Masuk Daftar
My Getplus

Perang Saudara di Tapanuli

Di tengah perjuangan menghadapi Belanda, antar kelompok pejuang mesti saling bentrok gegara berebut senjata. Tersulut isu suku dan agama.

Oleh: Martin Sitompul | 10 Sep 2023
Sebagian dari tahanan Peristiwa 10 September 1948 yang dipindahkan ke Sawahlunto, Sumatra Barat. Sumber: Repro otobiografi Maraden Panggabean "Berjuang dan Mengabdi".

Sepasukan tidak dikenal menyerang markas Batalion I TNI dari Brigade XI di Padang Sidempuan. Dalam penyergapan itu, pasukan Batalion I dilucuti. Komandan Batalion I Kapten Koima Hasibuan bersama ajudannya tewas terbunuh.

“Sebuah ‘revolusi sosial’ telah pecah di Tapanuli akhir-akhir ini. Laskar rakyat memberontak melawan TNI dan pemerintah Republik pada tanggal 10 September,” demikian diberitakan koran berbahasa Belanda, Het Nieuwsblad voor Sumatra, 17 September 1948.

Aksi penyergapan itu diikuti dengan penangkapan sejumlah petinggi Republik setempat. Baik tokoh sipil maupun militer yang berjumlah total 39 orang diangkut ke truk untuk dibawa ke tempat penahanan. Mereka adalah Kolonel (Tituler) Mr. Abdul Abbas, Dr. Gindo Siregar, Dr. Luhut Lumbantobing, Kolonel Pandapotan Sitompul, Letkol Maraden Panggabean, Letkol Ricardo Siahaan, Mayor C. Rajagukguk, Kapten Daulay, Letnan P. Hasibuan, Letnan August Marpaung, Letnan Sinta Pohan, Kapten M. Sinurat, Letnan Rivai Harahap, dan lain-lain.

Advertising
Advertising

Baca juga: Penyergapan Tentara Belanda di Tanah Karo

Het Nieuwsblad voor Sumatra menyebut Kapten Payung Bangun bertanggung jawab atas peristiwa berdarah 10 September 1948 itu. Payung Bangun merupakan komandan Polisi Militer yang tergabung dalam Brigade A pimpinan Mayor Saragih Ras. Maraden Panggabean, salah satu perwira militer yang ditangkap, menyebut Saragih Ras sebagai pimpinan kelompok laskar Barisan Harimau Liar (BHL). Setelah keluar Dekrit Presiden 5 Mei 1947 tentang penggabungan TRI dan Laskar ke dalam TNI, pasukan Saragih Ras dan Payung Bangun masuk ke dalam Brigade A.   

“Pasukan ini menonjol karena kekejamannya sewaktu Revolusi Sosial dan terhadap para pengungsi yang datang dari Sumatera Timur ke Tapanuli. Konsentrasi Brigade A adalah sekitar Padang Sidempuan (Tapanuli Tengah),” ungkap Maraden dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi.

Maraden mengenang, selama penahanan, dirinya dan kawan-kawan senasib diperlakukan seperti orang kriminal. Mereka mula-mula dibawa ke Kampung Sipogi, sekira 25 kilometer dari Sipirok. Setibanya di bekas sekolah Gereja Advent, para tahanan mendekam di selnya masing-masing. Penahanan itu memberikan pengalaman yang menyakitkan badan maupun perasaan.

Baca juga: Panggabean Dua Kali Kerampokan Saat Perang Kemerdekaan

Para penjaga mengambil apa saja barang berharga milik tahanan yang bisa digasak. Mulai dari pulpen, jam tangan, sampai gigi emas. Maraden sampai harus mencopot cincin pertunangannya dan menyembunyikan dalam lipatan pinggang celananya. Sekali waktu Mayor Saragih Ras menginspeksi para tahanan. Semuanya dikumpulkan dan disuruh berbaris untuk kemudian memberi hormat kepada Saragih Ras.  

“Dadu masih berputar, tikar belum digulung. Tadinya kamu sekalian menentukan sesuatu, makanya negara kocar-kacir. Tetapi sekarang, kiu sudah di tangan kami, kami yang akan menentukan termasuk nasib kamu sekalian,” kata Saragih Ras. Kiu adalah tongkat penyodok dalam permainan bola sodok.   

