ZONA nyaman kerap kali melenakan. Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri mengingatkan lagi bahwa bangsa Indonesia mesti aktif membaca setiap perubahan konstelasi politik dunia karena akan memengaruhi haluan geopolitik Indonesia. Mulai dari konflik Timur Tengah yang tak kunjung usai, hingga perseteruan Rusia-Ukraina.
“So (mau) ke mana kita? Kemarin saya lihat Suriah kembali lagi dan diterima masuk Liga Arab. Ini mesti dilihat karena berarti akan ada perubahan konstelasi politik global. Terus kita harus ngapain?” seru Mega pada HUT ke-58 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) di Gedung Lemhannas, Jakarta Pusat, Sabtu (20/5/2023).
Lalu, terkait manuver Tiongkok yang jadi mediator mendamaikan Arab Saudi dan Iran medio April 2023 setelah hubungan diplomatik kedua negara terputus enam tahun lewat. Megawati pun mempersoalkan keterlibatan Indonesia yang notabene negara dengan penduduk muslim terbesar dunia.
“Yang namanya Tiongkok bisa mempersatukan Iran sama Arab Saudi. Itu buat saya suatu prestasi tapi juga bikin iri, harusnya Indonesia, kenapa Tiongkok? Ini yang selalu saya bertanya, ini orang Indonesia takut kah? Tidak kreatif kah? Takut zona nyamannya hilang? Itu pertanyaan saya,” sambungnya.
Selain mesti mewaspadai kemajuan teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, segala ancaman geopolitik tradisional juga mesti bisa disikapi dengan lebih aktif untuk memperkuat posisi Indonesia –sebagai negara kepulauan terbesar– di tengah pergaulan internasional.
Sehubungan dengan itu, pemikiran geopolitik Presiden RI pertama Ir. Sukarno masih sangat relevan dan patut dijadikan tuntunan di masa sekarang. Oleh karenanya pemikiran-pemikiran geopolitik “Bung Besar” itu dibedah lagi dan direkonstruksi oleh Hasto Kristiyanto lewat bukunya, Geopolitik Bung Karno: Progressive Geopolitical Coexistence. Buku yang diracik dari disertasi studi doktoralnya, “Diskursus Pemikiran Geopolitik Soekarno dan Relevansinya terhadap Pertahanan Negara” di Universitas Pertahanan itu merupakan satu dari 58 buku yang diluncurkan dalam rangka HUT ke-58 Lemhannas sebagai kawah candradimuka para pemikir dan calon pemimpin di masa mendatang.
“Ajaran Bung Karno dalam perspektif tata pergaulan internasional menginginkan coexistence, kesejajaran antara negara maju dan negara berkembang. Nah progresifnya apa? Progresifnya kalau kita melihat geopolitik Sukarno dalam memperkuat pertahanan kita, deterrence kita lewat Trikora dan Dwikora. Oleh karena itu Geopolitik Sukarno sekarang juga sudah diajarkan di Lemhannas dan harapannya buku ini bisa jadi referensi apakah dalam sasaran strategis, taktis, atau operasional,” timpal Purnomo Yusgiantoro, wakil gubernur Lemhannas periode 1998-2000 cum menteri pertahanan periode 2009-2014.
Baca juga: Jejak Sains Bung Karno untuk Hadapi Tantangan Zaman
Dalam bukunya, Hasto mengungkapkan bahwa geopolitik Bung Karno sudah jadi dasar untuk memperkuat pengaruh Indonesia sejak 1950-an kala hegemoni Barat dan Timur yang berseteru dalam Perang Dingin masih sangat kental. Bukan hanya itu, lewat pidato bertajuk “To Build the World A New” di sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1960, Bung Karno juga mempromosikan nilai-nilai Pancasila sebagai inspirasi baru bagi negara-negara dunia ketiga di luar kedua blok adidaya.
“Playing field Indonesia adalah dunia, sehingga harus bertindak aktif berdasarkan legimitasi historis yang menunjukkan kuatnya kepemimpinan Indonesia melalui Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, Gerakan Non-Blok (GNB) tahun 1961, Conference of the New Emerging Forces (CONEFO) dan Konferensi Anti-Pangkalan Militer Asing tahun 1965,” tulis Hasto.
