Sebagaimana wilayah-wilayah lain di ibukota, wilayah Petamburan di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta juga dilanda panas terik hampir saban hari sejak beberapa bulan ke belakang. Banyak orang terlihat berteduh sembari minum atau makan di taman yang terletak di pojok yang mempertemukan Jalan KS Tubun dan Jalan S. Parman. Ibarat oasis, taman itu menjadi segelintir tempat berteduh yang ada di Petamburan.
Satu ruang terbuka teduh lain di Petamburan adalah TPU Petamburan. Namun, dengan pos penjagaan yang mirip benteng, tak setiap orang bisa masuk dan berteduh di sana.
Di TPU itulah Sersan Pongoh beristirahat abadi alias dimakamkan. Sersan Pongoh merupakan serdadu Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) yang mendapat banyak bintang jasa. Dia terlibat dalam banyak operasi militer.
Sersan Jesajas Pongoh lahir di Air Madidi, selatan Manado, Sulawesi Utara pada 7 Mei 1878. Menurut catatan Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië tanggal 6 Oktober 1934, dia telah menjadi serdadu KNIL sejak 10 Februari 1897. Pongoh memulai kariernya dari pangkat bawah. Antara 1898-1904, ia ikut serta dalam operasi militer di Aceh sebagai anggota Korps Marsose Jalan Kaki, sebuah pasukan khusus anti-gerilya KNIL.
Pada 1902, Marsose Pongoh terlibat pertempuran melawan Krueng Talo di Sumegang Meulaboh, Aceh. Karenanya dia memperoleh Ridder Militaire Willemsorde kelas 4 berdasar Koninklijk Besluit 30 September 1903 nomor 56. Dia terlibat pula dalam ekspedisi Gayo Alas yang penuh darah. Dalam operasi di tahun 1904 itu, dia berada di bawah komando Letnan Kolonel van Daalen. Saat merebut benteng Bukit Gemujaang tanggal 18 Maret 1904, ia terluka karena tembakan pada lengan kanan bagian atas.
Setelah itu, Pongoh bertugas di Sulawesi Selatan (12 Juli 1905-1 Agustus 1906) di kala raja-raja Sulawesi Selatan bersatu melawan Belanda. Pangkatnya sudah Prajurit Infanteri kelas satu. Kiprahnya dalam operasi ini dianggap menonjol. Karenanya berdasar Koninklijk Besluit 28 Maret 1907 nomor 96, ia dianugerahi Ridder Militaire Willemsorde kelas 3. Meski sudah dapat bintang, Pongoh masih ikut bertempur dan bahkan juga mendapat luka. Saat merebut benteng batu Timongai (Tomorie, Sulawesi) pada 16 Agustus 1907, perutnya terluka.
Di tengah operasi itu, pangkatnya naik menjadi kopral dan tak lama kemudian naik lagi. Menurut De Avondpost tanggal 26 Oktober 1934, pangkat Ponngoh naik dari kopral naik menjadi sersan kelas dua pada 1906.
Waktu Sisingamaradja XII masih berperang dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, KNIL mengerahkan satu pasukan multietnis yang dipimpin Kapten Hans Christoffel untuk melumpuhkannya. Pongoh tergabung di dalamnya.
“Dalam pasukan infanteri yang dikirim ke Aceh dan kemudian Tanah Batak untuk menghadapi Sisingamaradja banyak terdapat orang-orang pribumi, yang kebanyakan berasal dari Jawa, Manado, Ambon, dari Pulau Kei, Sangir dan lainnya,” catat Augustin Sibarani dalam Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII.
Sersan Pongoh menjadi yang paling terkenal di antara orang-orang di dalam pasukan itu. Sebab, dia telah dapat banyak bintang. Pongoh kembali berkontribusi penting dalam operasi tersebut lantaran dia termasuk yang berjasa dalam melumpuhkan Sisingamangaraja XII pada pertengahan 1907 di sekitar Dairi.
Usai mengikuti operasi militer di tanah Batak, Sersan Pongoh bertugas di Betawi. Pada 1921 pangkatnya baru naik lagi, menjadi sersan kelas satu KNIL. Dia bertugas di KNIL hingga pensiun di tahun 1932.
Ketika pensiun di Betawi, seperti disebut Deli Courant tanggal 15 Oktober 1934, dia pernah tinggal di Tanah Rendah, yang masih berada di daerah pinggiran kota. Di depan rumahnya terdapat foto para jenderal yang pernah menjadi atasannya selama di KNIL.
Pada Rabu, 11 Oktober 1934, sekitar pukul 04.00 pagi, Sersan Pongoh tutup usia di rumahsakit militer Betawi—kini menjadi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Keesokan harinya dia dimakamkan dengan kebesaran upacara militer KNIL. Makamnya berada di Petamburan, Jakarta.