David Wise dan Thomas B. Ross menerbitkan The U-2 Affair pada 1962. Buku ini tentang Francis Gary Powers, pilot Amerika Serikat, yang ditembak jatuh dan ditangkap oleh Uni Soviet tahun 1960, ketika menerbangkan pesawat rahasia Lockheed U-2, pesawat mata-mata CIA. Insiden tersebut menyebabkan semakin memanaskan Perang Dingin dan meningkatkan ketidakpercayaan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
David Wise adalah wartawan New York Herald Tribune yang bertugas di Gedung Putih. Dia kemudian menjadi kepala biro Washington termuda dalam sejarah surat kabar itu. Sedangkan Thomas B. Ross adalah wartawan Chicago Sun Times yang kemudian menjadi kepala biro di Washington.
Wise dan Ross kemudian menerbitkan buku kedua yang mengguncang CIA, berjudul The Invisible Government (1964).
“The Invisible Government adalah buku serius pertama tentang badan-badan intelijen pemerintah Amerika Serikat. Ini akan memberi tahu publik Amerika tentang aktivitas klandestin dan kemungkinan ilegal dari CIA, yang sebelumnya tidak diketahui publik,” kata Sterling Lord, agen Wise dan Ross, dalam Lord of Publishing: A Memoir.
Baca juga: Agen CIA Pertama di Indonesia
Di antaranya yang diuangkap Wise dan Ross adalah keberadaan kelompok 5412 yang juga disebut Special Group, sebuah komite rahasia yang menyetujui operasi-operasi rahasia. Anggotanya termasuk Direktur CIA Allen Dulles, Penasihat Keamanan Nasional Gordon Gray dan McGeorge Bundy, Penjabat Menteri Pertahanan James Douglas, dan Wakil Menteri Luar Negeri Bidang Politik Livingston T. Merchant.
“Karena The Invisible Government, CIA memberi nama baru pada grup tersebut,” kata Sterling.
Special Group diubah namanya menjadi Komite 303 pada 2 Juni 1964. Angka tersebut mengacu pada National Security Action Memorandum (NSAM) 303, yaitu instruksi presiden mengenai keamanan nasional yang dikeluarkan untuk Dewan Keamanan Nasional. Sumber lain menyebut, angka 303 diambil dari nomor kamar di kompleks kantor eksekutif di Washington D.C.
“Buku tersebut juga mengungkapkan bahwa CIA pernah berusaha untuk menggulingkan Sukarno (pemimpin Indonesia), bahwa itu [buktinya, red.] seorang pilot yang terbang untuk CIA ditembak jatuh dan ditangkap dalam operasi tersebut,” kata Sterling. Pilot yang dimaksud adalah Allen Lawrence Pope yang terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta.
Baca juga: Pilot CIA Ditembak Jatuh di Ambon
Menurut Sterling, seorang anak magang yang kebetulan teman dari anak laki-laki Bennett Cerf, pendiri dan presiden Random House, diam-diam memberikan salinan buku dari cetakan percobaan (galley proof) kepada ayah tirinya, seorang pejabat senior CIA. “Random House tahu dari mana asal kebocoran itu, tapi untuk waktu yang lama mereka terlalu malu untuk memberitahuku,” kata Sterling.
CIA pun mengetahui isi buku itu sebelum diterbitkan, dan para pejabatnya sangat marah. CIA melakukan tindakan luar biasa agar The Invisible Government tidak sampai dibeli oleh publik. Namun, penulis dan Random House berjuang keras melawan upaya menyensor buku atau menghentikan penerbitannya.
“Itu menjadi pertarungan antara Wise, Ross, Random House, dan saya di satu sisi; CIA dan direkturnya, John A. McCone, di sisi lain,” kata Sterling.
Baca juga: Pilot CIA Lolos Dari Hukuman Mati
Dalam bukunya yang lain, The American Police State: The Government Against the People, David Wise menyebut bahwa divisi hukum CIA melakukan penelitian untuk melihat apakah CIA memiliki kekuatan untuk membeli cetakan pertama agar buku tersebut tidak sampai ke tangan publik.
“CIA menyampaikan ide tersebut kepada Bennett Cerf, presiden Random House. Cerft menjawab bahwa dia akan dengan senang hati menjual cetakan pertama ke CIA, tetapi dia kemudian akan segera memesan cetakan lain untuk umum, dan cetakan lain, dan lainnya,” tulis Wise.
McCone dan CIA membatalkan rencananya itu. CIA juga mempertimbangkan untuk menuntut para penulis di bawah undang-undang spionase, tetapi memutuskan untuk tidak melakukannya. Bahkan, CIA menunjuk satuan tugas (task force) untuk menyusun rencana bagaimana menangani buku tersebut. Rekomendasi utama dari Satgas adalah CIA menggunakan aset-asetnya di media massa dan lingkaran penerbitan untuk membuat ulasan tidak menyenangkan dari buku tersebut, untuk mengurangi pengaruh buku dan meragukan validitas klaimnya.
“Buku itu diterbitkan tanpa perubahan apa pun, meskipun ada tekanan kuat dari CIA pada Random House, dan menjadi buku terlaris nomor satu di negara ini (Amerika Serikat, red.),” tulis Wise.
