PERINGATAN kematian Sun Yat Sen dihelat orang-orang Tionghoa Makassar di sebuah sekolah di daerah Baloeng pada 1925. Tak hanya dihadiri 200 orang Tionghoa, sekira 30 orang bumiputra juga hadir di sana. Salah satunya yang bernama Paiso.
Namun ketika di sana, Paiso langsung diamankan polisi. Paiso dikaitkan dengan komunisme. Meskipun menurut Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche Pers, 1925 no. 20 (14 Mei 1925) dalam pertemuan itu komunis sedang tidak menjadi bahasan, Paiso –yang disebut-sebut sebagai orang Jawa kelahiran 1894– sudah kadung dianggap orang berbahaya.
Paiso, disebut Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 8 Februari 1924, adalah sekretaris Sarekat Rakjat daerah Makassar. Sarekat Rakjat Makassar itu berdiri pada November 1923. Ketuanya Alibin, seorang guru sekolah milik Sarekat Islam yang berasal dari Minangkabau; Wakilnya Mohamad Ali, pekerja di kantor syahbandar Makassar; dan bendaharanya Abdul Maki. Sarekat Rakjat terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Baca juga: Digoelis Menanti Kapal Putih
Paiso, menurut Bataviaasch Nieuwsblad edisi 10 Oktober 1927, menjadi sekretaris Sarekat Rakjat sekaligus sekrataris PKI di Makassar. Mantan juru tulis untuk asisten residen dan untuk jaksa di kantor pengadilan Merauke itu setelah menjadi sekretaris pada awal 1926, sudah menjadi ketua PKI Makassar.
Paiso muda adalah musuh pemerintah kolonial Belanda. Ucapan politiknya yang “tajam” tentang pemerintah lalu diganjar hukuman. Koran Het Volk tanggal 26 Januari 1926 menyebutnya diganjar hukuman 18 bulan penjara, sementara dua kawannya: Aminoedin dihukum 12 tahun dan Salim divonis 10 bulan penjara. Bersama Mohammad, kata koran Njala tanggal 4 Maret 1926, Paiso Saleh lalu dibawa ke Batavia dengan kapal laut Van den Bosch. Dengan tangan terbelenggu, mereka dimasukkan ke kapal ketika buruh sedang makan siang dan dibawa ke pelabuhan dengan mobil tertutup.
Kendati ditahan sebelum PKI memberontak, Paiso disatukan dengan pemimpin PKI yang lain setelah PKI berontak. Paiso kemudian ikut dibuang ke Boven Digoel. Kala itu dia sudah punya anak perempuan bernama Moenasiah. Moenasiah lahir pada 19 Oktober 1924, ketika Paiso sudah sibuk dalam pergerakan nasional.
“Paiso yang menjadi sekretaris Perguruan Taman Siswa dan terkenal sebagai seorang pejuang yang memberikan seluruh hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia,” kata mantunya, Manai Sophiaan, dalam Apa yang Masih Teringat.
Baca juga: Digoelis Masuk Parlemen
Setelah bebas dari kamp interniran Boven Digoel, Paiso tetap aktif dalam pergerakan nasional yang jalannya adalah kerakyatan. Keaktifannya itu membuatnya dikenal banyak orang, salah satunya anak bangsawan Barru bernama Andi Mattalatta. Kata Andi Mattalatta, Paiso sering datang ke rumahnya.
Paiso mulanya tidak tahu bahwa Andi yang ini anak raja. Setelah tahu bahwa Andi yang ini adalah raja, Paiso memberikan nasihat penting padanya.
“Anakda Herman, bagaimana bisa engkau mau menjadi alat penjajah padahal engkau seorang nasional? Kalau nanti menjadi raja di Barru, engakau lah yang memungut belasting (pajak orang) dan Landrente (pajak tanah) dan kemudian menyerahkan kepada orang Belanda yang mengirim uang-uang itu ke pemerintahnya di Negeri Belanda sana. Jadi engkau lah yang menghisap keringat dan memakan daging rakyatmu untuk kesenangan Belanda. Engkau namanya saja raja di Barru, tetapi sebenarnya engkau cuma pegawai gajian dari penjajah Belanda,” kata Paiso kepada Mattalatta seperti dicatat Andi Mattalatta dalam Menata Siri dan Harga Diri.
Baca juga: Digoelis Jadi Artis
Mattalatta mendengarkan betul nasihat itu. dia akhirnya memilih jadi pegawai biasa tapi terus bergiat dalam pergerakan nasional. Belakangan, Mattalatta masuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Ayah penyanyi Andi Meriam Mattalatta itu berperan penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Sulawesi Selatan.
Di masa pendudukan Jepang, Paiso sudah mendapat mantu. Anaknya Moenasiah dinikahi seorang guru Taman Siswa di Makassar bernama Manai Sophian (1915-2003), yang juga dikenal sebagai tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI). Pasangan itu kemudian memiliki enam anak. Anak kedua mereka yang kelahiran 26 April 1944 bernama Sophan Sophian, aktor kondang yang kemudian menjadi politisi PDIP. Setelah Indonesia merdeka, Paiso tinggal di Makassar dan kembali bebas memimpin PKI di sana.
“Selain Paiso, tak banyak tokoh PKI Sulawesi Selatan yang menarik perhatian,” catat Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966.
Setelah itu, tak banyak kisah tentangnya. Dia tentu tak dianggap penting lagi setelah 1965 meski pernah berjuang melawan Belanda.*