Geopolitik Bung Karno itu, lanjut Hasto, masih sangat relevan untuk jadi landasan kebijakan luar negeri Indonesia secara lebih aktif untuk menanggapi haluan dan geopolitik negara-negara maju, terutama di belahan bumi barat yang masih berakar dari teori Lebensraum. Maka, masih sangat penting untuk membedah kembali pemikiran-pemikiran geopolitik Bung Karno lewat buku ini, mulai dari cara pandangnya tentang dunia, peta geopolitik klasik dan kontemporer, hingga implementasi dan pengaruh yang dihasilkan bagi dunia internasional maupun kepentingan dan ketahanan nasional.
Antara Bisikan Tari Perut dan KGB
Membedah kembali pemikiran-pemikiran geopolitik Bung Karno dinilai penting bagi Mega agar bisa jadi pedoman para calon pemimpin di masa mendatang. Terlebih, ia melihat pemikiran-pemikiran itu termarjinalkan sejak Bung Karno dilengserkan. Salah satu gagasan penting itu yakni Pola Pembangunan Semesta dan Berencana (PPSB) tahun 1960.
“Saya keluarin lagi (pemikiran Bung Karno, red.), Pola Pembangunan Semesta dan Berencana. Itu dulu diolah oleh 600 doktor, lho. Terus itu dibuang, enggak dipakai lagi karena bikinannya Bung Karno. Bedah itu! Saya ingat (pemimpin China) Xi Jinping bersurat sama saya. Katanya dia sudah disuruh membuat (rencana pembangunan) 100 tahun Tiongkok ke depan. Yang sebelumnya belum selesai, dia sudah disuruh bikin lagi oleh masyarakat Tiongkok,” sambung Mega.
Baca juga: Tekad Sukarno di Konferensi Asia-Afrika
Ketika menjabat sebahai presiden, Mega sedikit demi sedikit mengimplementasikan pemikiran geopolitik Bung Karno. Selain mengajak negara-negara berkembang maju bersama, pendekatan diplomasi yang cair dan kreatif sangat diperlukan demi kepentingan dan ketahanan nasional.
“Waktu di KTT Non Blok, kan itu juga lagi heboh tentang (krisis) Terusan Suez. Orang-orang bertanya-tanya ketika bapak menemui dan berbisik dengan (Presiden Mesir, Gamal Abdel) Nasser. Apa ternyata? Bapakku sampai tertawa. Katanya (kepada Nasser), ‘eh rombongan tari perutmu kamu bawa, enggak?’ Maksud saya apa? Very intelligent mind. Heran saya deh (sekarang). Harus kreatif,” imbuhnya.
Bagaimana Bung Karno membangun diplomasi yang baik, sedikit-banyak coba diimplementasikan Mega dengan Presiden Vladimir Putin. Dimulai dari saat masih jadi anggota DPR dan melawat ke Rusia sampai Mega akhirnya bisa berdiplomasi agar bisa menambah pesawat tempur Sukhoi Su-27 dan Su-30.
“Makanya saya bilang ke Pak Jokowi, beli dong alutsista yang keren. Saya aja waktu presdien beli Sukhoi. Itu diplomasi (dengan Rusia). Waktu saya masih anggota DPR, pernah diundang ke St. Petersburg. Putin mengenalkan diri dan bertanya apakah saya putri Presiden Sukarno? Ya, saya jawab. Terus pas sudah ngobrol, dia bisik-bisik ke saya, ‘saya KGB (dinas intelijen Rusia, red.).’ Saya bilang, ‘ya saya juga sudah tahu.’ Itu (gaya) diplomasi lho,” lanjut Mega tertawa renyah mengingatnya.
Baca juga: Kiprah Putin di KGB
Tentu diplomasi Mega bikin Amerika Serikat sebagai rival Rusia ketar-ketir. Apalagi mulanya yang dihadapi Mega nyaris mirip seperti yang dialami Sukarno ketika ingin membangun pertahanan dan ketahanan nasional lewat modernisasi alutsista.