Baca juga: CIA Gagalkan KAA II di Aljazair
CIA menyiapkan analisis panjang dan rinci yang dirancang untuk mendiskreditkan buku itu dan penulisnya. Dokumen tersebut diedarkan di dalam CIA dan Departemen Luar Negeri. CIA juga menyiapkan dokumen dengan klasifikasi “rahasia”, yang merangkum reaksi dunia terhadap buku tersebut yang dikumpulkan oleh agen-agen CIA di berbagai ibu kota negara.
Misalnya, laporan dari stasiun CIA di Accra, menyebut bahwa “Presiden Kwame Nkrumah dari Ghana telah memberi tahu teman-teman karibnya bahwa dia telah membaca buku itu dan ‘sangat terkesan olehnya’”.
William Attwood, duta besar Amerika Serikat untuk Kenya, melaporkan bahwa buku itu “dianggap sebagai Alkitab di Kenya, karena semua orang telah membacanya”. Kolonel Enrique Peralta, kepala pemerintahan Guatemala, “mengatakan kepada perwakilan CIA bahwa dia menganggap bagian IG (The Invisible Government) yang menyangkut Guatemala pada dasarnya benar.”
Dari Asia, stasiun CIA di Pakistan melaporkan, “Presiden Ayub Khan mengatakan kepada duta besar Amerika bahwa dia telah membaca IG (The Invisible Government) dan terkejut olehnya, dan dia berharap hal-hal seperti yang dijelaskan tidak terjadi di Pakistan.”
Perintah Sukarno
David Wise juga menyebut bahwa CIA mengetahui –mungkin dari penyadapan telepon atau penyadapan NSA– bahwa “Kedutaan Besar Indonesia, Washington, menginstruksikan untuk mengantongi 20 eksemplar” buku tersebut “langsung ke Menteri Luar Negeri Soebandrio” di Jakarta.
Pada awal Desember, CIA melaporkan, Presiden Sukarno telah memerintahkan agar buku-buku itu “diedarkan di antara anggota kabinet”. Beberapa minggu kemudian, stasiun CIA melaporkan, Sukarno memanggil duta besar Amerika Serikat, menguliahinya panjang lebar tentang CIA dan mengutip buku itu untuk membuktikan poin-poinnya.
“Sejak buku itu mengungkapkan bahwa CIA telah memberikan pembom B-26 kepada pemberontak untuk menggulingkan Sukarno, kemarahan presiden Indonesia itu bisa dimengerti,” tulis Wise. Pesawat tersebut diterbangkan oleh Allen Lawrence Pope dalam pemberontakan PRRI/Permesta yang berhasil ditembak jatuh dan ditangkap.
Baca juga: Agen CIA Merampok Bank Indonesia
Willem Oltmans, wartawan Belanda yang dekat dengan Sukarno, mengatakan bahwa selama dua tahun kuliah di Universitas Yale (1948-1950), dan sejak tahun 1958 bekerja di Amerika Serikat, namun dia merasa tidak tahu apa-apa mengenai cara kerja pemerintah Amerika Serikat.
Sampai akhirnya, Oltmans sadar setelah membaca buku The Invisible Government pada 1964, bahwa bangsa yang paling berkuasa di dunia ini diperintah oleh dua pemerintah, yang satu tampak, dan yang lain tak tampak (bayangan). Yang disebut belakangan terdiri atas sistem yang luar biasa canggih dari para intel atau agen rahasia, dan jaringan kerja mata-mata yang luas cakupannya serta bermatra nasional dan internasional.
“Saya menganggap buku itu sangat teramat penting, terutama bagi bangsa Indonesia dan Presiden Sukarno, yang telah menjadi sasaran tetap selama hampir dua puluh tahun bagi aneka kegiatan kedinasrahasiaan Amerika Serikat, termasuk upaya membunuhnya...,” kata Oltmans dalam Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?
Baca juga: Pengalaman Mantan Direktur CIA di Indonesia
Oltmans segera memberitahu Sukarno mengenai buku The Invisible Government melalui saluran Jenderal TNI Suhardjo Hardjowardojo. Segera ada perintah untuk mengirim 20 eksemplar buku tersebut langsung ke Menteri Luar Negeri Soebandrio di Jakarta.
“Enam tahun setelah Bung Karno meninggal, ada sebuah terbitan di Amerika Serikat yang sebenarnya merujuk pada masalah ini, bahwa sayalah yang memberitahu presiden Indonesia itu akan adanya buku ini,” kata Oltmans.
Sukarno pun dalam pidatonya menyebut buku-buku tentang CIA dan nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) yang berusaha menjatuhkannya, salah satunya buku The Invisible Government.
“Saya ulangi,” kata Sukarno dalam pidato di Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Bogor, 6 November 1965, “daripada pengetahuan umum international politics kita mengetahui garis daripada nekolim. Kita bisa baca dalam kitab-kitabnya Maurice West The Ambassador, kitabnya Wilfred Burchet The Furtive War, kitabnya Andrew Tully C.I.A., kitabnya [Wise dan] Ross The Invisible Government…. Saya ulangi supaya saudara-saudara bisa beli buku-buku itu.”