Masuk Daftar
My Getplus

D.I. Pandjaitan dan Aktivis Mahasiswa Indonesia di Jerman

Ketika atase militer menggalang kelompok mahasiswa. Mulai dari pembinaan politik hingga menjalankan operasi intelijen.

Oleh: Martin Sitompul | 01 Nov 2023
Donald Isaac Pandjaitan, atase militer Indonesia di Bonn, Jerman (1956--1962). Kelak, Pandjaitan menjadi pahlawan revolusi menyandang pangkat mayor jenderal anumerta.

Rumah dinas Kolonel Donald Isaac Pandjaitan sekali waktu kedatangan tamu seorang anak muda. Namanya Rudy, mahasiswa teknik penerbangan Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule Aachen yang berasal dari asal Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Rudy mengutarakan gagasan tentang perlunya Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) mengadakan Seminar Pembangunan. Pandjaitan menyambut baik gagasan tersebut. PPI Jerman Barat akhirnya menyelenggarakan Seminar Pembangunan pada Juli 1958, di Hamburg.

“Pendekatan beliau (Pandjaitan) kepada mahasiswa begitu berkesan, sehingga nasihat dan pembinaannya mempengaruhi karakter dan sikap para pemuda dan mahasiswa Indonesia yang dekat dengan beliau,” kenang Rudy dalam pengantar biografi D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran yang ditulis Marieke Pandjaitan br. Tambunan.

Rudy yang bernama lengkap Bacharuddin Jusuf Habibie itu kelak menjadi Menteri Riset dan Teknologi (1978-1998) kemudian Presiden RI ke-3 (1998—1999). Menurutnya, masalah pembangunan masa depan Indonesia bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, melainkan juga mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri. Persoalan itulah yang dikemukakannya pada 1957, sewaktu berkunjung ke rumah Pandjaitan di Robert Koch Strasse No. 24, Venusberg, Bonn.

Advertising
Advertising

Baca juga: Curhat Habibie ke Pak Nas

Meski Pandjaitan menjabat atase militer, kediamannya kerap kali disambangi para mahasiswa Indonesia yang studi di Jerman. Kebanyakan mereka datang untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Tidak hanya menerima para mahasiswa Indonesia, Pandjaitan juga secara aktif mengabarkan situasi politik yang terjadi di Indonesia.

“Kami di PPI mendapat informasi tentang keadaan politik di Indonesia. Melalui atase militer di Jerman Barat, Kolonel DI Pandjaitan, kami dipertemukan dengan sejumlah perwira militer, termasuk dari kalangan intelijen,” tutur Midian Sirait dalam catatan 80 tahun Revitalisasi Pancasila: Catatan-catatan Tentang Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial.

Midian Sirait merupakan ketua PPI di Jerman Barat. Pada 1958, dia menyelesaikan studi Ilmu Farmasi di Universitas Hamburg dan melanjutkan disertasinya di Freie Universitat Berlin. Suatu ketika di tahun 1960-an, Midian dikenalkan dengan Kolonel Sukendro oleh Pandjaitan. Soekendro mengungkapkan bagaimana PNI selalu berusaha menggerogoti kekuatan tentara sehingga membentuk sikap apriori tentara terhadap partai itu. Selain Soekendro, Asisten I/Intelijen Markas Besar AD Brigjen Ali Magenda juga pernah berkunjung ke Jerman. Magenda membeberkan tentang jaring-jaring agen intelijen Barat di satu pihak maupun Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet berkeliaran di Indonesia.

Baca juga: Ketika Kolonel D.I. Pandjaitan Mengangkat Orang Jerman Jadi Intel

“Para perwira yang datang itu, memberikan gambaran situasi tanah air cukup lengkap dan mendalam. Salah satu yang mereka ungkapkan adalah bahwa sebenarnya banyak perwira, setidaknya di kalangan intelijen, tidak setuju Manipol Usdek. Tetapi persoalannya, Jenderal AH Nasution, setidaknya seperti yang secara formal dinyatakannya di muka khalayak, setuju terhadap Manipol Usdek itu. Para perwira ini juga sudah melihat bahwa arah dari Manipol ini pada akhirnya akan memberikan keuntungan kepada komunis,” sambung Midian.  

