Masuk Daftar
My Getplus

Derita Istri Jenderal yang Disingkirkan: Sri Suharyati Sayidiman

Nyonya Sayidiman harus menelan pil pahit mendampingi suami yang terkena imbas rivalitas di antara para jenderal Orba. Terisisih lantaran intrik politik.

Oleh: Martin Sitompul | 21 Des 2022
Letjen Sayidiman Suryohadiprodjo bersama istrinya, Sri Suharyati menghadap Jenderal Soerono. (Sumber: Repro otobiografi Sayidiman Suryohadiprodjo "Mengabdi Negara sebagai Prajurit TNI".)

Dari sekian jenderal Orde Baru, Letnan Jenderal (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo barangkali mengalami nasib kurang beruntung. Dia mengenang hubungannya dengan Soeharto sebagai relasi atasan-bawahan yang rumit. “Jauh-jauh dekat,” begitu ungkapnya. Meski bukan bagian lingkaran dalam, sebagai pejabat teras TNI Sayidiman cukup dikenal oleh Soeharto. Hingga akhirnya, Sayidiman yang digadang-gadang bakal jadi panglima ABRI itu betul-betul terpental.

 “Saya kan pernah difitnah oleh Ali Moertopo,” kata Sayidiman suatu ketika.

Pada 1970, Sayidiman menjabat Ketua Gabungan-3 Hankam yang mengurusi bidang personalia. Dalam laman pribadinya, Sayidiman berkisah bahwa dirinya pernah didatangi Asisten Pribadi (Aspri) Presiden merangkap Deputi III (Penggalangan) Bakin Mayor Jenderal Ali Moertopo. Ali meminta Sayidiman menyiapkan perwira generasi muda untuk mendukungnya. Besar kemungkinan para perwira ini hendak digalang oleh Ali untuk menyokong proyek operasi khusus rancangannya. Sayidiman hanya menjawab sekedarnya, “Kita lihatlah nanti.”

Advertising
Advertising

Baca juga: Riwayat Tangan Kanan Ali Moertopo

Keesokan harinya, Sayidiman bertemu dengan Kepala Bakin (kini BIN) Mayor Jenderal Sutopo Yuwono. Sutopo memperingatkan agar Sayidiman berhati-hati dengan Ali Moetopo. Menuruti kemauan Ali bisa menyebabkan para senior TNI yang lain marah. Di kalangan perwira senior, nama Ali Moertopo mentereng sebagai political operator rezim Soeharto. Sayidiman mengerti maksud Sutopo. “Saya kan bukan orang gila atau bodoh,” katanya.

Pada 1973, Sayidiman menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Saat itu yang menjabat kepala staf adalah Jenderal Surono. Dengan kedudukannya itu, Ali mengharapkan Sayidiman segera memenuhi permintaannya. Sayidiman nyatanya mementahkan permintaan Ali karena merasa praktik-praktik politik Ali bertentangan dengan etika perwira TNI. Pun agenda Ali ini akan ditentang oleh Surono dan perwira senior lainnya. Setahun berselang, meletuslah peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Di situlah Ali memukul Sayidiman.

“Rupanya ada sekelompok perwira generasi muda yang memelihara hubungan dengan kaum mahasiswa yang bergolak. Ali Murtopo memanfaatkan hal ini untuk ‘menghukum’ saya karena tidak memenuhi permintaannya,” tutur Sayidiman.

Baca juga: Soemitro dan Ali Moertopo, Kisah Duel Dua Jenderal

Atas kerusuhan yang terjadi, Ali melapor kepada Presiden Soeharto bahwa Sayidimanlah yang berada di belakang kelompok perwira generasi muda dalam Malari. Soeharto goyah, termakan omongan Ali Moertopo. Sayidiman akhirnya dicopot dari kedudukannya mengikuti jejak Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro. Sayidiman memang kerap dikaitkan sebagai perwira kelompok Soemitro. Dia lantas dipinggirkan ke Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) sebagai gubernur.

Ketika menghadap Soeharto untuk melaporkan dirinya telah menjadi gubernur Lemhanas, Sayidiman menangkap sesuatu yang ganjil. Soeharto menyambut Saydiman dan berpesan dalam nada datar, “Ya, lakukan tugas baru dengan baik. Dan kalau melakukan sesuatu bicarakan dengan teman.” Ucapan itu, menurut Sayidiman, jadi indikasi bahwa Soeharto menyangka dirinya telah melakukan sesuatu yang tak beres. Namun, Sayidiman enggan bereaksi. “Baik, Pak, tugas akan saya lakukan sebaik mungkin,” balasnya sembari pamit.  

