Masuk Daftar
My Getplus

Agen CIA dalam Pemberontakan di Sumatra

Agen CIA ini membantu pemberontak PRRI/Permesta dengan menyamar sebagai staf perusahaan minyak. Dia bertemu Benny Moerdani.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 31 Agt 2019
Logo CIA.

USS Thomaston dikawal kapal selam USS Bluegill berangkat dari pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Teluk Subic, Filipina. Tiba di Sumatra pada 11 Februari 1958. Kapal itu membawa persenjataan: ratusan pucuk pistol, ribuan senapan submesin, dan jutaan peluru, untuk pemberontak PRRI/Permesta. Operasi mendukung PRRI/Permesta ini bersandi Operasi Haik.

Perintah pengiriman senjata itu datang dari kepala operasi CIA, Frank Wisner, kepada kepala Divisi Timur Jauh, Al Ulmer, yang meneruskannya kepada John Mason. Berkat hubungannya dengan Pentagon, dia berhasil mendapatkan sejumlah senjata dan perlengkapan militer yang dikirim dengan kapal USS Thomaston.

Pengiriman persenjataan juga dilakukan lewat udara. Dengan bantuan Paul Gottke, kepala CIA di Pangkalan Angkatan Udara Amerika Serikat di Clark, Filipina, beberapa agen CIA menjalankan operasi khusus yang lain yang disebut Operasi Hance, yakni operasi pengedropan senjata untuk membantu para pemberontak. Operasi ini menggunakan pesawat dan kru dari Civil Air Transport (CAT), sebuah maskapai penerbangan di Asia Timur yang didanai CIA dan para pilotnya digaji oleh CIA.

Advertising
Advertising

Baca juga: Agen CIA Pertama di Indonesia

“Fravel ‘Jim’ Brown –seorang agen CIA di Singapura yang secara diam-diam ditugaskan untuk membantu para pemberontak di Sumatra– ikut mendistribusikan persenjataan tersebut,” tulis sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin, 1953–1963.

Dalam Safe for Democracy: The Secret Wars of the CIA, John Prados menyebut agen CIA yang masuk ke Sumatra adalah spesialis politik James Smith, Dean Almy dengan kedok sebagai konsul Amerika Serikat di Medan, dan Fravel Brown, seorang veteran operasi di Cina. Brown dan petugas radionya membentuk tim dengan para pemberontak di Padang.

Dalam operasinya, Brown menyamar sebagai anggota staf Caltex, perusahaan minyak Amerika Serikat yang beroperasi di Sumatra Timur.

Sementara itu, pemerintah pusat menjawab pemberontakan PRRI/Permesta dengan operasi militer. Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution ditunjuk menjadi komandan Operasi Tegas. Tugasnya merebut seluruh wilayah Riau Daratan guna menutup kemungkinan para pemberontak melarikan diri ke luar negeri.

Baca juga: Pilot CIA Ditembak Jatuh di Ambon

Wartawan senior Julius Pour dalam biografi Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan, menyebut ada dua subkomando dalam Operasi Tegas, yaitu Dongkrak dan Kangguru dengan inti pasukan dari RPKAD (kemudian jadi Kopassus). Pasukan Dongkrak ditugaskan menduduki wilayah lokasi ladang-ladang minyak di Dumai dan Sungai Pakning sebagai sasaran antara, dalam rangka menguasai daratan Riau agar bisa maju menuju ke Pekanbaru.

Sementara Pasukan Kangguru dengan inti pasukan Kompi A RPKAD di bawah Letnan II Benny Moerdani diperintahkan melakukan penerjunan langsung ke Landasan Udara Simpangtiga, agar pasukan gabungan ABRI bisa secepatnya merebut Pekanbaru.

Tugas Pasukan Dongkrak lebih sulit karena harus bergerak lewat jalan darat; menembus hutan dan berjalan menyusuri sungai untuk merebut Dumai dan Bengkalis dari tangan para pemberontak. Jarak yang mereka tempuh cukup jauh sehingga baru sampai sekitar Pekanbaru pada 14 Maret 1958 atau dua hari setelah dibebaskan oleh Pasukan Kangguru.

Pasukan Kangguru bisa segera tiba di Pekanbaru karena diterbangkan dari Tanjungpinang dan diterjunkan di Landasan Udara Simpangtiga pada 12 Maret 1958.

Baca juga: Pilot CIA Ini Lolos Dari Hukuman Mati

Ketika sedang merebut Pekanbaru, catat Baskara, pasukan pemerintah menemukan kotak-kotak berisi perlengkapan militer buatan Amerika Serikat yang baru saja dijatuhkan oleh pesawat-pesawat CIA, bahkan sebelum para pemberontak punya kesempatan untuk membukanya.

Siang hari itu juga Pasukan Kangguru sudah berhasil menguasai Pekanbaru. Di luar dugaan, para pemberontak tidak memberikan perlawanan berarti. Mereka memilih masuk ke hutan, meninggalkan pertahanan di kota strategis tersebut jatuh ke tangan lawan.

