Frits Kirihio, Disekolahkan Belanda lalu Memihak Indonesia
Bagaimana seorang putra Papua yang pendidikannya ditanggung Pemerintah Belanda, berbalik menjadi pro Republik. Sempat dicap sebagai pengkhianat.
Veronica Koman, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) jadi sorotan pemberitaan belakangan ini. Pemerintah menuntut Veronica mengembalikan dana beasiswa sebesar 773 juta rupiah. Angka tersebut diperoleh berdasarkan biaya yang dikeluarkan Kementerian Keuangan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) semasa Veronika menempuh pendidikan pascasarjana jurusan hukum di Australia National University.
Banyak kalangan menyebut tuntutan untuk mengembalikan dana beasiswa itu bernuasa politis. Sebagaimana diketahui, Veronika merupakan pengacara yang lantang menyuarakan isu pelanggararan HAM di Papua. Dalam advokasinya, Veronika kerap kali menyudutkan pemerintah Indonesia di forum internasional atas pelanggaran HAM dan kekerasan yang terjadi di Papua ataupun yang menimpa orang Papua. Meski demikian, pemerintah berdalil sanksi finansial dikenakan kepada Veronika karena gagal memenuhi syarat wajib kembali ke Indonesia setelah lulus studi. Hingga kini, Veronika masih menetap di Australia dan enggan pulang ke tanah air.
Sejarah memang selalu berulang dengan pelakon yang berganti atau bertukar. Jauh sebelum Veronica, ada seorang putra Papua yang juga persis sama situasinya dengan Veronika. Dia bernama Frits Kirihio.
Anak Cerdas dari Serui
Frits Maurits Kirihio lahir di Serui, Kepulauan Yapen pada 1934. Pertengahan 1950, anak cerdas ini disekolahkan di Universitas Leiden mengambil jurusan Ilmu Sosiologi. Menurut sejarawan Belanda Pieter Drooglever, Frits merupakan siswa Sekolah Pendidikan Amtenar Pribumi (OSIBA) yang berkesempatan meneruskan pendidikan tinggi ke Belanda. Ikatan dinas berlaku dalam beasiswa itu. Pada saat yang sama, Belanda sedang berkonflik dengan Indonesia mengenai status kekuasaan wilayah Papua yang dulu masih disebut Irian Barat.
“Kirihio di Belanda dapat mengikuti langkah demi langkah diskusi mengenai masa depan Papua, dan dapat dimengerti ia tidak tenang dengan itu,” tulis Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Baca juga: Duri dalam Daging Bernama Irian Barat
Pada 1960, Frits mengambil cuti ke kampung halamannya. Lewat diskusi bersama rekannya sesama putra Papua terdidik, kesadaran politik Frits mulai terbentuk. Frits ikut dalam membidani pembentukan Partai Nasional (Parna) pada 10 Agustus bersama Herman Wajoi (ketua) dan Amos Indey (sekretaris). Parna bertujuan mempercepat kemerdekaan rakyat Papua dengan mengusung nasionalisme Papua. Selambat-lambatnya cita-cita Parna ini hendak dicapai pada 1970.
Menurut sejarawan Papua, Bernarda Meteray, Frits Kirihio-lah yang menyampaikan idenya kepada Herman Wajoi dan Indey untuk membentuk partai politik. Frits Kirihio telah mengetahui keraguan di kalangan orang Belanda perihal Papua, apakah bisa menjadi suatu negara merdeka. Dalam aktivitasnya di Parna, Frits membuka kesempatan berdialog dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana termuat dalam suratnya pada November 1960 yang dikutip Bernarda dari arsip nasional Belanda, Frits mengatakan, “Kami menginginkan perdamaian di NNG (Papua) dan termasuk Indonesia.”
Bertemu Sukarno
Jurnalis Belanda Dirk Vlasbom dalam buku Papoea Een Geschiedenis mengungkapkan bahwa Frits menjadi utusan Parna yang pergi ke Jakarta setelah Presiden Sukarno mendeklarasikan Trikora Pembebasan Irian Barat pada 19 Desember 1961. Frits berhasil masuk ke Indonesia atas bantuan Kolonel Donald I. Pandjaitan, atase militer Indonesia di Bonn, Jerman. Pandjaitan membekali Frits dengan paspor Indonesia. Di Jakarta, Frits diterima oleh Jenderal Abdul Haris Nasution di kediamannya, Jalan Teuku Umar. Dari sana, Frits dibawa ke Istana Bogor menemui Presiden Sukarno.
