BAGI Ali Moertopo, Irian Barat bukanlah medan tempur yang asing. Pada saat Operasi Mandala berkecamuk, dia pernah ditugaskan sebagai perwira telik sandi di sana. Saat itu, Ali masih berpangkat mayor dan menjadi asisten Mayjen Soeharto - panglima Komando Mandala - untuk operasi intelijen.
Pada Mei 1967, Brigjen Ali Murtopo kembali bertugas di Irian Barat. Misi Operasi Khusus (Opsus) kali ini dalam rangka memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua (nama lama Irian Barat). Tak hanya tentara, cendekiawan dari kalangan sipil ikut ambil bagian dalam rencana operasi.
“Kita tidak bisa membiarkan presiden kehilangan Irian Barat,” kata Ali Murtopo kepada stafnya Jusuf Wanandi.
Baca juga:
Pepera: Bersama Indonesia atau Mati
Skema operasi disiapkan. Mulai dari operasi intelijen hingga proyek sipil untuk membangun kegiatan ekonomi. Misi Opsus didahului dengan mencari fakta tentang kondisi masyarakat setempat.
“Kami mulai bekerja pada pertengahan tahun 1967 dan bekerja terus selama hampir dua tahun sebelum Pepera diadakan pada pertengahan 1969,” kenang Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965—1998.
Cacat di Mata Rakyat
Menurut Jusuf Wanandi, citra Soeharto semakin buruk kalau gagal mempertahankan Irian Barat hanya karena mangkir melaksanakan Pepera. Namun di lapangan, tim Opsus melihat sendiri betapa termarjinalkan rakyat Papua. Selama masa peralihan antara Perjanjian New York hingga menjelang Pepera, kesejahteraan masyarakat disana kurang mendapat perhatian pemerintah.
Di Irian Barat, bahan makanan cukup langka. Penduduk kelaparan. Harga barang kebutuhan menjulang tinggi. ABRI menjarah seluruh wilayah lantaran memburuknya kondisi ekonomi Indonesia. “Sampai botol bir dan alat-alat listrik di perumahan pun dibawa ke Jawa atau daerah lain di Indonesia,” kata Jusuf. “Belanda meninggalkan begitu banyak dan kita mengambil semuanya.”
Baca juga:
Kemenangan yang Ternoda di Papua
Pengakuan Jusuf Wanandi seturut dengan penuturan pamong praja Papua. Dalam buku Bakti Pamong Praja Papua, Dorus Rumbiak, saat itu pejabat kontrolir di Wamena menyaksikan rumah-rumah peninggalan milik orang Belanda dimasuki oleh pegawai Indonesia dari luar Irian Barat. Harta benda di dalamnya kemudian diambil.
“Waktu itu saya saksikan sendiri penjarahan secara besar-besaran. Kami marah-marah karena semua yang dianggap penting dibawa pergi oleh orang-orang Indonesia,” tutur Dorus dalam “Dua Kunci Memikat Orang Baliem”.
Laku pongah para pendatang ini meninggalkan rasa jengkel di hati rakyat rakyat Papua. Kepada Ali Murtopo Jusuf Wanandi mengatakan, terang saja orang Papua membenci Indonesia. Kalau Pepera diadakan pada waktu itu juga, Indonesia pasti kalah.
Transistor dan Uang
Tim Opsus mengakalinya dengan mendatangkan barang-barang yang disenangi orang Papua. Beberapa diantaranya seperti tembakau merek Van Nelle de Weduwe dan setumpuk minuman bir. Semua itu dipesan langsung dari Singapura. Beberapa kapal memuatnya sampai berlimpah.
Pendekatan juga dilakukan terhadap institusi Gereja Katolik dan Protestan. Upaya ini bertujuan agar kelompok gereja terlibat dalam meyakinkan rakyat Papua yang mayoritas beragama Kristen untuk memihak Indonesia. Selain itu, Opsus mengirimkan korps sukarelawan mahasiswa sebagai program pengabdian sosial terhadap masyarakat Papua. Sebanyak 250 mahasiswa diterjunkan ke setiap distrik. Wajah ramah Indonesia diperlihatkan. Mereka membagikan barang-barang kebutuhan pokok, membangun rumah di beberapa kabupaten, mengajarkan pendidikan ala sekolah kepada anak-anak, dan memastikan sarana perhubungan penting seperti pesawat tersedia.