“Saya juga sempat diplomasi dengan Presiden (Amerika, George) Bush Jr. Saya datangi karena saya mau beli pesawat. Tapi kenapa kita diembargo? Kalau hutang saya sudah lunas kenapa masih diembargo? Copot dong itu, katanya kita mau bersahabat? Dia ‘meneng wae’ (diam saja). Karena diam, saya pulang saja,” kenangnya lagi.
Dahulu, Bung Karno dibuat jengkel oleh Presiden Dwight Eisenhower. Saat berkunjung ke Gedung Putih, medio Juni 1960, Bung Karno pernah dibuat menanti lama hingga kesabarannya habis. Permintaan untuk pembelian senjata yang sudah dirintis berbagai perwakilan Indonesia sejak pertengahan dekade 1950-an pun ditolak Amerika lantaran takut digunakan untuk menyerang Belanda di Papua. Bung Karno pun berpaling mesra ke Uni Soviet.
“Beberapa tahun yang lalu aku minta pinjaman kepada Amerika Serikat. Bukan pemberian. Aku merasa sebagai seorang keluarga yang lapar menangis tersedu-sedu di muka pintu seorang paman yang kaya, dan perundingan berlarut-larut sampai tiga tahun. Tiongkok menawarkan. Negara-negara lain menawarkan. Tapi masih saja aku menunggu. Yah, uluran tangan yang ditunggu tak pernah datang. Akhirnya kuminta pada Kurschchov pinjaman seratus juta. Hari sangat dingin akan tetapi dia keluar juga dari Kremlin untuk merangkulku di tengah jalan, menyambutku dengan kata-kata yang ramah dan dia sendiri membimbingku masuk,” kata Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Baca juga: Akhir Tragis Alutsista Legendaris
Bung Karno berhasil berdiplomasi dengan Nikita Khruschchev. Kredit ratusan juta dolar yang didapat Bung Karno lalu digunakan membangun pertahanan dengan alutsista-alutsista dari Soviet. Namu sayangnya, semua digembosi saat Orde Baru berkuasa.
“Ini saya bukan sentimen, lho. Tapi Presiden Soeharto itu kenapa men-downgrade semua alutsista kita dari Rusia? Padahal itu keren-keren lho. Terus kalau ada yang menyerang kita, alutsistanya mana? Bingung, enggak? Berarti kan dari sisi geopolitiknya tidak dihitung dengan cermat. Untung aja enggak ada yang gempur kita waktu itu. Padahal dulu kita punya dua skadron bomber Tu-16. Belum lagi kapal penjelajah KRI Irian,” Mega kata menyesali.
Saking visionernya pemikiran geopolitik Bung Karno, ia pun jadi sasaran pihak Nekolim. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 berandil besar dalam pelengseran Bung Besar. Bagi Mega, Bung Karno jadi korban permainan geopolitik asing. Ditengarai sejumlah intelijen Amerika, Inggris, hingga Jerman Barat turut campur.
“Bung Karno yang diangkat jadi presiden seumur hidup dalam TAP MPR (Ketetapan MPRS Nomor III tahun 1963, red.) dibilang bekerjasama dengan PKI. Pertanyaannya, dia presiden seumur hidup terus dibilang mau mengambil tindakan, kekuasaan, logis apa enggak?” Mega bertanya.
Ketika mengingat masa-masa Bung Karno dilengserkan, Mega mulai emosional tapi memilih diam. Toh Bung Karno dikorbankan sudah didengarnya langsung dari sang ayah.
“Bayangkan, bapak saya bilang, ‘saya yang bikin Indonesia merdeka dan dijatuhkan karena kekuasaan. Kamu mau apa?’ Kaget saya. Hati rasanya hancur. “Dia bilang, ‘bapak diam bukan karena enggak punya kuasa tapi bapak tahu ini permainan. Kalau kamu sudah dewasa, cari tahu sendiri.’ Sekarang Lemhannas yang harus cari tahu karena itu perang geopolitik. Amanat saya: jangan lho! Jangan bangsa Indonesia sampai terjadi lagi Peristiwa 1965!” tandasnya.
Baca juga: Detik-detik Terakhir Sukarno