Menurut Julius Pour, di tengah memimpin pembebasan Pekanbaru, Benny melihat seorang bule nampak berlari-lari di dekat Landasan Udara Simpangtiga. Terlihat rasa takut di wajahnya. Dia mendekati Benny sambil berteriak memelas, "My name is Brown, from Caltex…"

Namun, menurut Baskara, Brown mendatangi Benny segera setelah semuanya tenang. Dia memperkenalkan diri sebagai “Brown dari Caltex”. Hal itu dia lakukan sebagai bagian dari upaya untuk mengamati situasi yang terjadi. Letnan Dading Kalbuadi mengambil foto Brown ketika sedang berbicara dengan Benny. “Brown pun memutuskan untuk menghilang dari publik. Dia diperintahkan untuk segera kembali ke basis CIA di Singapura,” tulis Baskara.

Baca juga: Pilot CIA Dibarter Pesawat Hercules

Benny tak memeriksa Brown dengan teliti karena mengira dia bekerja sebagai tenaga ahli teknisi minyak, sebagaimana bule-bule lain yang dia lihat di sana. Sehingga Brown dibiarkan begitu saja berlalu meninggalkan Pekanbaru.

Tak sampai seminggu kemudian, ketika Benny meneruskan pertempuran dari Pekanbaru ke Medan, dia kembali melihat Brown. Dia sedang bersiap-siap di Landasan Udara Polonia. “Brown nampak tergesa-gesa menaiki pesawat terbang Caltex, untuk terbang menuju Singapura,” tulis Julius Pour.

Benny sedikit tertegun dan curiga: bagaimana mungkin Brown bisa begitu cepat sampai di Medan? Secepat gerak pasukan RPKAD yang harus terbang ke Medan, sesudah empat hari sebelumnya menaklukkan Pekanbaru? Sementara wilayah antara Pekanbaru sampai Medan masih dikuasai pemberontak.

Achmad Yani, komandan Operasi 17 Agustus, dan Benny Moerdani, komandan Kompi A RPKAD, dalam Operasi Tegas dan Operasi 17 Agustus.

Dari Medan, pada April 1958, Benny dan pasukannya terbang menuju Padang. Dia terlibat operasi berikutnya bersandi Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel Achmad Yani, Deputi Pertama Kepala Staf Angkatan Darat. Operasi gabungan ini untuk menduduki Sumatra Barat.

Sebagaimana Operasi Tegas, tulis Baskara, Operasi 17 Agustus juga berhasil dengan baik tanpa perlawanan yang berarti dari pemberontak. Pada 17 April 1958, hanya sehari setelah operasi dilancarkan, Padang sudah jatuh ke tangan pasukan pemerintah.

Baca juga: Operasi Gabungan untuk Panglima Pembangkang

Benny memimpin pasukannya dengan kaki pincang karena penerjunannya tidak mendarat dengan mulus. Dari Padang, ibu kota PRRI/Permesta yang telah diduduki, Benny ditugaskan ke Indarung untuk membantu pasukan Batalion 438/Diponegoro. Serbuan ke Indarung penting untuk membuka jalan ke arah Alahanpanjang dan Solok. Namun, Benny tak ikut ke Indarung karena kakinya masih sakit. Dia absen sekali dalam pertempuran. Dia kemudian menyusul pasukannya menuju Alahanpanjang.

Di Alahanpanjang, Benny dan pasukannya terlibat pertempuran dengan pemberontak yang datang konvoi dengan truk dari arah Solok. Benny sempat menghitung sekitar 20 pemberontak tewas.

Seorang berpangkat sersan mayor, bertubuh gempal, datang menyerah. Dia membawa uang banyak karena baru saja mengawal seorang VIP, yaitu Sjafruddin Prawiranegara, Perdana Menteri PRRI.

“Jati diri Brown baru terungkap ketika secara tidak sengaja Benny menunjukkan gambar-gambar operasi pembebasan Pekanbaru kepada pemberontak yang menyerah di Padang,” tulis Julius Pour.

Seseorang berkata, mungkin sersan mayor itu, “Lho, ini kan gambar Mayor Brown, bekas pelatih kami.”

TAG

Intelijen CIA

ARTIKEL TERKAIT

M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado D.I. Pandjaitan dan Aktivis Mahasiswa Indonesia di Jerman Sukarno, Jones, dan Green Sepak Terjang Spion Melayu Adam Malik Sohibnya Bram Tambunan Operasi Monte Carlo, Misi Intelijen Koes Bersaudara Satu-satunya Perempuan Amerika yang Dieksekusi Hitler Bapaknya Indro Warkop Jenderal Intel Ali Moertopo Disebut Pernah Jadi Agen Belanda Secuil Cerita Jenaka dari Cianjur Semasa Pendudukan Saudara Tua