Meski karier militernya dihabisi seketika, Sayidiman sanggup untuk legowo. Tapi, tidak demikian dengan istrinya, Sri Suharyati. Sejak peristiwa itu, Sri Suharyati mengalami kemunduran fisik secara drastis.

“Kemudian yang sakit istri saya. Sakit karena saya diperlakukan tidak adil,” ujar Sayidiman lirih.

Baca juga: Kekecewaan Istri Seorang Jenderal: Kisah Siti Rachma Moersjid

Penyakit yang mendera Sri Suharyati terbilang aneh. Tubuhnya memproduksi butir sel darah merah (hemoglobin) dalam jumlah berlebihan. Celakanya, ia menggumpal di pusat syaraf sehingga mengakibatkan kelumpuhan di bagian tubuh sebelah kanan. Kemampuan berbicaranya pun hilang. Baru kemudian diketahui Sayidiman penyakit itu bernama polycythemia vera. Dalam otobiografinya, Mengabdi Negara sebagai Prajurit TNI, Sayidiman menyebut Tjiek –panggilan Sri Suharyati– sakit sejak April 1976 dan tidak pernah normal kembali seperti sediakala.

Sekali waktu, Jenderal Soerono, mantan atasan Sayidiman, datang membesuk. Tak banyak kata-kata penghiburan yang disampaikan. Soerono hanya berujar, “Yik (panggilan Sayidiman) kamu memang kuat, tapi Tjiek tidak!”

Setelah mencari pengobatan sana-sini dan tak kunjung berhasil, Sayidiman diangkat menjadi duta besar Indonesia untuk Jepang pada 1978. Ketika menerima surat kepercayaan, Sayidiman merasakan sikap berbeda yang ditampilkan Soeharto. Sayidiman mendapati informasi bahwa penetapannya sebagai duta besar ditunjuk sendiri oleh Soeharto. Sayidiman diamanahkan tugas khusus melobi kelompok pengusaha Jepang menanamkan modal di Indonesia. Selain itu, Soeharto mengatakan supaya istri Sayidiman boleh mendapatkan pengobatan yang lebih baik di Jepang. Soeharto menjanjikan pula, “Nanti pemerintah akan membantu dengan biaya pengobatan karena gajimu tentu tak cukup.”

Baca juga: Yang Seteguh Batu Karang: Kisah Grace Walandaow Hartono

Di Jepang pula, Sayidiman pernah menerima kunjungan Ali Moertopo. Dia datang bersama rombongan dari lembaga CSIS yang dipimpinnya. Sayidiman mengenang Ali Moertopo sempat menggelar pesta ulang tahun di Tokyo. Ali bahkan sempat menumpahkan unek-unek dirinya telah diperlakukan dengan buruk oleh Presiden Soeharto. Waktu itu tahun 1982, Ali Moertopo menjabat sebagai menteri penerangan. Aksesnya terhadap perangkat intelijen negara –yang menjadi keahliannya– telah diputus total. Sayidiman tak menaruh dendam meski istrinya tak pernah sembuh lagi dari penyakit yang diderita.

Pada 1 Juni 1994, Sri Suharyati meninggal dunia. Tidak lama setelah itu, Presiden Soeharto menganugrahkan Bintang Maha Putera Utama kepada Sayidiman. Barangkali untuk melipur lara Sayidiman yang kehilangan istri tercinta. Dua tahun kemudian, giliran Soeharto yang ditinggal mati oleh Ibu Tien pada 28 April 1996.

Hingga Soehart lengser pada 1998, Sayidiman tak pernah lagi berhubungan dengan Soeharto. Kendati demikian, Sayidiman menghormati Soeharto sebagai sosok yang amat interessant dalam hidupnya. Hubungan yang jauh tapi juga dekat.

Baca juga: Akhir Palagan Jenderal Sayidiman Suryohadiprodjo

TAG

jenderal sayidiman suryohadiprodjo orde baru

ARTIKEL TERKAIT

Sudirman dan Bola Sehimpun Riwayat Giyugun Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama Penyandang Jenderal Kehormatan, dari Sri Sultan hingga Prabowo Subianto Pengemis dan Kapten Sanjoto Jenderal Disko Ancaman Pemakzulan Gubernur Jenderal VOC Gubernur Jenderal VOC yang Dituduh Korupsi Toleransi Beragama Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker Jenderal Hobi Berburu Babi