KENDATI masih “bau kencur”, Desiré Delano Bouterse alias Dési Bouterse bukan sembarang bintara. Ketika masih berpangkat Sersan Mayor (Serma), bekas instruktur sport militer itu pada 25 Februari 1980 berani mengkudeta Presiden Henck Arron dan menggantikannya dengan dr. Henk Chin A Sen. Eks Serma Bouterse kemudian menjadi orang berkuasa di Suriname. Kudeta Bouterse itu dikenal sebagai Kudeta Sersan.
Kabar kudeta Sersan Mayor Bouterse itu sampai juga ke Negeri Belanda. Itu menggelisahkan Frederik Ferdinand Ormskerk alias Fred yang hampir berusia 57 tahun. Fred kemudian membangun komplotannya dan kembali ke Suriname. Komplotan Fred itu dianggap berusaha melakukan kudeta balasan terhadap eks Serma Bouterse.
Gerakan Fred rupanya melibatkan Johan Kasantaroeno dan Letnan Roy Bottse. Johan adalah mantan menteri yang dari nama belakangnya, Kasantaroeno, adalah keturunan Jawa. Sementara Letnan Roy Bottse adalah bekas perwira tentara. Keduanya kabur dari ibukota setelah Kudeta Sersan. Fred berhasil menghimpun pasukan lantaran konon, ada suntikan dana sebesar 30 ribu gulden dari Menteri Belanda Jan Pronk.
Baca juga: Dan Westerling Pun Tersenyum
Usaha Fred Ormskerk bukan hanya gagal. Fred tertangkap tentara pendukung kudeta di ibukota Suriname, Paramaribo. Koran Algemeen Dagblad edisi 5 Juni 1980 menyebut gerakan Fred itu pada 7 April 1980 sudah bocor. Fred lalu diperiksa Sersan Sital dan Sersan Mijnals. Fred yang sudah sepuh itu mendapat siksa. Sersan Mayor Roy Horb dianggap bertanggungjawab juga atas penyiksaan itu. Setelah tersiksa, pada Hari Buruh 1980, Fred dibunuh.
“Upaya invasi pada April 1980 yang melibatkan tentara bayaran asing dan pembelot sebelumnya yang dipimpin oleh Fred Ormskerk digagalkan. Pada 6 Mei 1980, Kementerian Luar Negeri Belanda mengkonfirmasi bahwa sekitar 300 tentara bayaran dari Belanda, Belgia, dan Venezuela dihentikan di perbatasan timur antara Suriname dan Guyana Prancis. Ormskerk, mantan tentara yang tinggal di Belanda sejak dibebastugaskan beberapa tahun sebelumnya, ditembak oleh regu tembak,” tulis John J. Chin, Joseph Wright, dan David B. Carter dalam Historical Dictionary of Modern Coups D’etat.
Baca juga: Murid Westerling Tewas di Parepare
Fred tak asing dengan Suriname. Dia sendiri kelahiran distrik Nickery, Suriname tanggal 26 April 1923. Dia menjadi tentara sejak muda. Waktu Perang Dunia II, Fred mendaftar di Suriname dan kemudian dikirim ke Australia. Konon dia mendapat pelatihan di Kamp Casino. Fred termasuk tentara yang ikut menyerang Jepang di Indonesia.
Setelah 1945, Fred berada di sekitar Jakarta. Koran Het Vrije Volk tanggal 5 Juni 1980 menyebut Fred terpilih masuk menjadi pasukan khusus yang dipimpin Kapten Raymond Paul Pierre Westerling. Julukan “Bikkel” diperolehnya ketika dia bertugas di pasukan baret hijau Belanda itu. Di Suriname, Fred dijuluki “Black Dutchman” alias “Dlaka Bakra” alias Belanda Hitam. Pasukan baret hijau tersebut adalah pasukan andalan bagi petinggi militer Belanda untuk operasi sulit.
Baca juga: Murid Westerling Tumbang di Yogykarta
Selama bergabung dengan tentara Belanda, kinerja Fred dihargai. Dibuktikan dengan mendapat medali kehoramatan Orde Oranje Nassau berbentuk emas dengan pedang.
Setelah tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) dibubarkan tahun 1950, Fred angkat kaki dari Indonesia. Fred menjalani beragam penugasan. Dia pernah dikirim ke Korea dalam Perang Korea.
Fred yang sudah berkeluarga, kemudian pindah ke Suriname. Di Suriname, Fred meneruskan karier militernya. Sebagai bekas pasukan khusus Westerling, Fred menjadi pelatih bagi tentara Suriname. Tugas menjadi pelatih tentara itu lama diembannya, sebelum hingga Suriname merdeka. Fred dianggap telah menunjukkan fanatisme yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam melatih para prajurit.
Baca juga: Anak Mantan Anak Buah Westerling Mencari Tahu Peran Ayahnya
Setelah Suriname merdeka, 25 November 1975, Fred menjadi bagian dari tentara nasional Suriname, Troepenmacht in Suriname (TRIS). Fred mengakhiri kariernya di militer dengan pangkat Ajudan (setara pembantu letnan di Indonesia). Artinya, Fred lebih senior secara umur sekaligus lebih tinggi pangkatnya di kemiliteran daripada Desi Bouterse. Fred tergolong tentara berpengaruh di Suriname.
Namun sebelum 1980, Fred memasuki masa menjelang pensiun. Bersama anak dan istrinya Fred kemudian hijrah ke Belanda dan menetap di Ermelo. Ke Ermelo pula kemudian jenazah Fred dikirimkan oleh penguasa Suriname.*