CINTA. Itulah yang membuat Sukarno rela menduakan Fatmawati –istri yang telah memberinya lima putra dan putri– dan berpaling ke Hartini. Apa yang ada di benak Bung Besar?
“Aku bertemu dengan Hartini. Aku jatuh cinta kepadanya,” kata Sukarno kepada penulis otobiografinya Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. “Dan percintaan kami begitu romantis, sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal itu.”
Menggantikan Fatmawati dari hati Sukarno tak serta merta menjadikan Hartini sebagai Ibu Negara. Predikat itu tetap melekat pada Fatmawati sekalipun dirinya memilih minggat dari Istana. Ketetapan demikian memang telah menjadi janji Sukarno terhadap anak-anaknya. Bahwa tak akan ada permaisuri di Istana Negara selain ibu kandung mereka.
Baca juga: Pramugari ini berani menolak cinta Sukarno
Agar terlihat adil, Fatmawati tetap bermukim di Jakarta sementara Hartini menempati salah satu paviliun di Istana Bogor. Saban Jumat siang hingga Senin pagi menjadi kunjungan rutin Sukarno menemui Hartini. Dan bila bermuhibah ke luar negeri, Sukarno akan pergi sendirian tanpa istri yang mendampingi. Tapi solusi itu serasa belum cukup di mata sebagian kalangan. Kisah kasih Sukarno dan Hartini kerap menuai gunjingan.
Bersua Sang Srihana
Hartini lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 20 September 1924. Dia besar di Bandung lantaran ayahnya pegawai kehutanan yang kerja berpindah tempat. Sebelum bertemu Sukarno, Hartini bersuamikan Soewondo, seorang pegawai perusahaan minyak dan menetap di Salatiga, Jawa Tengah. Pernikahan pertama Hartini menghasilkan lima orang buah hati.
Kisah asmara dengan Sukarno terjadi pada 1952 di Prambanan, Yogyakarta saat peresmian teater terbuka Ramayana. Hartini berumur 28 sedangkan Bung Karno 51 tahun. Lewat perantara, Sukarno mengirimkan sepucuk surat cinta dengan nama samaran: Srihana. “Ketika aku melihatmu untuk pertama kali, hatiku bergetar,” demikian kata Srihana alias Sukarno yang terpesona kecantikan Hartini.
Baca juga: Hartini dijadikan perantara politik untuk mendekati Sukarno
Hartini sebagaimana disebut wartawan kawakan Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: Petite Histoire Indonesia Jilid 5 adalah kenalan Panglima Divisi Diponegoro Kolonel Gatot Subroto. Gatotlah yang memperkenalkan Hartini kepada Sukarno. Sementara menurut sejarawan Monash University John David Legge, hubungan Hartini dan Sukarno terjalin lewat jasa baik Kepala Staf Istana Mayor Jenderal Soehardjo Hardjowardjojo. Soehardjo berperan dalam mengatur pertemuan mereka.
“Hartini tinggal di Salatiga dan sering terbang ke Semarang, ke Jakarta untuk bertemu dengan Sukarno,” tulis Legge dalam Sukarno: Biografi Politik. Setelah berbina kasih, Sukarno memutuskan menikahi Hartini. Hari perkawinan berbahagia itu berlangsung sederhana dan tertutup di Istana Cipanas, 7 Juli 1953. Kendati demikian, hubungan ini menjadi desas-desus yang menjalar ke luar.
Gunjing dan Sanjung
Kecaman datang dari aktivis perempuan. Organisasi Persatuan Istri Tentara (Persit), Kongres Wanita Indonesia (Kowani), dan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), berujuk rasa menolak poligami Sukarno. Mereka menganggap poligami merendahkan martabat perempuan. Perwari bahkan mendukung penuh keputusan Fatmawati keluar dari Istana Negara.
Cap miring dan perlakuan kurang nyaman diterima Hartini. Nani Suwondo, aktivis Perwari kepada Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan mengatakan Hartini tak lebih dari seorang perempuan panggilan kelas atas ketika itu. Beberapa oknum anggota Gerakan Wanita (Gerwani) ikut protes; demonstrasi di depan rumah Hartini di Salatiga dan melempari jendela rumahnya.
Beberapa surat kabar terbitan ibukota ikut mengkritik pernikahan Sukarno-Hartini. Harian Indonesia Raya dengan pemimpin redaksi Mochtar Lubis dan harian Pedoman pimpinan Rosihan Anwar melancarkan kampanye anti-pernikahan Sukarno dengan Hartini.
“Bung Karno marah kepada Fatmawati, jengkel kepada Kowani, sakit hati kepada kedua pemimpin redaksi yang dianggapnya telah mencampuri urusan pribadinya dan telah mengecilkan posisi presiden/kepala negara,” tulis Rosihan Anwar.
Baca juga: Gara-gara menikah dengan Hartini, Sukarno konflik dengan AH Nasution
Sukarno pun tak luput dari gunjingan. Kecenderungan seksualnya banyak diperbincangkan. Hubungannya dengan Hartini dikaitkan dengan gairah yang menggebu. “Perkiraan seperti ini sangat diragukan,” tulis Legge. “Sesungguhnya, dalam hal ini Sukarno telah jatuh cinta –menuntut rasa kasih yang biasa saja, dalam gaya model lama.”
Menurut Legge Hartini adalah wanita yang cerdas, berpengalaman, dan tahu lebih luas tentang dunia ketimbang Fatmawati. Perhatian Sukarno kepadanya bukanlah perhatian yang sekilas. Dari Hartini, Sukarno memperoleh dua putra: Taufan dan Bayu.
Akan tetapi, Hartini juga bukanlah yang terakhir dalam kidung asmara Sukarno. Masih ada wanita-wanita lain yang diperistri Sukarno di kemudian hari. Mereka antara lain: Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi, Kartini Manoppo, Haryatie, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar.
Baca juga: Kisah cinta Sukarno dan dua gadis Jepang: Naoko Nemoto dan Sakiko Kanasue
“Hanya satu kelemahannya yakni soal perempuan,” kata Hartini sebagaimana dikutip Saskia Wieringa. “Beberapa orang hanya mengurus uang, tetapi Bapak hanya peduli dengan perempuan.”
Dari sekian banyak istri, hanya Hartini yang mendampingi Sukarno di masa-masa keruntuhan. Dalam memoarnya, Rachmawati, putri ketiga Bung Karno dari Fatmawati, mengenang Hartini dengan tekun dan setia melayani Sukarno sampai detik terakhir kehidupan sang Putra Fajar. Kebencian yang sempat terpupuk sirna di hati Rachmawati, berganti hormat dan sayang.
“Ia setia kepada Bapakku baik dalam masa jaya sehingga pada masa kejatuhannya,” kenang Rachmawati dalam Bapakku Ibuku: Dua Manusia yang Kucinta dan Kukagumi. “Betapapun yang pernah kurasakan terhadapnya di masa-masa lalu, faktanya adalah Bu Har menemani Bapak sehingga akhir hayat.”
Baca juga: Rahasia percintaan Sukarno dengan aktris Filipina