Chairil Anwar Sang Pejuang
Dia dikenal sebagai penyair pemberontak di zamannya. Benarkah selain menulis puisi-puisi revolusioner, dia pun seorang pemanggul senjata?
Karawang-Bekasi sejak 21 Juli 1947 adalah kesedihan. Haji Sidin masih ingat bagaimana di perbatasan antara kedua kota itu terjadi pertempuran yang cukup besar selama tiga hari berturut-turut antara para pejuang Indonesia dengan para serdadu Belanda.
“Itu yang mati banyak. Ratusan mungkin jumlahnya, ya tentara ya masyarakat biasa,” kenang lelaki berusia 91 tahun itu.
Dalam Gangsters and Revolutionaries, sejarawan Robert B. Cribb menyebut pertempuran besar dan brutal itu terjadi setelah para serdadu Belanda dari Batalyon 3-9-RI Divisi 7 Desember merangsek ke Karawang via Bekasi. Penyerbuan itu dilakukan, persis sehari setelah Gubernur Jenderal NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) H.J. van Mook mengumumkan pembatalan sepihak kesepakatan Perjanjian Linggarjati yang pernah ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda beberapa bulan sebelumnya. Inilah yang mengawali Aksi Polisional I Belanda (pihak Republik menyebutnya sebagai Agresi Militer Belanda I).
Baca juga: Ketika Karawang Jatuh ke Tangan Belanda
Dalam situasi seperti itulah, penyair Chairil Anwar digambarkan oleh Sjuman Djaya dalam skenario film berjudul Aku melintasi lokasi-lokasi bekas terjadinya pertempuran. Dia yang saat itu tengah menuju Bekasi dari Karawang, menyaksikan bagaimana mayat-mayat manusia dan binatang ternak bertebaran di jalanan, rawa-rawa, sungai dan pepohonan.
“Semua itu dilihat dengan mata kepala Chairil sendiri…” tulis Sjuman Djaya.
Pengalaman itu rupanya sangat membekas di benak Chairil. Beberapa bulan setelah Insiden Karawang-Bekasi 1947, penyair yang kerap nongkrong di Pasar Senin, Jakarta itu menulis sebuah puisi berjudul "Karawang-Bekasi".
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata. Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Teruskan, teruskanlah jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Muncul pertanyaan dalam rangka apa, Chairil berada di Karawang pada saat-saat genting seperti itu? Soal ini memang belum jelas benar. Namun dalam bukunya Menteng 31:Membangun Jembatan Dua Angkatan, tokoh pemuda pejuang A.M. Hanafi menyebut jika Chairil memiliki keakraban yang khusus dengan para aktivis pemuda yang tergabung dalam kelompok Menteng 31.
“Chairil Anwar…pernah bersama-sama kami sejak dari Menteng 31 sampai ke Karawang-Bekasi…” ungkap Hanafi.
Baca juga: Lakon dalam Pusaran Revolusi
Sejarah mencatat para aktivis Menteng 31 kemudian mendirikan Angkatan Pemoeda Indonesia (API) pada 1 September 1945. API inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Lasjkar Rakjat Djakarta Raja (LRDR) yang kemudian mengundurkan diri ke Karawang dan menerukan perjuangan dari kota beras tersebut.
Kedekatan Chairil dengan anak-anak API terkonfirmasi dari salah satu puisi-nya yang berjudul Malam. Dalam buku Derai-derai Cemara yang disunting oleh Taufiq Ismail, disebutkan jika Chairil menulis puisi tersebut di markas API yang terletak di Jalan Menteng No.31 Jakarta.
Meskipun soal kedekatan Chairil dengan dunia kaum bersenjata Jakarta dan Karawang tak diragukan lagi, namun tidak demikian dengan keikutsertaannya sebagai salah satu kaum pemanggul senjata. Almarhum Ajip Rosidi adalah salah seorang yang tidak yakin jika Chairil terlibat langsung di lapangan sebagai penempur.
“Kalau sebagai aktivis pejuang atau propagandis lewat karya-karyanya, saya percaya. Dia memang seorang nasionalis sampai ke tulang-tulangnya,” ungkap Ajip saat diwawancara di kantor Historia pada 2017. (Bersambung)
Tambahkan komentar
Belum ada komentar