Masuk Daftar
My Getplus

Pemberontakan Budak 17 Agustus, Menang atau Mati!

Terinspirasi alam kebebasan Revolusi Prancis, Tula memimpin pemberontakan kaum budak.

Oleh: Randy Wirayudha | 13 Mar 2023
Monumen Desenkadená di Willemstad yang memperingati kematian Tula dan pemberontakan kaum budak (slaverymonuments.org/nationaalarchief.cw)

HINGGA kini, Curaçao bersama Sint Maarten dan Aruba belum sepenuhnya menghirup udara kemerdekaan. Curaçao masih menjadi wilayah otonomi Kerajaan Belanda di Karibia meski perlawanan menuntut kebebasan terhadap kolonialisme Belanda sudah berlangsung begitu lama.

Tula jadi salah satu pemimpinnya kala terjadi Pemberontakan Budak 17 Agustus. Maka setelah Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte meminta maaf atas nama pemerintah Kerajaan Belanda terkait perbudakan di masa kolonial, Desember 2022 lalu, nama Tula bergaung lagi. Kisah kepahlawanan Tula pun turut diungkap dalam pameran bertajuk “Slavery: Ten True Stories of Dutch Colonial Slavery” yang digelar di markas PBB, New York, Amerika Serikat, 27 Februari-30 Maret 2023 atas kerjasama Rijksmuseum dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Curaçao sepenuhnya jadi koloni Belanda sejak kebangkrutan Kongsi Dagang Hindia Barat, WIC, pada 1791. Letaknya berdekatan dengan Saint-Domingue (kini Haiti) yang saat itu masih koloni Prancis. Maka gema moto Revolusi Prancis (1789-1799), “liberté, égalité, fraternité” yang mencapai wilayah koloni Prancis, menyebar pula ke Curaçao.

Advertising
Advertising

Baca juga: Permintaan Maaf Belanda atas Praktik Perbudakan di Masa Lalu

Ini yang kemudian jadi inspirasi Tula memimpin sekira dua ribu pelarian budak untuk memberontak. Tula dkk. menuntut hal serupa dengan para budak di koloni Prancis yang banyak dimerdekakan.

“Pada 17 Agustus 2020. Pemerintah Curaçao mengumumkan bahwa Tula dan para pengikutnya sesama pejuang, terlepas dari keterangan arsip kolonial, tidak lagi dinyatakan sebagai ‘para perusuh’ tetapi sebagai ‘pahlawan’. Pada 2 Juli 2018, Raja Belanda Willem-Alexander membuka pelabuhan kapal pesiar kedua Curaçao, menyingkap nama pelabuhan yang mengusung nama Tula sebagai peringatan,”  tulis Valika Smeulders dalam “Tula: Liberty, Equality and Fraternity” yang termaktub di buku katalog Slavernij: Het verhaal van João, Wally, Oopjen, Paulus, Van Bengalen, Surapati, Sapali, Tula, Dirk, Lohkay.

Eks-Landhuis Knip yang kini menjadi Tula Museo di Curaçao (curacaomonuments.org/visit-curacao.com)

Lebih Baik Mati daripada Hidup Diperbudak

Namanya kadang dijuluki Tula “Rigaud”, merujuk pada seorang perwira militer dari kalangan mulatto (campuran Eropa-kulit hitam) pada Revolusi Haiti (1791-1804), Benoit Joseph André Rigaud. Namun, tak satu pun arsip Belanda bisa melacak asal-usul Tula sebelum diperbudak di Curaçao.

Kendati demikian, menurut Smeulders, dari para budak merdeka asal Saint-Domingue-lah Tula tertular “virus” revolusi dan kebebasan meski pemberontakan budak, sudah pernah beberapakali terjadi, yakni pada 1716, 1750, dan 1774. Semua berakhir serupa: diberangus dengan mudah oleh serdadu WIC. Setelah sempat “landai”, gaung pemberontakan kembali lantang usai Revolusi Prancis.

