Setelah melakukan pembantaian di Sulawesi Selatan, Kapten Raymond Westerling, komandan Korps Speciale Troepen (Pasukan Khusus Belanda) kembali melakukan operasi brutal di Jawa Barat. Puncaknya ketika seorang komandan batalion dari Divisi 7 Desember melaporkan Westerling karena pasukan yang dipimpinya telah membunuh sepuluh warga sipil di jalanan kota Ciamis. Atas perintah Panglima Tentara Belanda di Batavia, Jenderal Simon Spoor, Westerling pun dibebastugaskan pada 11 November 1948.
Westerling kemudian memasuki kehidupan baru sebagai warga sipil. Dia menikahi kekasihnya, Fernanda Yvonne Fournier, wanita keturunan Indo-Prancis. Fernanda adalah putri seorang pengelola hotel asal Prancis yang menikah dengan wanita pribumi (versi lain menyebutkan wanita Vietnam).
Sebelum menikah dengan Westerling, Fernanda telah memiliki dua anak: Jacquelenna dan Johnny. Sedangkan dengan Westerling, Fernanda memiliki satu anak, Celia (Westerling menyebut namanya Cecilia).
Pada 1949, Westerling bersama temannya, Chia Piet Kay, menjalankan bisnis di Pacet, Puncak, Cianjur. Dia memiliki beberapa truk bekas KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) untuk mengangkut hasil perkebunan ke berbagai tempat, terutama ke pelabuhan.
Koneksi Westerling yang luas, terutama dengan para pengusaha perkebunan, pejabat publik dan militer, serta reputasinya sebagai bekas komandan pasukan khusus, membuat usahanya berjalan lacar.
Baca juga: Arthur Campbell, Agen CIA Pertama di Indonesia
Ternyata, usaha itu hanya kamuflase. Agen CIA, Arthur Campbell, melaporkan kegiatan penyamaran Westerling itu kepada Konsul Jenderal Amerika Serikat di Jakarta, Jake Beam.
Wartawan senior, Rosihan Anwar, yang pernah bertemu dengan Arthur Campbell, menyebut Jake Beam memberi tahu pihak Belanda bahwa Westerling sedang merekrut serdadu untuk pasukan bersenjata dan dengan pasukan itu akan merebut kekuasaan setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia.
"Untuk mempersiapkan ini, Westerling membuat suatu besteldienst (jasa pengiriman, red.), angkutan antar-ambil antara Jakarta dengan Bandung. Ini akan menutupi kegiatannya untuk secara diam-diam mengumpulkan truk, jeep, senjata, supir, dan serdadu di suatu markas pusat," tulis Rosihan dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Volume 1.
Baca juga: Westerling, Ratu Adil dari Istanbul
A.H.J. Lovink, Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, meragukan kebenaran cerita itu. Namun, dia menugaskan beberapa perwira Belanda untuk mengadakan penyelidikan. Hasilnya tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan Westerling.
Menurut Aboeprijadi Santoso, wartawan senior dan kontributor Historia di Belanda, dalam tulisannya “Misi Klandestin Pangeran Oranye”, dari arsip dan laporan intelijen yang telah dibuka dan menimbulkan kontroversi, terungkap bahwa Pangeran Bernhard von Lippe-Biesterveld, suami Ratu Juliana, terlibat dalam gerakan Westerling. Dia tak mungkin menjadi Raja Belanda, maka dia berambisi menjadi Onderkoning (Raja Muda) yang berkuasa di Hindia Belanda atas nama istrinya, Ratu Juliana.
Kepentingan politik, diplomatik, dan bisnis Pangeran Bernhard dijalankan oleh Jan Willem Duyff. Melalui kontak dengan Panglima Tentara Belanda di Batavia, Jenderal Simon Spoor, Duyff membangun mata rantai dengan Westerling dan Sirdar Iqbal Ali Shah, diplomat Pakistan asal Afghanistan, untuk mengatur penyelundupan senjata dari London atau Paris, melalui Pakistan ke Indonesia.
Aboeprijadi menyebut bahwa petualangan Bernhard-Duyff-Westerling menunjukkan betapa sempit wawasan mereka atas dinamika perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dipandang dari perspektif Indonesia, tampak aneh bahwa para konspirator melancarkan kudeta saat posisi diplomatik Belanda di mata dunia setelah dua kali agresi militer (1947 dan 1948) amat lemah. Lebih aneh lagi komplotan itu seolah mengandalkan peran dan kolaborasi dengan Darul Islam S.M. Kartosuwirjo yang rencananya akan dipasok senjata dan dibantu oleh Westerling.
Baca juga: Van Kleef, Seorang Belanda Bergabung dengan Darul Islam
"CIA yang mencermati perkembangan di Jawa Barat dalam laporannya menulis bahwa Darul Islam bekerja sama dengan Westerling melawan pemerintah Sukarno-Hatta. CIA menduga di situ terkait peran Belanda," tulis Aboeprijadi.
"Ali Shah yang bermitra dengan Duyff," lanjut Aboeprijadi, "memang bertugas menarik minat pimpinan Darul Islam pada peran Belanda in casu (dalam hal ini) Westerling dalam memerangi Sukarno-Hatta. Westerling rupanya mau bekerja sama dengan siapa saja untuk tujuan tersebut, demikian pula Darul Islam."
Rosihan menyebut pihak Belanda, dalam hal ini Lovink, keliru karena pada 23 Januari 1950 Westerling dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) melancarkan aksinya dengan menyerang markas Divisi Siliwangi. Beberapa perwira TNI tewas.
Baca juga: Kisah Perburuan Kapten Westerling
Setelah itu, pasukan APRA akan bergerak ke Jakarta untuk menyerang sidang dewan menteri Republik Indonesia Serikat. Serangan itu gagal karena tidak mendapat dukungan pimpinan tentara KNIL dan KL (Tentara Kerajaan) yang masih ada di Indonesia.
Westerling jadi buronan. Pada 22 Februari 1950, dia diselamatkan pesawat Albatross Catalina milik Marinir Belanda dengan menyelundupkannya ke lepas pantai Singapura. Dari sana, dia mengayuh perahu karet ke Singapura.
"Dan pada 25 Februari 1950 tersiar berita Westerling telah berada di Singapura," tulis Rosihan. "Dia lolos dan kembali berjumpa dengan agen CIA, Arturo Campbell."