Masuk Daftar
My Getplus

D.I. Pandjaitan Ditawan

Aktivitas barter membuat logistik resimennya moncer. Karena memicu kesenjangan, D.I. Pandjaitan kemudian ditawan.

Oleh: Martin Sitompul | 25 Feb 2025
Kapten D.I. Pandjaitan bersama Kapten Junus Samosir sewaktu sama-sama bertugas di Teritorium I Bukit Barisan pada awal 1950. Sumber: Repro biografi "Keteladanan Mayor Jenderal TNI (Purn.) Junus Samosir dan Landasan Moral Pembangunan" karya Payaman Simanjuntak.

SEBELUM jadi pengusaha nasional yang tajir melintir, Tumpal Dorianus Pardede pernah jadi milisi di masa Perang Kemerdekaan. Mulanya Pardede tergabung dalam Laskar Pesindo kemudian ditarik menjadi staf dalam Resimen I Brigade XI Tapanuli pimpinan Kapten Maraden Panggabean. Karena berlatar belakang pedagang, Letnan I Pardede bertugas mengurusi perbekalan atau logistik. Kerjaannya membawa beras dari Tapanuli ke Pekanbaru. Sepulangnya dari Pekanbaru, Pardede memborong kain dan pakaian selundupan dari Singapura. Aktivitas yang dilakoni Pardede ini cukup sukses dalam mencukupi kebutuhan pejuang dan tentara di Tapanuli.

“Tugas kokanglah,” ujar Pardede seperti dikisahkan Tridah Bangun dalam Dr. T.D. Pardede, Wajah Seorang Pejuang Wiraswasta. Kokang adalah dialek Medan yang artinya dagang barter.

Di Pekanbaru, Pardede diterima oleh Komandan Batalion I Resimen IV Riau Mayor Donald Isaac Pandjaitan. Pardede memimpin iring-iringan enam truk dari Sibolga. Tak hanya beras, rombongan Pardede juga membawa kemenyan. Truk-truknya diberi pangkalangan di halaman Markas Batalion I, sedangkan Pardede menginap di rumah dinas Pandjaitan. Begitu kegiatan barter terus berjalin.

Advertising
Advertising

Baca juga: Filosofi Bisnis T.D. Pardede

Kali lain, Pardede pernah membawa sepucuk meriam pantai lengkap dengan peluru, bahkan dengan seorang instrukstur eks serdadu Jepang. Meriam itu dipasang pada tongkang besi peninggalan Jepang yang ditarik oleh dua kapal motor. Senjata inilah yang digunakan oleh prajurit-prajurit Resimen IV untuk menyerang dan menghalau kapal-kapal Belanda di perairan Selat Bengkalis, Kuala Siak. Setelah berkali-kali berhasil menembak kapal-kapal patroli Belanda, terbukalah dengan aman pelayaran dan penyelundupan dari Kuala Siak ke Singapura.

Kadang-kadang, Pardede yang acap bolak-balik Tapanuli-Pekanbaru, jadi perantara bagi Pandjaitan untuk menitipkan surat atau foto kepada Marieke br. Tambunan yang tinggal di Tarutung, Tapanuli Utara. Marieke kelak menjadi istri Pandjaitan. Setelah melangsungkan pernikahan di Tarutung, Pandjaitan kembali bertugas di Pekanbaru. Oleh Komandan Resimen IV Letkol Hasan Basri, Pandjaitan ditugaskan mengadakan perdagangan candu lewat Sungai Rokan ke Singapura. Hasil penjualan candu itu kemudian dibarter dengan senjata untuk perbekalan Resimen IV.

“Dalam menjalankan tugas itu D.I. Pandjaitan telah berhasil sehingga senjata yang dimiliki pasukan TKR di daerah Riau makin bertambah banyak. Di samping mengadakan hubungan dengan Singapura, D.I. Pandjaitan juga berhasil mempengaruhi orang-orang Cina di daerah Riau untuk masuk tentara dan berjuang bersama-sama dengan pasukan TKR,” catatan Mardanas Safwan dalam biografi Major Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan berdasarkan keterangan dari Hasan Basri.

Baca juga: Cerita Mayor Selamat Ginting Cari Senjata ke Singapura

Menurut Ardhi Subandri dkk. dalam Menumpas Bandar Menyongsong Fajar: Sejarah Penanganan Narkotika di Indonesia, candu yang dikuasai pemerintah RI berasal dari pabrik candu di Salemba, Jakarta. Candu dari Jakarta itu kemudian berhasil diangkut ke Yogyakarta. Sebagian rupanya dibawa oleh Bung Hatta ke Bukittinggi, dan kemudian dipercayakan kepada D.I. Pandjaitan.

Aktivitas barter yang dijalankan Pandjaitan kian intens saat dirinya menjabat sebagai kepala staf Resimen IV. Walhasil, Resimen IV mampu mencukupi kebutuhan logistiknya sendiri. Lewat perdagangan barter, Resimen IV berhasil mendatangkan persenjataan, mesiu, bahkan meriam dari Singapura. Perbekalan Resimen IV yang memadai ternyata menimbulkan kesenjangan dengan struktur komando di atasnya, Divisi IX yang dipimpin Kolonel Ismail Lengah. Permintaan bantuan logistik dari Divisi IX tidak bersedia dipenuhi oleh Hasan Basri.