“Dan selama revolusi di Saint-Domingue pada 1793, banyak tuan tanah perkebunan mengungsi ke Curaçao beserta para budak pekerjanya. Para budak dari Saint-Domingue itu kemudian berbagi kabar dengan para budak di Curaçao tentang kebebasan yang dimenangkan,” sambung Smeulders.

Baca juga: Van Bengalen, Potret Para Budak dari Teluk Benggala

Tula sendiri merupakan budak yang dipekerjakan di Perkebunan Knip (kini Museum Tula) di Bandabou, sekitar 30 kilometer barat laut ibukota Willemstad. Pemiliknya adalah Caspar Lodewijk van Uytrecht, pejabat kolonial yang punya delapan perkebunan di Karibia dan Amerika Selatan.

Suatu hari ketika sudah mendengar Revolusi Prancis dan Revolusi Haiti, Tula mengajak sekira 50 budak untuk mogok kerja sekaligus menuntut kebebasan pada tuannya. Tula berargumentasi bahwa Republik Batavia di negeri Belanda sendiri berada di bawah naungan Prancis. Oleh karenanya, setiap manusia berhak atas kebebasannya, tak hanya di Eropa tapi juga di semua wilayah koloninya.

Potret tuan tanah Caspar Lodewijk van Uytrecht (kiri) dan berkas laporan mengenai pemberontakan Tula kepada Gubernur Johannes der Veer (Rijksdienst voor het Cultureel Erfgoed/nationaalarchief.cw

Menurut Geert Oostindie dan Wim Klooster dalam Curaçao in the Age of Revolutions, 1795-1800, situasi di Prancis dan Belanda tak bisa disamakan begitu saja. Terlebih, kalangan elite Republik Batavia masih terpecah antara kaum Orangist –yakni pendukung “Pangeran Oranye” Willem Batavus yang kabur ke Inggris– dan kaum pro-Prancis yang mengusung moto Revolusi Prancis. Van Uytrecht yang pro-Pangeran Oranye dan sedang menikmati kekayaannya dari perbudakan, sudah barang tentu menolak tuntutan Tula untuk memerdekakan para budak.

Sikap Van Uytrecht membuat Tula memilih kabur dan memprovokasi sejumlah budak dari perkebunan lain pada 17 Agustus 1795. Tula pun membentuk kekuatan bersama beberapa budak yang ia percaya: Bastian Karpatta, Pedro Wakao, dan Louis Mercier. Mercier merupakan budak pelarian dari Saint-Domingue yang kelak dijuluki Toussaint, merujuk pada jenderal kulit hitam, François-Dominique Toussaint L’Ouverture.

Baca juga: Budak yang Merdeka dan yang Melawan

Hingga 19 Agustus, Tula dan rekan-rekannya mampu memprovokasi sekira dua ribu orang budak dari perkebunan lain, di mana 1.200 di antaranya budak laki-laki yang siap angkat senjata. Komplotan Tula merencanakan longmarch menuju Willemstad sembari bergerilya menuntut kebebasan mereka pada pemerintah kolonial.

Pemerintah kolonial pun bereaksi setelah Van Uytrecht mengadu pada Gubernur Johannes de Veer. Sang gubernur mengirim pasukan berisi 93 personel kavaleri pimpinan Kapten Baron van Westerholt. Bersama mereka ikut serta Pendeta Jacobus Schink sebagai negosiator. Dalam arsip bertajuk “Verslag Pater Schink, Curaçao, Oude Archieven tot 1828” yang tersimpan di Nationaalarchief Den Haag, disebutkan Pendeta Schink berhasil sendirian menemukan komplotan Tula di Perkebunan Porto Marie pada 19 Agustus 1795.

Potret Tula (kiri) dan kelompok pemberontakannya usai merebut Perkebunan Porto Marie karya Edsel Selberie (Wikipedia)

Pendeta Schink lalu membujuk ribuan budak itu agar menyerah dan kembali ke perkebunan masing-masing. Sementara, Tula bertahan dengan argumentasinya dengan menyamakan posisi budak koloni Belanda dengan para budak di koloni Prancis yang dimerdekakan.