Soal keberadaan Soekendro di Jerman turut dibenarkan istri Pandjaitan, Marieke Pandjaitan br. Tambunan. Soekendro bersama istrinya bahkan menginap di kediaman Pandjaitan. Selain sebagai intel, menurut Marieke, Sukendro adalah perwira anti-PKI yang dicurigai memihak kelompok PRRI. Itulah sebabnya Presiden Sukarno menonjobkan dan menyuruh Soekendro istirahat di luar negeri.

Seperti Soekendro, nama Pandjaitan kemudian juga dicurigai pemerintah Jakarta. Pandjaitan dituding mempengaruhi mahasiswa Indonesia di Jerman untuk anti kepada pemerintah. Dalam Kongres PPI se-Eropa di Praha pada Agustus 1961, PPI Jerman menerbitkan makalah kontroversial berjudul “Manipol dan Nasakom sebagai Strategi PKI”. Kongres menjadi ricuh. PPI di negara-negara sosialis pada umumnya mendukung Manipol. Presiden Sukarno dikabarkan begitu marah hingga memanggil Pandjaitan menghadapnya ke Beograd.  

Baca juga: D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno

Tapi, Pandjaitan tidak jera membina mahasiswa Indonesia di Jerman. Mereka rupanya dapat diandalkan untuk mendukung kepentingan nasional saat itu, yaitu Irian Barat (Papua). Para atase militer di berbagai negara Eropa yang lain juga berjuang secara rahasia untuk hal yang sama. Operasi ini oleh Jenderal Nasution dinamakan “Operasi C” atau diplomasi senyap TNI.

Pandjaitan menggalang PPI Jerman Barat untuk mempengaruhi mahasiswa-mahasiswa Papua yang disekolahkan di Belanda. Dalam operasi yang dirancang Pandjaitan, mahasiswa-mahasiswa Papua itu diundang datang ke Jerman Barat. Kedatangan mereka dipersiapkan melalui Prancis dan Swiss. Kalau langsung dari Belanda ke Jerman, besar kemungkinan tercium intel Belanda. Melalui koordinasi Midian Sirait, tugas tersebut diberikan kepada Frans Mariakasih, Basuki Gunawan dan lain-lain.

Mahasiswa Papua itu akhirnya masuk ke Jerman secara bergelombang. Selama di Jerman, mereka diberi pakaian khusus sebagai kenang-kenangan. Di antara para mahasiswa Papua itu, dua orang yang paling berpengaruh adalah Frits Kirihio dan Rumanium.

Baca juga: Frits Kirihio, Disekolahkan Belanda lalu Memihak Indonesia

“Keduanya mengadakan konferensi pers dan wawancara dalam siaran televisi, dan secara tegas mengatakan bahwa Irian Barat adalah wilayah Republik Indonesia,” terang Marieke.

Frits Kirihio bahkan dikirim dari Jerman ke Indonesia untuk menemui Presiden Sukarno. Pandjaitan membekali Frits dengan paspor Indonesia. Di Jakarta, Frits diterima Jenderal Nasution kemudian dibawa ke Istana Bogor menemui Presiden Sukarno. Pada 2 Januari 1962, Sukarno memperkenalkan Frits kepada rakyat dalam rapat akbar di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Frits kemudian berperan dalam penyatuan Papua ke Republik Indonesia.

Pandjaitan sendiri merampungkan dinas sebagai atase militer pada 1962, setelah enam tahun lamanya bertugas. Dia meninggalkan Bonn untuk kembali ke Jakarta, tepatnya Markas Besar AD. Kepala Staf Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani menunjuknya sebagai Asisten I/Intelijen. Namun, setelah diminta melapor kepada Presiden Sukarno, Pandjaitan akhirnya menempati posisi Asisten IV/Logistik. Jabatan itu diemban Pandjaitan sampai akhirnya hayatnya.

Baca juga: Jenderal Yani dan Para Asistennya

TAG

dipandjaitan jerman intelijen

ARTIKEL TERKAIT

Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian II) Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian I) Momentum Bayer Leverkusen Akhir Pelarian Teroris Kiri Dua Kaki Andreas Brehme Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer Pesawat Multifungsi Tulang Punggung Matra Udara Jerman Kolonel Junus Jamosir Digunjing Setelah G30S