Baca juga:
Frits Kirihio, Disekolahkan Belanda lalu Memihak Indonesia
Cara demikian cukup berhasil mengambil hati rakyat Papua buat sementara waktu. Meski begitu, tidak semua rakyat terbuai. Kaum elite yang memiliki kesadaran politik tetap enggan bergabung dan lebih memilih merdeka. Mendekati Pepera, cara persuasif plus intrik dan intimidasi pun dilakukan.
Pada 1968, susunan dewan provinsi ditinjau kembali secara drastis. Sejarawan Belanda Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri mengatakan, orang-orang yang diragukan loyalitasnya ditangkap atau diganti. Salah satu diantaranya adalah Elias Jan Bonay, mantan gubernur Irian Barat yang kritis terhadap pemerintah.
Ketika Pepera berlangsung, terjadi beberapa insiden berupa protes maupun demonstrasi massa. JRG Djopari menyebutkan, kerusuhan di Merauke pada 14 Juli 1969; Nabire 9 Juli; Fak-fak 23 Juli; Manokwari 29 Juli. Selain ABRI dan polisi, Opsus turut campur tangan menaggulangi gerakan pengacau. Dewan Musyawarah Papua (DMP) dijaga ketat. Mereka terus digiring untuk membulatkan tekad berintegrasi. Dalam hal ini, Opsus mempunyai peranan yang sangat besar dan berhasil.
Baca juga:
Sebagai imbalan, setiap anggota DMP diberikan sejumlah uang dan satu buah transistor 4 ban merek National. Selama menjalani karantina di penampungan, anggota DMP mendapat servis yang sangat memuaskan. Pelayanan ini termasuk pemberian minuman keras dan pesta saban malam setelah menerima pengarahan dari pejabat pemerintah Indonesia.
“Dalam masa konsinyasi itu, kebanyakan anggota DMP bingung dan kemudian baru menyadari apa yang telah diputuskannya, namun mereka menerima dengan sadar akan keputusan itu,” tulis Djopari dalam Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka.
Cemohan Ali
Pepera usai. Indonesia memenangi suara mayoritas rakyat Papua. Irian Barat menjadi salah satu provinsi Indonesia. Misi Opsus berakhir sukses.
Pada kesempatan lain, Ali Murtopo justru mengatakan, “Jakarta tidak tertarik kepada orang Papua melainkan wilayahnya.” Perkataan itu disampaikan Ali Murtopo di hadapan anggota DMP di Jayapura. Dalam ingatan seorang pendeta anggota DMP Jayapura bernama Hokujoku, Ali Murtopo mengucapkannya seraya tertawa mencemooh.
Baca juga:
Soemitro dan Ali Moertopo, Kisah Duel Dua Jenderal
“Jika orang Papua ingin mandiri,” kata Ali ditirukan Hokujoku, “Lebih baik bertanya kepada Tuhan apakah Dia bisa memberikan orang Papua sebuah pulau di Pasifik tempat untuk beremigrasi.”
Menurut Hokojoku dalam wawancara kepada jurnalis Belanda, pernyataan Ali Murtopo itu begitu merendahkan harga dirinya sebagai orang Papua. Dia pun membenarkan adanya ancaman terhadap mereka yang menentang pemerintah Indonesia. Suratkabar Belanda De Tijd, 14 Agustus 1969 memberitakan seruan Ali Murtopo yang akan menindak tegas orang-orang yang tidak memberikan suaranya untuk Indonesia.
Sejarawan Inggris spesialis kajian Asia Tenggara, John Saltford menyingkap kecurangan lain selama Pepera. Menurut Saltford berdasarkan kesaksian Hokojoku yang ditelitinya, anggota DMP yang dipilih untuk berbicara dalam sidang Pepera telah diberikan instruksi tertulis tentang apa yang harus dikatakan.
Baca juga:
Frans Kaisiepo, Jejak Langkah Putra Irian
“Mereka kemudian dibuat untuk latihan berpidato di depan pejabat,” tulis Saltford dalam disertasinya yang dibukukan berjudul The United Nations and the Indonesia Takeover of West Papua, 1961--1969: The Anatomy of Betrayal. “Orang yang menolak itu diduga dibawa pergi dan dibunuh.”