Pada Agustus 1948, Pandjaitan menerima surat panggilan dari Divisi IX yang ditandatangani Kolonel Ismail Lengah. Isi surat agak ganjil karena tidak menyertakan maksud dan tujuan pemanggilan. Meski sempat dicegah atasannya, Hasan Basri, Pandjaitan tetap berangkat ke markas divisi di Bukittinggi demi memenuhi perintah.

Baca juga: Jenderal Soedirman Menjadi Tawanan

Setibanya di Bukittinggi, Pandjaitan langsung ditahan Polisi Tentara. Penahan itu disusul keputusan Panglima Divisi IX untuk mencopot Pandjaitan dari posisi kepala staf Resimen IV. Dari tahanan, Pandjaitan menyampaikan pesan surat kepada Hasan Basri agar menyusulnya ke Bukittinggi untuk mendapat penjelasan dari staf Divisi IX.

“Beberapa hari kemudian penahanan terhadap suami saya diubah menjadi penahanan dalam kota, bahkan diizinkan menjemput keluarga untuk pindah ke Bukittinggi,” kenang Marieke Pandjaitan br Tambunan dalam D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran.

Menurut Marieke, sasaran utama penahanan adalah Komandan Resimen IV Letkol Hasan Basri, karena tidak menyetujui bantuan logistik dan perlengkapan yang sangat besar kepada Divisi IX. Namun, sasaran pertama ditujukan dulu terhadap kepala staf Resimen IV sebagai percobaan, karena Hasan Basri merupakan tokoh yang sangat berpengaruh di daerah Riau. Dalam pemeriksaan, Pandjaitan didesak agar menyudutkan komandannya disertai tuduhan korupsi namun ditolak tegas olehnya.

Baca juga: Perang Saudara di Tapanuli

Penawanan Pandjaitan baru berakhir setelah Wakil Presiden Mohammad Hatta turut berperan dalam masalah ini. Atas perantaraan Jaksa Agung Muda Jenderal Mayor (Tit.) Mr. Rufinus Lumbantobing, Hasan Basri dipertemukan dengan Bung Hatta di Istana Tamu Agung Bukittinggi. Setelah menelaah persoalan dari semua sudut pandang, Bung Hatta memerintahkan Mr. Rufinus untuk segera membebaskan Pandjaitan. Sementara itu, Kolonel Ismail Lengah dan Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardjojo, panglima Komandemen Sumatra, dipindahkan ke Jawa. Posisi Suhardjo kemudian digantikan oleh Kolonel Hidayat Martaatmadja.

Posisi Pandjaitan sebagai kepala staf Resimen IV kemudian digantikan oleh perwira dari Divisi Siliwangi, Mayor Akil Prawiradiredja. Adapun Pandjaitan ditugaskan menjadi staf panglima Hidayat sebagai Kepala Bagian IV/Logistik Komandemen Teritorium Sumatra. Peristiwa penawanan Pandjaitan berdekatan dengan kelahiran putri keduanya pada 6 September 1948.

“Suami saya memberi nama anak kedua ini dengan sekalian mengabadikan fitnahan yang diterimanya, yang mengakibatkan penahanan atau arrest. Dengan kebenaran yang sudah terbukti, bahwa dirinya tidak bersalah, maka anak kedua kami diberinya nama Masa Arestina,” tutur Marieke.

Baca juga: D.I. Pandjaitan Cari Jodoh di Tengah Perang

Pada dekade 1960-an, Pandjaitan mencapai puncak karier militernya,  Asisten IV/Logistik Menteri Panglima Angkatan Darat. Jabatan perwira logistik kembali diembannya setelah melewati berbagai penugasan, termasuk menjadi atase militer dan terlibat dalam misi intelijen di Jerman. Sementara itu, Letnan T.D. Pardede jauh lebih sukses lagi. Pardede lebih dikenal sebagai konglomerat dan pengusaha sukses hingga dekade 1990-an. Dia sempat diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Berdikari pertama dan satu-satunya.

TAG

di-pandjaitan td pardede tapanuli perang kemederdekaan

ARTIKEL TERKAIT

Gara-gara Laskar Berulah, Bung Hatta Marah Mayor Bedjo dan Mayor Liberty Malau Gelut di Tapanuli Dolok Martimbang, Pesawat Kepresidenan Indonesia Pertama Junus Samosir, D.I. Panjaitan, dan G30S Mayor Bedjo Kobarkan Api dan Darah di Tapanuli Perang Saudara di Tapanuli D.I. Pandjaitan Cari Jodoh di Tengah Perang Pagi Mencekam di Kediaman D.I. Pandjaitan Jenderal Yani dan Para Asistennya Pejuang Parapat Ingin Culik Bung Karno Secara Terhormat