“Frits, saya tidak punya apa-apa terhadap orang-orang Papua, kalian adalah saudara-saudara kami, tapi orang Belanda harus pergi. Kalau kalian mau merdeka, kalian akan mendapatkannya dari saya, dan bukan orang-orang Belanda,” kata Sukarno kepada Frits. Perbincangan tersebut dikutip Rosihan Anwar dari buku Vlasbom sebagaimana dilansir dalam Tabloid Suara Perempuan Papua, 16 Oktober 2008.
Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Pertama
Pernyataan Sukarno ttu sepertinya menumbuhkan simpati Frits akan itikad baik Indonesia. Pada 2 Januari 1962, Bung Karno memperkenalkan Frits ketika berpidato di Parepare, Makassar. Dalam kesempatannya memberikan sambutan, Frits menyatakan dukungannya terhadap pemerintah Indonesia atas Irian Barat yang disambut dengan sorak-sorai rakyat.
Penampilan Frits Kirihio bersama Sukarno itu jadi berita besar dalam media massa Indonesia. Kolaborasi ini sekaligus membantu kampanye Indonesia untuk menekan Belanda lewat pembentukan opini publik internasional. Harian Warta Bakti, 7 Januari 1962 mewartakan, “Hal ini membuat pemerintah Belanda marah mengingat Frits adalah mahasiswa Universitas Leiden yang dibiayai oleh ambtenaar Belanda di Irian Barat.”
Baca juga: Frans Kaisiepo, Jejak Langkah Putra Irian
Menurut Frits, berafiliasi dengan pemerintah Indonesia merupakan satu-satunya solusi untuk menyelesaikan persoalan Papua. Keyakinan ini dipengaruhi anggapan Frits bahwa setiap provinsi di Indonesia memiliki kesempatan untuk memerintah sendiri. Frits bahkan menegaskan bawah realisasi hak menentukan nasib sendiri tidak mungkin tanpa pemerintah Indonesia.
“Dia (Frits) beranggapan Papua akan memperoleh status sendiri apabila diserahkan kepada Indonesia,” kata Bernarda Meteray dalam disertasinya yang dibukukan dalam Nasionalisme Ganda Orang Papua.
Kecewa dengan Indonesia
Pada 15 Agustus 1962, Indonesia memenangkan sengketa Irian Barat melalui perjanjian New York. Tidak lama setelah itu, Frits kembali ke Belanda dan tinggal beberapa hari untuk menyelesaikan urusan pribadi. Setelah menyelesaikan urusannya, Frits kembali lagi ke Indonesia. Frits sempat menjadi penasihat Menteri Luar Negeri Soebandrio dalam Sekretariat Urusan Irian Barat.
“Frits Kirihio kemudian berjuang untuk meyakinkan dunia bahwa West Nieuw Guinea merupakan bagian dari Indonesia, dan ia diangkat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara,” tulis Johannes Rudolf Gerzon Djopari dalam tesisnya yang dibukukan Pemberontakan Organisasi Indonesia Papua Merdeka.
Baca juga: Kemenangan yang Ternoda di Papua
Arsip Nasional Belanda yang menyimpan potret Frits pada 19 Agustus 1962 menuliskan deskripsi bernada antipati. Frits Kirihio disebut sebagai mahasiswa Papua kontroversial, yang menyebabkan kehebohan setelah perjalanannya ke Jakarta. Oleh koleganya sesama putra Papua yang pro Belanda, Frits mendapat cap pengkhianat.
Frits mengemban amanat sebagai anggota MPRS hingga tahun 1967. Dalam Keputusan Presiden Nomor 222 tahun 1967 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto itu, Frits diberhentikan dengan hormat. Menurut Drooglever, Frits kecewa dengan cara pemerintah Indonesia menangani Papua, khususnya dalam kebebasan berpendapat sehingga dia mulai melontarkan kritik.
Baca juga: Putra Irian Pro Penyatuan
Setelah purnabakti dari pemerintahan Indonesia, Frits berkhdimat sebagai aktivis Gereja Kristen Injil (GKI) Papua. Frits mengisi waktunya dengan berkhotbah dan mengabdikan diri untuk kemajuan masyarakat Papua. Di senjakalanya, Frits sempat menetap di Jakarta selama sepuluh tahun. Dia pernah menjadi asisten Freddy Numberi, putra Papua yang menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan lalu Menteri Perhubungan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Frits Maurits Kirihio wafat di Jayapura pada 12 Agustus 2018. Dia meningalkan nama harum sebagai orang Papua pertama bergelar sarjana, salah satu putra terbaik yang dimiliki Papua. Sosok ini pula yang punya jasa bagi Republik Indonesia dalam penyatuan Papua namun sayangnya terlupakan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar