TANPA boikot dari banyak petinggi teras Angkatan Darat pun, perban putih di bagian ujung kanan tangan Kolonel Bambang Utoyo yang tampak dalam upacara pelantikannya sebagai orang nomor satu di Angkatan Darat (KSAD) sudah menimbulkan kepiluan. Di dalam balutan perban putih itu, tersembunyi bekas luka sisa operasi amputasi di masa gerilya. Apalagi bila ditambah dengan suasana ganjil akibat boikot sejumlah petinggi teras Angkatan Darat, “penderitaan” yang dialami Bambang Utoyo kian bertambah.
Namun, alih-alih murung apalagi sedih, Bambang Utoyo justru merasa seperti tak pernah ada masalah pada pelantikannya. Dia sudah menduga sejak sebelum acara.
“Keadaaan ini saya terima dengan ketawa saja,” ucap Bambang Utoyo atas suasana pelantikan dirinya, dikutip Harian Pemandangan, 28 Juni 1955. “Tadinya saya menyangka tidak ada perwira-perwira Angkatan Darat yang akan hadir, tetapi ternyata ada beberapa yang hadir. Ini adalah suatu ujian yang harus saya terima dengan ketawa.”
Baca juga:
Bertempat di aula Istana Negara, Bambang Utoyo dilantik sebagai KSAD pada 27 Juni 1955. Sebelum menjadi KSAD. Bambang Utoyo menjabat sebagai panglima Teritorium II/Sriwijaya. Pria kelahiran Dagan, Tuban, Jawa Timur pada 20 Agustus 1920 ini, menurut Sejarah TNI-AD 1945—1973 Jilid XIII: Riwayat Hidup Singkat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, setelah menyelesaikan MULO B di Palembang bekerja sebagai klerk analis di perusahaan tambang minyak BPM Plaju hingga pendudukan Jepang.
Pada 1943, Bambang Utoyo mendaftar masuk tentara sukarela Giyugun di Sumatra Selatan. Ia kemudian menjadi perwira Giyugun dengan pangkat sjoi (setara letnan dua).
Setelah proklamasi kemerdekaan, Bambang Utoyo turut berjuang untuk Republik dalam Perang Kemerdekaan. Mulai dari kepala pelatih Badan Keamanan Rakyat (BKR) kemudian komandan Resimen I Divisi II Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada 1946, Bambang Utoyo diangkat menjadi kolonel dengan jabatan komandan Divisi II di Palembang. Dalam Pertempuran Lima Hari Lima Malam pada Januari 1947, Bambang Utoyo ikut memimpin pasukan yang berhasil menembus pertahanan Belanda di Palembang.
Baca juga: Sehimpun Riwayat Giyugun
Menjelang Agresi Militer Belanda pertama pada pertengahan 1947, Bambang Utoyo mengalami kecelakaan fatal. Diawali dari granat yang diterima Bambang Utoyo ketika berada di daerah Kayu Agung, antara Palembang dan Jambi. Saat Bambang Utoyo menggenggam granat itu di tangannya untuk dicoba, tiba-tiba saja saja granat itu meledak. Granat meletus ketika masih berada dalam genggaman tangannya. Ledakan granat itu menyebabkan tangan kanan Bambang Utoyo hancur dan terpaksa harus diamputasi. Sekujur badannya juga dipenuhi luka.
“Salah satu di antara pecahan granat itu baru dapat dikeluarkan pada tahun 1953 dengan cara pembedahan; jadi setelah enam tahun pecahan yang hampir menyentuh nadi lehernya itu mengeram di badannya,” catat Dinas Sejarah TNI-AD dalam Sejarah TNI-AD Jilid XIII.
Toh, saat kejadian Bambang Utoya tak sampai kehilangan nyawa. Tubuhnya yang penuh luka langsung mendapat penanganan medis darurat. Ibnu Sutowo adalah dokter perwira medis yang mengamputasi tangan Bambang Utoyo. Dalam otobiografinya, Ibnu mengisahkan proses operasi Bambang Utoyo dilakukan secara darurat tanpa memakai obat bius.
Baca juga: Operasi Darurat Dokter Ibnu Sutowo
“Saya berusaha mengoperasi sebaik mungkin, sesuai ketentuan-ketentuan medis. Tetapi entah bagi Pak Bambang, saya tidak dapat membayangkan penderitaan yang dialaminya,” kenang Ibnu Sutowo dalam Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita.
Ibnu Sutowo mengakui betapa Bambang Utoyo memiliki jiwa yang sangat kuat. Beberapa hari pasca-pemulihan, Bambang Utoyo mulai belajar menulis dengan tangan kirinya. Dengan kondisi fisik yang tidak sempurna itu, Bambang Utoyo kembali ke dinas ketentaraan.
Mengurusi Korps Cacat Veteran
Usai menduduk jabatan KSAD yang berumur pendek, hanya dua bulan, Bambang Utoyo mengajukan surat permohonan berhenti dari KSAD sekaligus dibebaskan dari dinas ketentaraan. Terhitung 15 Agustus 1955, Bambang Utoyo dinyatakan diberhentikan dengan hormat dari dinas ketentaraan. Namun, baru bulan Oktober KSAD ke-4 itu resmi purnawirawan. Posisi KSAD selanjutnya digenggam oleh Abdul Haris Nasution, yang tiga tahun lamanya non-aktif karena perannya dalam Peristiwa 17 Oktober 1952.
Bambang Utoyo sendiri menikmati masa pensiunnya. Setelah pensiun, Bambang Utoyo lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk mengurusi Korps Cacat Veteran RI. Pada 1956, Bambang Utoyo menjadi utusan Veteran/Cacat Veteran Republik Indonesia dalam Kongres World Veteran Federation (WVF) di Brussel, Belgia.
Baca juga:
Meski telah meninggalkan dinas militer, nama Bambang Utoyo tetap dihormati di kalangan Angkatan Darat. Pada 1965, atas persetujuan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani, Bambang Utoyo berkujung ke Bonn, Jerman Barat untuk pengobatan tangan kanannya.
Kendati fisiknya semakin menurun, memasuki paruh kedua 1960, Bambang Utoyo menjadi anggota MPRS. Pada 1970, Bambang Utoyo berobat ke Essen, Jerman untuk operasi mata akibat penyakit gula yang dideritanya semenjak memimpin gerilya melawan Belanda pada 1948. Menjelang akhir hayatnya, Bambang Utoyo sempat diangkat Presiden Soeharto menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dua tahun kemudian, tepatnya pada 4 Juli 1980, Bambang Utoyo wafat dalam perawatan di Bonn. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Pada 1997, pemerintah menganugerahi kenaikan pangkat kehormatan setingkat bagi para mantan KSAD. Mereka yakni Letnan Jenderal GPH Djatikusumo, Bambang Sugeng, dan Bambang Utoyo. Dengan demikian, nama Bambang Utoyo berhak menyandang gelar jenderal, menjadi Jenderal (Anumerta) Bambang Utoyo.*
Baca juga:
Penyandang Jenderal Kehormatan, dari Sri Sultan hingga Prabowo Subianto