KENDATI tak lebih dari sekadar bendeleider alias pemimpin gerombolan, nama La Tjambi masih disebut oleh Belanda. Dalam sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia di Sulawesi Selatan, La Tjambi dan kebanyakan pendukung Republik Indonesia di sana namanya tak dikenal apalagi ditulis.
La Tjambi, disebut Het Dagblad tanggal 7 Oktober 1946), beraksi di sekitar Garasi Soepase, dekat Parepare, Sulawesi Selatan. Pertempuran itu sulit bagi La Tjambi hingga terbunuh.
Namun, dalam pertempuran itu komandan militer Belanda di Parepare juga terbunuh di sekitar Sungai Sawito. Komandan Batalyon Infanteri di Pare-pare yang juga komandan militer setempat itu adalah Mayor Jacobus Johannes Le Roy (1905-1946).
Baca juga:
Mayor Le Roy, menurut Studbooks atas nama dirinya, adalah putra dari Willem Ambrosius dan Hermina Frederika Beins. Pria kelahiran Ambarawa, 3 September 1905 ini pernah belajar di Sekolah Kadet pada 1921 sebelum masuk Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda pada 1923. Dia lulus pada 1926 dan dilantik sebagai letnan dua infanteri.
Le Roy tiba di Hindia Belanda pada 15 November 1926, lalu ditempatkan di Batalyon Infanteri ke-4 Koninklijk Naderlandsch Indisch Leger (KNIL). Seperti umumnya perwira KNIL, dia berpindah dari satu satuan ke satuan lain. Setelah hampir tiga tahun berdinas di Hindia Belanda, pada 16 Juli 1929 dia naik pangkat menjadi letnan satu. Dari 14 Desember 1932 sampai 10 Agustus 1933, dia mendapatkan cuti panjang dan mempergunakannya untuk ke Belanda.
Setahun kemudian, ketika bertugas di Depot Batalyon Pertama, Bandung, Le Roy menikah dengan Thelma Elenbaas. Menurut data OGS, Thelma dinikahinya pada 2 Juli 1937 di Bandung. Keluarga Le Roy lalu tinggal di Bandung. Dari pernikahan itu dirinya dikaruniai dua anak, Marijke Le Roy dan Willem le Roy.
Baca juga:
Mayor Belanda Tewas di Parepare, Westerling Ngamuk
Pada 30 Juli 1938, Le Roy naik pangkat lagi menjadi kapten. Tour of duty tetap menjadi rutinitasnya sebagai opsir hingga ketika tentara Jepang datang pada Maret 1942. Kala itu dirinya bertugas di Jawa dan masih tinggal di Bandung. Seperti umumnya serdadu KNIL, selepas Hindia Belanda menyerah, Kapten Le Roy menjadi tawanan perang. Menurut Het Dagblad tanggal 9 Oktober 1946, dia ditawan dari 8 Maret 1942 hingga September 1945.
Setelah Jepang dikalahkan Sekutu, Kapten Le Roy pergi ke Semarang. Nahas, di sana dia ditangkap oleh orang Indonesia kendati kemudian dibebaskan.
Dia ditugaskan kembali di KNIL dan pada 23 November 1945 dijadikan komandan batalion di Parepare. Pangkatnya pun dinaikan sebagai mayor infanteri.
Di Parapare itulah Mayor Le Roy menemui ajalnya ketika menghadapi lawan-lawan yang gigih. Menurut Het Dagblad tanggal 9 Oktober 1946, Le Roy ini tewas terkena tembakan di jantung saat baku tembak.
Baca juga:
Murid Westerling Tumbang di Jogja
Kematian Mayor Le Roy punya dampak besar di Makassar dan sekitarnya. Kematian seorang perwira kerap dianggap sebagai simbol gawatnya situasi. Militer Belanda pun bersikap keras di Sulawesi Selatan. Pasukan khusus Depot Speciale Tropen (DST) yang dipimpin Kapten Raymond Paul Pierre Westerling (1919-1987) –yang sohor dengan laku kerasnya kepada rakyat yang mereka tuduh sebagai ekstrimis– pada Desember 1946 pun dikirim dari Jakarta ke sana.
“Ketika saya tiba di Makassar, saya melihat kekacauan dan anarki di sana. Ketika saya meninggalkan Makassar, pada awal Maret 1947, hanya tiga bulan setelah kedatangan saya, kedamaian dan ketenangan telah kembali. Komunikasi kembali berjalan, baik melalui darat maupun laut,” klaim Westerling dalam memoarnya, Challenge to Terror.
Antara Desember hingga Februari 1947, pembantaian yang melibatkan DST-Westerling terjadi di beberapa desa. Jika rata-rata dalam sehari ada 100 orang dibunuh DST, dalam tiga bulan (90 hari), angka yang terbunuh adalah 9.000 orang. Namun tentu tak setiap hari ada eksekusi, sebab pasukan DST dan lainnya harus istirahat di samping terus bergerak dari satu desa ke desa yang jelas butuh waktu. Begitulah dampak kematian Mayor Le Roy.*