“Kami telah diperlakukan dengan begitu buruk; kami tak ingin menyakiti siapa-siapa, kami hanya menuntut kebebasan; orang-orang kulit hitam Prancis memenangkan kemerdekaan mereka; Belanda diambil-alih Prancis, oleh karenanya kami juga mestinya bebas,” kata Tula sebagaimana yang dikutip Pendeta Schink di arsip itu.

Baca juga: Suramnya Perbudakan Belanda di Suriname

Tula terus berupaya meyakinkan sang pendeta dengan membawa-bawa nama Tuhan. “Bapa, bukankah semua keturunan Adam dan Hawa? Salahkah saya membebaskan saudara-saudara saya dari belenggu yang menindas mereka? Saya pun pernah dipasung, saya berteriak sampai darah keluar dari mulut saya. Saya berlutut dan memanggil Tuhan: ‘Ya Tuhan yang Agung! Ya Roh Kudus! Seperti inikah kehendak-Mu di mana kami diperlakukan seperti ini?’ Ah Bapa, hewan saja lebih dikasihi, ketika kakinya patah, hewan itu pastilah dirawat.”

Negosiasi itu namun benar-benar buntu. Pendeta Schink tak bisa menjamin kebebasan para budak. Namun ia tetap diperlakukan dengan baik oleh kelompok Tula. Selain diberi makanan, juga diberikan tembakau, bahkan sebuah ruangan untuk menginap sebelum kembali keesokan harinya.

Salinan arsip catatan Pendeta Jacobus Schink yang menemui Tula (nationaalarchief.nl)

Ketika Pendeta Schink kembali dan melapor, Kapten van Westerholt pun bergerak. Pasukannya mengejar komplotan Tula yang bergerilya. Sedikit demi sedikit kekuatan Tula berkurang. Jelang pertempuran yang berat sebelah itu, Van Westerholt seringkali mendengar seruan dalam bahasa Prancis.

“Sesosok Toussaint (Mercier, red.), salah satu pemimpin mereka, berseru pada para sesamanya dalam seruan Prancis, nous sommes ici pour vaincre ou mourir (kami di sini untuk menang atau mati),” catat van Westerholt dalam arsip bertajuk “Rapport Westerholt 5 oktober 1795, Curaçao, Oude Archieven tot 1828”.

Baca juga: Wally Bereaksi, Wally Dieksekusi

Pemberontakan budak itu pun berakhir pada 19 September 1795 setelah Tula dikhianati rekan sesama budak, Caspar Lodewijk. Tula, Karpata, Mercier, dan Wakao pun diseret ke pengadilan dan divonis hukuman mati. Pada 3 Oktober 1795, Tula dieksekusi dengan disiksa sampai mati di muka publik di Pantai Rif, Willemstad.

“Tula dirantai dan dibentangkan di atas roda kereta kuda, wajahnya dibakar, dan kemudian kepalanya dipenggal dengan kapak dan dipamerkan dengan sebuah tombak. Jaksa mencatat bahwa eksekusi semacam ini sebenarnya sudah dihapuskan di Belanda dan negeri-negeri beradab lain tetapi mereka tetap melakukannya. Takut status quo mereka terancam, elite kolonial ingin adanya contoh buruk (perlawanan),” tandas Smeulders.

Lukisan yang mengilustrasikan eksekusi Tula karya Edsel Selberie (Wikipedia)

TAG

perbudakan belanda pameran

ARTIKEL TERKAIT

Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Pengawal Raja Charles Melawan Bajak Laut Para Pejuang Bugis-Makassar dalam Serangan Umum Jenderal dari Keraton Murid Westerling Tumbang di Jogja Akhir Perlawanan Dandara Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Umar Jatuh Cinta di Zaman PDRI