SEBUAH cuitan bersambung atas nama @abirekso mengungkap siapa sosok ayah Johannes Suryo Prabowo. Sebagaimana umum diketahui, Suryo Prabowo merupakan politisi loyalis Prabowo Subianto yang belakangan getol menggugat hasil pemilu dalam laman media sosialnya. Sebelum menggeluti dunia politik, Suryo Prabowo adalah seorang militer yang pernah menduduki sejumlah posisi penting. Jabatan terakhirnya Kepala Staf Umum TNI (2011-2012) dan pensiun dengan pangkat letnan jenderal.
Menurut @abirekso, karier militer Suryo Prabowo tak lepas dari peran sang ayah, Rakimin Ngaeran, perwira asal Madura yang merupakan tangan kanan sang master intel Ali Moertopo. Ngaeran banyak terlibat dalam serangkaian operasi khusus intelijen. Beberapa diantaranya seperti penyusupan rahasia ke pejabat tinggi Malaysia dan menjalin penggalangan Darul Islam (DI) untuk menghantam PKI. Pada 1965, Ngaeran disebut mengepalai badan intelijen cikal bakal Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Dalam beberapa catatan, Rakimin Ngaeran memiliki banyak kedok intelijen. Dia juga dikenal dengan sebutan Rakimin, dengan fungsi dan peran yang lain. Rakimin banyak dikenal dalam komunitas sipil (non-militer). Dilingkungan militer dia dikenal sebagai Ngaeran. Lantas siapa sesungguhnya Rakiman Ngaeran ini? Mari kita lacak catatan sejarahnya.
Kawan Ahmad Yani
Nama Ngaeran setidaknya terjejaki sebagai salah seorang kadet tentara sukarela Jepang atau PETA (Pembela Tanah Air). Dari Magelang, Ngaeran mengikuti pendidikan lanjutan untuk menjadi perwira Sodan-cho (setara letnan) di asrama PETA Bogor.
Di asrama tersebut, Ngaeran tinggal sekamar dengan Ahmad Yani dan Sarwo Edhie Wibowo. Mereka sebenarnya pernah berada dalam satu pelatihan reinseitai (pelatihan kepemimpinan/kepanduan PETA) di Magelang namun belum saling mengenal. Dari ketiganya, Ngaeran punya postur tubuh paling jangkung. Sehingga, kalau lagi tidur, dia selalu berada di tempat paling pojok
“Diantara mereka bertiga pemuda Ngaeran tingginya lebih dari Yani, maka Ngaeran ditempatkan paling ujung kemudian Yani, dan disebelahnya menyusul tempat tidur Sarwo Edhie,” tulis Amelia Yani dalam biografi Ahmad Yani, Profil Seorang Prajurit TNI.
Regu Yani ini dianggap sebagai siswa yang cukup baik. Mereka tak lagi dituntut latihan merangkak tetapi lebih sering menjadi pembantu pelatih. Di kemudian hari, Yani, Sarwo, dan Ngaeran merintis nama dengan jalan sejarahnya masing-masing. Ahmad Yani menjadi perwira tinggi yang cemerlang namun mengalami akhir hidup yang tragis. Sarwo Edhie sempat melejit karena prestasinya menumpas PKI di Jawa pasca 1965 meski akhirnya tersisih di masa Orde Baru. Sementara Ngaeran, kiprahnya agak misterius.
Tangan Kanan Ali
Sepak terjang Ngaeran dalam operasi intelijen mulai terendus ketika Indonesia bermasalah dengan pembentukan Federasi Malaya. Saat itu, tim Operasi Khusus (Opsus) Kostrad yang dipimpin oleh Ali Moertopo ingin melobi Tun Abdul Razak, Menteri Pertahanan Malaysia. Untuk itu, dipakailah jasa Des Alwi yang dapat memperantarai kedua belah pihak. Misi ini terbilang rahasia karena bertujuan mengakhiri konflik tanpa sepengetahuan Presiden Sukarno.
Pertemuan dengan Des Alwi berlangsung pada pertengahan Juli 1965 di Hotel Amarin, Bangkok, Thailand. Julius Pour mencatat dalam Benny: Tragedi Sang Loyalis, Des Alwi dihadapkan ke Ali Moertopo yang sudah menunggu di kamar, bersama dua petugas opsus: Ngaeran dan Benny Moerdani. Dari pertemuan itulah kemudian pertemuan lanjutan dengan petinggi Malaysia terjalin.
Pada 1969, aksi intelijen Opsus berlanjut dalam penyelenggaran Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat (kini Papua). Komandan Opsus, Ali Moertopo bersama pembantu-pembantu terdekatnya turun untuk memenangkan Pepera lewat berbagai cara. Mereka antara lain Letkol Ngaeran, Letkol P. Soedarto, dan Letkol Soegianto. Perwira-perwira intel ini berperan dalam mengerahkan mahasiswa dan pemuda dari Jawa ala Peace Corps untuk menggalang rakyat Papua bergabung ke dalam RI.
“Pepera berhasil. Irian Jaya tetap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RI, ” tulis Krissantono dalam artikel “Ali Moertopo dan Orde Baru” termuat di edisi khusus 20 tahun majalah Prisma tahun 1991. Siapa nyana, Pepera ternyata sarat dengan tipu-tipu dan kecurangan.
Baca juga: Muslihat Opsus di Papua
Masih dalam Opsus, Ngaeran juga terlibat dalam penggalangan sisa-sisa pemberontak Darul Islam. Sejak 1965, Ali Moertopo menggandeng kelompok radikal ini guna menumpas habis PKI. Mereka kemudian menamakan diri sebagai Komando Jihad (Koji). Ken Conboy, pakar intelijen mencatat, pembinaan Opsus terhadap Koji punya tujuan politik jangka panjang.
“Opsus melihat kesempatan untuk menghidupkan kembali kelompok kanan berlatar agama ini. Ini dikarenakan Ali Moertopo sedang mencari-cari kelompok-kelompok pemilih yang akan mendukung Golkar – mesin politik Orde Baru – dalam pemilihan umum 1971 mendatang,” tulis Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia.
Dalam susunan penyelenggara pemilu yang termuat di risalah Pemilihan Umum 1971, nama Letkol Ngaeran benar tercatat sebagai kepala biro pengadaan. Sebagai imbalan, Opsus melalui rekanannya di Pertamina memberi hak distribusi minyak tanah kepada kelompok Koji. Misi Opsus berhasil. Golkar menang telak dalam pemilu perdana rezim Soeharto itu.
Baca juga: Pesan Soeharto bagi yang Kalah Pemilu
Di lingkaran utama Opsus, Ngaeran tampaknya menjadi salah satu orang penting. Heru Cahyono dalam Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari '74 mencatat, sejumlah perwira berperan menangani bidang tertentu. Kolonel Sumardan mengurusi soal teknis operasi. Kolonel Pitut Soeharto ahli dalam penggalangan kelompok Islam. Sementara itu, Kolonel Ngaeran bersama Kolonel Giyanto bagian “grasak-grusuk” mencari uang (pendanaan). Maka tak heran, ketika Taman Mini Indonesia Indah – yang disebut sebagai proyek ambisius Ibu Tien Soeharto – dibangun, Ngaeran menjadi penasihat mewakili Opsus. (Bersambung)