Penahanan di Sipogu berlangsung selama sebulan. Kapten Payung Bangun dianggap menyalahi aturan sehingga ditindak oleh pasukan Brigade B pimpinan Mayor Bedjo. Para tawanan akhirnya dibawa ke Bukittinggi. Mereka kemudian diserahkan kepada panglima Komandemen Sumatra.  

Baca juga: Dibajak Barisan Harimau Liar

Menurut Maraden, penghancuran Batalion I adalah rentetan dari rencana suatu kup yang jahat untuk berkuasa di tingkat daerah. Sementara itu, buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatra Utara terbitan Kementerian Penerangan menyebutkan ketegangan di Tapanuli tak lepas dari kebijakan Mr. Abbas selaku gubernur militer Tapanuli. Saat itu unsur militer di Tapanuli terdiri dari lima brigade. Brigade XI, dipimpin Kolonel Pandapotan Sitompul; Brigade XII, dipimpin Letkol Ricardo Siahaan; Brigade A, dipimpin Mayor Saragih Ras; Brigade B, dipimpin Mayor Bedjo; dan Brigade eks Banteng Negara, dipimpin Mayor Liberty Malau.

Dalam rangka kebijakan reorganisasi, kelima brigade tersebut ditata kembali. Brigade XI dan XII bersedia direorganisasi. Brigade XI yang memang berasal dari Tapanuli lebih dulu diresmikan. Menurut standar militer, Brigade XI lebih mumpuni ketimbang pasukan lain yang belum diresmikan.

Sementara itu, oleh Mr. Abbas, para komandan brigade dari unsur laskar ditarik ke dalam susunan stafnya. Mayor Bedjo, misalnya, diangkat sebagai kepala staf operasi. Begitupun dengan Mayor Saragih Ras. Dengan kata lain, para komandan ini dijauhkan dari pasukannya. Sementara itu, batalion-batalion yang tergabung dalam Brigade eks Banteng Negara belum juga diresmikan.

Baca juga: Kapten Matheus Sihombing, Jago Revolusi dari Tapanuli

“Mr. Abbas mengatur siasat untuk melucuti Brigade B, akan tetapi siasat ini tidak dapat dijalankan. Sebaliknya Brigade B bersatu dengan Brigade A dan bersatu dengan Brigade eks Banteng Negara yang menimbulkan Peristiwa 10 September di Tapanuli,” tulis Kementerian Penerangan. 

Setelah kekuatan Brigade XI dan Brigade XII dilucuti, praktis Tapanuli dikuasai Brigade A, Brigade B, dan Brigade eks Banteng Negara. Namun, di kemudian hari, masing-masing komandan yang semula bermufakat itu justru saling bertikai satu sama lain. Ketegangan berawal dari pelucutan terhadap Batalion III Brigade XI pimpinan Mayor C. Rajagukguk yang berkedudukan di Tarutung oleh pasukan Brigade eks Banteng Negara.

Persenjataan Batalion III terbilang memadai karena berasal dari hasil kebijakan reorganisasi yang telah dijalankan Mr. Abbas. Liberty Malau tidak berniat membagikan senjata lucutan tersebut kepada Bedjo. Bedjo pun mengerahkan pasukannya untuk menggempur kelompok Malau.   

Baca juga: Perang Salib Zaman Revolusi

Bentrokan bersenjata terjadi melibatkan Brigade B dan Brigade A kontra Brigade eks Banteng Negara bersama ALRI, dan sisa-sisa dari Brigade XI dan XII. Dari saling serang kecil-kecilan, pertempuran antar-kelompok pejuang ini kian meluas menggegerkan Tapanuli. Perang saudara jadi terus berlanjut lantaran tersulut provokasi isu suku dan agama. Rakyat Tapanuli menyebut kegaduhan ini sebagai “Porang ni si Bedjo-Malau” (Perang antara Bedjo dan Malau”). Perseteruan Bedjo dan Malau berlangsung hingga akhir tahun 1948.

TAG

revolusi-sumatra utara tapanuli laskar sumatra maraden panggabean batak

ARTIKEL TERKAIT

Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Gara-gara Laskar Berulah, Bung Hatta Marah Mayor Bedjo dan Mayor Liberty Malau Gelut di Tapanuli Miskinnya Sisingamangaraja XII Dolok Martimbang, Pesawat Kepresidenan Indonesia Pertama Johny Pardede dari Sepakbola hingga Agama Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Berdebat dengan TB Simatupang Sebelum Sersan Pongoh ke Petamburan Kolonel Junus Jamosir Digunjing Setelah G30S