Dalam perang kemerdekaan, pejuang Indonesia butuh senjata untuk menghadapi tentara Belanda. Ke mana saja senjata dicari. Di Sumatra Utara, senjata-senjata eks serdadu Jepang yang dibuang ke laut diburu oleh kelompok pejuang, baik laskar maupun tentara Republik. Mereka rela menyelam sampai dasar laut, kemudian merakit kembali senjata yang telah berkarat.
Mayor Bedjo, komandan TNI Stoottroep Brigade B, mengerahkan banyak anggota pasukannya mencari senjata ke laut. “Mayor Bedjo banyak memperoleh senjata dari hasil memancingnya di Laut Belawan. Senjata itu terdiri dari senjata-senjata yang sengaja dibuang Jepang. Senjata Jepang yang bakal diserahkan kepada Sekutu,” ungkap Edisaputra, penulis biografi Bedjo dalam Bedjo: Harimau Sumatra dalam Perang Kemerdekaan.
Selain di laut, ada pula komandan yang mencari senjata sampai ke luar negeri, seperti Mayor Selamat Ginting. Tapi, masuk ke negara orang butuh paspor. Dalam suasana perjuangan, boro-boro paspor, bisa sampai ke negara yang dituju tanpa kena endus intel Belanda saja sudah bagus.
Baca juga: Mayor Bedjo Kobarkan Api dan Darah di Tapanuli
Mayor Selamat Ginting merupakan komandan TNI Brigade Mobil. Anggotanya berasal dari laskar Napindo Resimen Halilintar yang berbasis di Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Pasukan Selamat Ginting berkekuatan 3 batalion, 1 kompi kavaleri pasukan berkuda, dan kompi bantuan artileri. Untuk membekali pasukannya yang besar itu, Selamat Ginting berusaha mendatangkan pasokan senjata dari luar negeri.
Pertengahan April 1948, Selamat Ginting berangkat ke Bukittinggi, markas Komandemen Sumatra, meminta persetujuan panglima komandemen Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardojo. Pada dasarnya, Panglima Suhardjo mengizinkan rencana Selamat Ginting. Tapi, berhubung kas negara sedang cekak, maka markas komandemen tidak memberikan dana. Dengan demikian, biaya perjalanan dan dana membeli senjata ditanggung sendiri oleh Selamat Ginting.
Di Bukittinggi, Selamat Ginting bertemu orang Cina bernama Lim Kiat. Orang inilah yang menjadi penujuk jalan sekaligus penghubung dengan sindikat penjual senjata di Singapura. Polisi setempat kemudian memberikan surat jalan bagi Selamat Ginting. Itupun dengan nama samaran: Machmud bin Atong. Penyamaran ini bertujuan agar identitas Selamat Ginting tidak terendus Belanda. Dimulailah petualangan Machmud bin Atong alias Selamat Ginting ke Singapura.
Baca juga: Insiden Hartini di Singapura
Tidak seperti sekarang, perjalanan ke Singapura kala itu memakan waktu lebih lama. Dari Bukittinggi, Selamat Ginting bersama Lim Kiat menuju ke Riau. Mereka melalui medan yang terjal, seperti jalan-jalan rusak sampai jembatan putus hingga tibalah di tepi Sungai Siak. Dari Sungai Siak naik kapal tongkang singgah ke Bagan Siapi-api baru kemudian ke Singapura.
Setibanya di pelabuhan Singapura, petugas imigrasi memeriksa surat-surat Selamat Ginting. Ketika surat jalan diperiksa, nama yang tertera kurang begitu jelas. Petugas imigrasi menanyakan langsung kepada Selamat Ginting, “Mahmud bin apa?”
Entah karena gugup lantaran baru kali pertama ke luar negeri, atau kurang dengar, Selamat Ginting salah tangkap maksud petugas imigrasi Singapura. Dia kira, petugas imigrasi mengatakan “Machmud binatang?”. Sontak saja Selamat Ginting merasa terhina. Mayor TNI yang punya anak buah sebanyak tiga batalion itu naik pitam dirinya dikata binatang. Hampir saja petugas imigrasi itu dijotosnya namun keburu dilerai Lim Kiat.
Baca juga: Lencana Merah Putih Dilucuti, Pejuang Medan Pasang Badan
Menurut pengakuan Selamat Ginting, seperti dituturkannya kepada penulis biografi Tridah Bangun dan Hendri Chairudin dalam Kilap Sumagan: Biografi Selamat Ginting: Salah Seorang Penggerak Revolusi Kemerdekaan di Sumatra Utara, begitulah rupanya kalau dasar orang kampungan seperti dirinya pada waktu itu. Setelah tertahan sebentar oleh petugas imigrasi, Selamat Ginting baru bisa masuk Singapura. Namun, setelah beberapa hari di sana, dia gagal mendapat senjata yang diperlukan. Di Singapura, Selamat Ginting banyak menghabiskan waktu jalan-jalan dan berkenalan dengan pedagang Cina yang kemudian jadi toke berpengaruh di Indonesia setelah perang. Senjata baru diperolehnya setelah mencari sampai ke Penang, Malaya. Demikianlah kisah Machmud bin Atong alias Mayor Selamat Ginting yang sempat bikin geger di pelabuhan Singapura di zaman revolusi fisik.