SETELAH dilanda kegelapan akibat listrik padam beberapa hari sebelumnya, Jayapura kembali dilanda musibah Jumat (6/10/23) kemarin. Kali ini berupa gempa bumi. Detik.com, yang mengutip Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), melaporkan bahwa gempa yang berkekuatan magnitudo 3,3 di Kabupaten Jayapura itu terjadi pada pukul 16.56 WIT. Pusat gempa berada di kedalaman 10 kilometer.
Jayapura sendiri merupakan ibukota Provinsi Papua. Sebelum ada pemekaran provinsi di pulau terluas kedua di Indonesia itu, Jayapura menjadi satu-satunya ibukota provinsi di sana. Sejarah Jayapura merentang sejak zaman penjajahan Belanda.
Ketika Papua masih dikuasai Belanda, kota tersebut merupakan bagian dari Keresidenan Ternate. Pemerintah kolonial Belanda menempatkan seorang wakilnya untuk Papua di Manokwari. Pejabat tersebut tinggal di sana dengan satu detasemen tentara Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).
Pemerintah kolonial berupaya membuka wilayah Papua dengan membangun pos-pos pemerintahan. Sekitar September 1909, setelah dirilisnya Gouverment Besluit (keputusan pemerintah) nomor 4 tanggal 28 Agustus 1909, satu pasukan KNIL diberangkatkan ke Youtefa, sekitar Abepura. Rombongan itu dipimpin Kapten Infanteri Frans Jonathan Pieter Sachse.
“Dari sana mereka segera membuat peta daerah setempat dan melakukan kegiatan eksplorasi secara terbatas. Secara umum Komisi Penentuan tapal batas dipimpin oleh Letnan Laut Kelas Satu JLH Luymans, sedangkan Kapten Sachse bertindak sebagai pembantu bidang keamanannya,” catat Herman Renwarin dan John Pattiara dalam Sejarah Sosial Daerah Irian Jaya dari Hollandia ke Kotabaru 1910-1963.
Rombongan itu mula-mula membuat bivak di aliran Sungai Anafre (Nubai) yang –berasal dari Pegunungan Cycloop– kering. Lokasi itu, menurut Yusak Laksmana dalam Jelajah Jayapura, kini menjadi kawasan Taman Imbi atau gedung Sarinah. Penghuni pertama daerah itu adalah 4 perwira, 80 prajurit, 60 kuli pikul, dan para istri serta anak-anak para serdadu.
Kamp itu selesai mereka buat pada 7 Maret 1910. Lantaran di Papua Nugini yang dikuasai Inggris terdapat Germaniahoek alias Pojok Jerman, maka Kapten Sasche berusaha menonjolkan identitas kebelandaan di sana dengan memberinya nama Hollandia.
“Keadaan mereka setelah tiga bulan pertama adalah: banyak menderita malaria dan 30 orang penderita beriberi,” catat Herman Renwarin dan John Pattiara.
Di tempat baru itu, pilihan makanan mereka sangat terbatas. Mereka hanya bisa makan nasi dengan sayur daun-daun dan sop burung kakaktua.
Kapten Sasche, yang lahir di Gombong pada 11 Maret 1870, tidak lama di sana –kariernya terus menanjak; pada 1925 dia naik pangkat dari Kolonel ke Jenderal Mayor KNIL dengan jabatan barunya panglima Divisi II KNIL yang berpusat di Magelang. Pada 1910, dia digantikan Kapten JFE Klooster. Para serdadu KNIL itu tak hanya berdiam di sekitar Taman Imbi saja, mereka juga berpatroli hingga ke Sungai Keerom dan Danau Sentani. AW Siagian dalam Jayapura, Dulu, Sekarang dan Esok mencatat, akhir tahun itu seluruh detasemen dipindahkan ke Manokwari. Sebuah tangsi polisi didirikan di sana. Begitu juga sebuah gedung penjara. Pendeta Protestan FJ Van Harselt lalu datang-pergi Hollandia secara berkala. Pada 1913, sebuah gereja didirikan di Debi. Rumah pejabat dan dokter juga kemudian berdiri. Kapal dari Koninklijk Packetvaart Maatschappij akhirnya sering singgah ke daerah ini. Meski begitu, perkembangan permukiman penduduk berjalan lambat.
Pada 1940, jumlah penduduk Hollandia masih 300 jiwa. Ketika Perang Dunia II meletus, daerah Hollandia menjadi salah satu palagan. Angkatan Laut Jepang pernah menduduki sekitar Hollandia, hingga orang yang tinggal di Hollandia mencapai 12 ribu jiwa. Pada 1944, tentara Amerika dengan mengerahkan sekitar 55 ribu prajurit dan alat perangnya berhasil menduduki Papua, termasuk Hollandia. Pada pukul 10.00 pagi hari pertama penyerbuan, 22 April 1944, Jenderal McArthur berhasil mendarat di Pantai Hamadi.
Sejarah perang yang melibatkan Belanda dan Amerika membuat kota kecil itu punya nama daerah unik. Ada yang bernama Base G (Tanjung Ria), Armu Post Office (disingkat APO di tengah kota, Dok II, Dok IV, Dok VII dan dulu ada yang bernama Kota Nica. Sebelum Nederland Indies Civil Administration (NICA) bekerja di beberapa kota di Jawa dan Sumatra, NICA Belanda berpangkalan dulu di daerah Kota Nica tersebut. Di situ terdapat sekolah calon pegawai pamongpraja yang dibina NICA, bernama Bestuur School. Kota Nica kemudian menjadi Kampung Harapan.
Setelah 1946 ketika tentara telah Amerika pergi, Belanda menguasai kembali Papua. Kondisi de facto itu terus bertahan hingga awal 1960-an kendati protes kepemilikan telah keras disuarakan Indonesia sejak pertengahan 1950-an. Keadaan mulai berubah pada 1962. Akibat kampanye Trikora yang dilancarkan Indonesia untuk merebut Papua dengan kekuatan senjata, PBB yang dimotori Amerika turun tangan. Sengketa Indonesia-Belanda akhirnya masuk ke meja perundingan. Berdasarkan New York Agreement, pihak akhirnya Belanda menyerahkan Papua kepada otoritas badan PBB United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962. Pelan-pelan, Papua pun masuk kendali Republik Indonesia.
Sekira sebulan sebelum Papua diserahkan Belanda ke UNTEA, seperti diberitakan Nieuw Guinea Koerier tanggal 22 September 1962, Frans Jonathan Pieter Sachse meninggal dunia pada 21 September 1962 di Den Haag dalam usia 92 tahun. Beberapa tahun setelah Sachse meninggal dunia dan Papua makin dikuasai RI, nama Hollandia yang dulu disematkannya pada ibukota itu berubah. Sektiar 1964, Presiden Sukarno –yang berusaha membuang “bau-bau” Belanda pada banyak nama di Indonesia– mengganti Hollandia menjadi Sukarnapura. Sekitar 1968, rezim Orde Baru pimpinan Soeharto –yang pada 1962 ditunjuk Presiden Sukarno memimpin Operasi Mandala untuk merebut Papua– berusaha membuang pengaruh Sukarno di pusat pemerintahan Papua itu dengan mengganti nama Sukarnapura menjadi Jayapura.