantara, mereka juga singgah di Pelabuhan Ulupampang di Blambangan, salah satu pelabuhan tersibuk di sekitar Selat Bali. Kelak, mereka membentuk jaringan perdagangan yang kuat. Bahkan ikut menyokong Agong Wilis dalam perlawanan melawan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) yang ingin menguasai Blambangan.
Menurut kronik lokal Babad Notodiningratan, orang Tionghoa mulai menetap di Blambangan pada 1631. Jumlahnya kian meningkat setelah “geger pecinan” di Batavia pada 1740. Banyak orang Tionghoa menyelamatkan diri ke Blambangan. Mungkin mereka mendapat perlindungan dari Tan Hu Cinjin.
Baca juga: Sajian dari Beragam Pasar Kuliner
Dari cerita turun-temurun, Tan Hu Cinjin berasal dari Propinsi Kwan Tung. Dia dikenal pintar dan terampil sebagai sinse, pakar hong shui, arsitek bangunan, dan pertamanan. Karena itu dia diminta raja Blambangan untuk membangun istana di daerah Macan Putih.
Sebagai penghormatan atas jasa Tan Hu Cinjin, komunitas Tionghoa kemudian membangun Kelenteng Hoo Tong Bio yang berarti “kuil perlindungan orang-orang Tionghoa”.
Kelenteng berada di Lateng (sekarang Blimbingsari, Rogojampi), tak jauh dari Pelabuhan Ulupampang. Tak diketahui pasti kapan didirikan. Namun keterangan pada semacam prasasti dalam kelenteng menunjukkan “Qianlong jiachen” (1784). Di situ juga termuat nama Tan Cin Jin dalam bentuk kaligrafi yang indah.
Setelah ibukota Blambangan pindah dari Ulupampang (kini, Kecamatan Muncar) ke Banyuwangi, kelenteng pun ikut dipindahkan. Apalagi pemindahan ibukota disertai pemberlakuan wijkenstelsel dan passenstelsel, yang jadi pijakan munculnya Pecinan.
Hingga kini Kelenteng Hoo Tong Bio masih berdiri kokoh dan menjadi salah satu bangunan tertua di Kabupaten Banyuwangi. Selain sebagai pusat keagamaan, Kelenteng Hoo Tong Bio berfungsi secara sosial dan budaya.
Adaptasi
Komunitas Tionghoa mempertahankan dan mengembangkan tradisi dan budaya leluhur, termasuk kulinernya. Mereka mencoba beradaptasi dengan lidah lokal. Jika semula masakan Tiongkok tidak memiliki rasa yang kaya, rumit, dan kompleks karena lebih menekankan citarasa asli, maka ketika bertemu bumbu-bumbu lokal akan menjadi lebih kaya rasa. Selain soal rasa, kuliner Tionghoa menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitar yang mayoritas beragama Islam.
“Kalo orang mau cari masakan Chinese tapi halal, maka akan didapat setiap Jumat malam di sekitar kelenteng Hoo Tong Bio ini,” ujar Anas dalam sambutannya.
“Perkawinan” antara selera Tionghoa dan citarasa lokal menjadi nyawa dalam Pecinan Street Food. Setiap Jumat malam, kawasan Kelenteng bakal dipenuhi aneka makanan mulai dari ayam kunpao, lontong cap go meh, hingga bebek dan ayam Peking. Anda bisa mencicipi aneka jajanan seperti kue keranjang, bakpao ayam, bacang, dan manisan Tiongkok. Ada juga minuman khas seperti teh bunga krisan, kopi, dan masih banyak lagi.
Bahkan, sebenarnya kuliner khas Banyuwangi, yakni rujak soto, pun tak luput dari pengaruh Tionghoa. Denys Lombard, sejarawan Perancis, dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, mencatat orang-orang Tionghoa berperan penting bagi kelahiran soto. Soto berawal dari bahasa Mandarin caudu atau jao to. Masakan khas Tionghoa ini kali pertama populer di Semarang pada abad ke-19 lalu menyebar ke daerah lainnya dengan berbagai varian rasa, cara memasak, bumbu, penyajian, pelengkap, dan citarasa.
Di Banyuwangi, rujak soto sebenarnya racikan beragam sayuran; kacang panjang dan kangkung, potongan tahu dan tempe dengan bumbu kacang dan petis yang disiram kuah soto. Sajian rujak soto bisa dinikmati di pasar kuliner lainnya.
Pecinan Street Food memang hanyalah salah satu konsep pasar kuliner tematik yang dikembangkan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Saat ini, tak kurang ada 19 pasar kuliner yang tersebar di berbagai kecamatan dengan waktu yang berbeda-beda. Inovasi ini bertujuan mendongkrak ekonomi lokal.
Siapa tak tertarik?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar