PERANG Kemerdekaan di Tapanuli meninggalkan cerita kelam tentang para pejuang yang saling bertempur satu sama lain. “Porang ni si Bedjo-Malau” begitu kata orang-orang zaman dulu dalam bahasa setempat. Perang saudara antara Mayor Bedjo dan Mayor Liberty Malau ini jadi kenangan pahit bagi masyarakat Tapanuli masa itu.
“Saya pada waktu itu menggambarkan pihak yang bertentangan ini sebagai iblis dan setan. Satupun di antaranya jangan ditemani, karena bagaimanapun suatu ketika kita akan ditelan juga,” kenang Maraden Panggabean dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi.
Perseteruan Bedjo-Malau bermula dari Peristiwa 10 September 1948. Saat itu, Bedjo menerbitkan perintah penangkapan terhadap pejabat tinggi Sub Komandemen Sumatra Timur dan Tapanuli. Mereka yang masuk daftar penangkapan yaitu Mr. Abdul Abbas (komandan Sub Komandemen), Mangaraja Gunung (oditur militer Padang Sidempuan) dan sejumlah perwira TNI dari Brigade XI dan XII: Mayor H. Siagian, Mayor Maraden Panggabean, Mayor Ricardo Siahaan, Letkol Pandapotan Sitompul, Kapten Koima Hasibuan, Kapten Daulay, Letnan Sinta Pohan, Letnan Abdul Rivai Harahap, Letnan Augus Marpaung, Kapten Batu. Pelaksanaan operasi diserahkan kepada Kapten Payung Bangun yang bertindak sebagai kepala Polisi Militer Sub Komandemen.
Baca juga: Mayor Bedjo Kobarkan Api dan Darah di Tapanuli
Bedjo sendiri menjabat kepala seksi operasi Sub Komandemen. Secara organisasi, dia masih bawahan Mr. Abdul Abbas. Namun, seperti disebutkan dalam biografinya, Bedjo mencurigai Mr. Abbas punya kepentingan atas reorganisasi tentara dan laskar di wilayah Sub Komandemen. Kecurigaan Bedjo seperti dalam kebijakan Mr. Abbas yang memasukkan para komandan brigade ke dalam staf Sub Komandemen. Setelah direorganisasi, pasukan di Sumatra Timur dan Tapanuli akan dilebur ke dalam batalion-batalion yang dipimpin oleh perwira lokal. Bedjo menangkap kesan adanya upaya untuk memisahkan komandan brigade dari pasukannya.
“Dalam pada itu, Bedjo, Malau, Saragih Ras, dan Payung Bangun, yang menjadi komandan Brigade B, eks Banteng Negara, dan Brigade A diadakan pertemuan penting di Sipirok yang juga dihadiri oleh Jacub Siregar dan M. Saleh Umar. Keputusan yang diambil ialah: melakukan penangkapan terhadap Komandan Sub Komando Mr. A. Abbas dan tokoh-tokoh sipil dan militer lainnya yang diduga akan bertindak melindungi mereka,” catat Edisaputra dalam Bedjo, Harimau Sumatera dalam Perang Kemerdekaan.
Dalam operasi penangkapan itu terjadi insiden di markas Batalion I di Padang Sidempuan. Komandan Batalion I Brigade XI Kapten Koima Hasibuan terbunuh setelah baku tembak dengan pasukan Payung Bangun. Kapten Koima Hasibuan disebutkan tewas karena berjuang mati-matian mempertahankan markasnya. Sementara itu, menyusul operasi penangkapan, Bedjo memerintahkan untuk melucuti semua persenjataan dari Brigade XI. Dengan demikian, pasukan yang menguasai Tapanuli hanya Brigade A, Brigade B, dan Brigade Banteng Negara. Semua berasal dari kelompok laskar.
Baca juga: Laskar Napindo dari Halilintar hingga Naga Terbang
Kendati sempat mufakat dengan Bedjo, Mayor Liberty Malau termasuk kurang setuju dengan gerakan penangkapan itu. Terlebih lagi setelah berita terbunuhnya Kapten Koima Hasibuan yang menggegerkan Tapanuli. Untuk itu, pasukan Malau mendahului Bedjo untuk melucuti persenjataan Batalion III Brigade XI di Tarutung. Liberty Malau kenal baik dengan komandan Batalion III, yaitu Mayor C. Rajagukguk. Hubungan mereka terjalin erat, baik secara jabatan maupun tali kekerabatan.
Malau menimbang apabila pelucutan senjata dilakukan pihak Bedjo, maka Brigade B semakin kuat di Tapanuli. Keadaan itu tentu dapat mengancam kedudukan Brigade Banteng Negara. Tanpa senjata tambahan saja, Malau menyadari kekuatan Brigade B jauh lebih besar daripada brigadenya. Setelah melobi Mayor C. Rajagukguk, semua senjata Brigade XI yang ditampung dalam Batalion III akhirnya jatuh ke tangan Malau. Tanpa perlawanan, Batalion III dilucuti oleh Brigade Banteng Negara pada pagi buta 18 September 1948. Perlucutan senjata telah selesai begitu pasukan Bedjo tiba di Tarutung.
Bedjo yang kalah cepat melalui Kapten Payung Bangun menyurati Malau agar senjata-senjata itu dikembalikan. Setelah menerima surat itu, Malau sempat menemui Payung Bangun di Sibolga. Malau menyarankan agar senjata dari Brigade XI juga dibagikan kepada pasukannya. Payung Bangun menolak dengan alasan senjata itu perlu dipakai oleh Komando Tapanuli. Kepada Malau, dia menegaskan supaya senjata itu lekas dikembalikan. Desakan itu semula disanggupi Malau. Namun di tengah jalan menuju ke markasnya, Malau mendengar kabar dirinya akan dicegat dan ditangkap.
Baca juga: Perang Saudara di Tapanuli
Meski tidak jadi ditangkap, beberapa hari kemudian, datang lagi surat dari Komando Tapanuli yang meminta Malau mengembalikan senjata dalam waktu sesingkat-singkatnya. Surat peringatan itu diikuti dengan konsentrasi pasukan Brigade B yang bersiap-siap menggempur Brigade Banteng Negara. Kali ini Malau bersikeras untuk tidak menyerahkan senjata kepada Malau. Lagipula senjata-senjata itu sudah dibagikan kepada pasukannya.
“Penyerahan senjata tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh pimpinan Brigade Banteng ini melihat adanya semacam kegiatan dari Brigade B yang ada di Balige dan Siborong-borong, kegiatan mana menimbulkan suatu tanggapan yang kurang enak bagi pasukan Brigade Banteng Negara yang ada di Balige,” demikian ulas Liberty Malau dan H. Mansyur dalam Perang Semesta: Sektor-1 Sub.Terr VII Ko. Sumatra.
Seperti dicatat dalam Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara terbitan Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera, serangan kombinasi Brigade A dan Brigade B memaksa Malau untuk sementara meninggalkan Tarutung. Malau kemudian menggalang kekuatan dan berhasil merebut Sibolga. Dengan demikian, kesatuan-kesatuan di Sibolga --yang terdiri dari sisa-sisa Batalion II Brigade XI dan pasukan ALRI-- juga turut terlibat dalam pertempuran dengan memihak kepada Malau. Tetapi pada gilirannya Bedjo berhasil merebut Sibolga lagi sementara Malau menduduki Tarutung. Kucing-kucingan ini berlangsung terus dengan saling melucuti dan saling mendesak.
Baca juga: Perang Salib Zaman Revolusi
Meski pasukan Bedjo lebih unggul dalam kombatan, pasukan Malau yang mayoritas berasal dari Tapanuli berangsur-angsur lebih diterima oleh masyarakat Tapanuli. Agresivitas pasukan Bedjo dianggap telah menebar kekacauan di Tapanuli. Pasukan Brigade B sekali waktu pernah menyerang ke Tarutung di saat hari pasar poken (pekan) sedang buka yang dipenuhi warga sipil.
“Mengingat rakyat yang sedang ber-poken itu jangan sampai menjadi korban sia-sia maka Brigade Banteng berprinsip meninggalkan Kota Tarutung secara perlahan-lahan. Pertempuran pun dilakukan sekadar untuk memberi kesempatan kepada pasukan-pasukan untuk meninggalkan kota saja, dengan harapan pasukan penyerang akan dipukul kembali,” catat Malau dan Mansyur.
Sementara Bedjo dicap mengobarkan api dan darah di Tapanuli, Malau berhasil membentuk Komando Pertahanan Rakyat yang didukung rakyat sipil. Dalam komando itu, Liberty Malau sebagai komandan, Kapten Oloan Samosir dari eks Brigade XI sebagai kepala staf, serta Kapten Junus Samosir dari Banteng Negara sebagai kepala staf operasi. Kekuatan pasukan Malau kemudian disebarkan dalam tiga front: Sibolga, Pahae, dan front cadangan di Sidikalang.
Baca juga: Junus Samosir, D.I. Panjaitan, dan G30S
Hingga November 1948, Bedjo dan Malau masih bergelut satu sama lain. Panglima Komandemen Sumatra Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardoyo tidak tanggap dan kurang tegas terhadap masalah ini. Pemerintah pusat melalui Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta sampai turun tangan. Jenderal Mayor Suhardjo digantikan oleh Kolonel Hidayat Martaatmadja sebagai panglima Komandemen Sumatra. Sementara itu, Letkol Alex Kawilarang dari Divisi Siliwangi ditugaskan untuk memegang pimpinan komando Sub Teritorium Tapanuli dan Sumatra Timur.
Pada Oktober 1948, Alex Kawilarang tiba di Tarutung. Baik Bedjo maupun Liberty Malau ditemuinya secara terpisah. Setelah mengorek keterangan dari dua komandan yang bertikai ini, Kawilarang mulai mengerti suasana di Tapanuli. Lahirlah kemudian gagasan Kawilarang untuk membentuk sektor-sektor bagi masing-masing pasukan. Malau yang sudah mapan di Tapanuli Utara sudah sewajarnya dibenarkan memegang komando daerah itu. Demikian pula Bedjo di Tapanuli Selatan dan Selamat Ginting di Dairi. Tinggal daerah Tapanuli Tengah yang akan dibagi antara eks Brigade XI dan ALRI.
Alex Kawilarang, menurut K.M.L. Tobing dalam Perjuangan Politik Bangsa Indonesia: Renville, telah berhasil membungkam semua jagoan perang Sumatra Utara. Bedjo, Malau, Ginting, Saragi Ras, dan Payung Bangun tidak berani membantah perintahnya. “Karena jika hal itu terjadi, Alex tidak segan-segan mendatanginya di markasnya dan menghajarnya di depan anak buahnya.”
Baca juga: Panglima Alex Kawilarang dan Letnan Songong