Digulis Jadi Artis
Kapok dibuang ke Boven Digul. Mustajab Budrasa memilih panggung sandiwara dan film setelah bebas.
Untuk menyingkirkan para pemberontak, Belanda menyiapkan Boven Digul. Lokasinya yang kelilingi hutan di tengah-tengah Pulau Papua dan sungai-sungai penuh buaya membuat para tahanan hampir mustahil untuk kabur. Selain itu malaria dan isolasi dari peradaban manapun diharapkan membuat para pembangkang kapok.
Banyak dari orang-orang buangan tetap pada pendiriannya. Banyak pula yang menyerah atau pura-pura jinak agar dipulangkan ke kampung halaman. Mereka yang berhasil bebas dari Digul ada yang tetap melawan kolonialisme, ada pula yang pensiun karena kapok dibui. Salah satunya adalah Mustajab Budrasa, digulis yang jadi artis.
Mustajab Budrasa lahir di Tegal pada 13 April 1901. Menginjak remaja, ia masuk ke Sekolah Guru Normal dan kemudian lulus pada 1918. Ia lalu menjadi guru sekolah dasar di Pekalongan hingga 1925.
Baca juga: Kecil di Digul Muda di Buru
Surat kabar Merdeka, menyebut karena bercita-cita kuat untuk mencapai kemerdekaan, Mustajab lalu terjun dalam gerakan Sarekat Rakyat, pecahan Sarekat Islam yang mendukung Semaoen. Ia dipilih sebagai ketua di daerah Tegal.
"Berhubung dengan itu ia lalu meninggalkan kalangan perguruan dan dengan adanya pemberontakan pada tahun 1926, oleh pemerintah jajahan, Sdr. Moestajab diasingkan ke Boven Digul,” tulis Merdeka, 12 Februari 1947.
Pada 1931, Mustajab dibebaskan dari Digul. Setelah bebas dari Boven Digul, ia bergabung dengan sandiwara Dardanella. Bersama Dardanella, ia ikut dalam berbagai pementasan ke Malaya, Muangthai, hingga India pada 1934.
Pada 1936, Mustajab membentuk sandiwara Bolero bersama rekannya Bachtiar Effendy. Ketika pecah Perang Dunia II, ia sedang berada di Singapura bersama sandiwara Bolero. Ia baru bisa kembali ke tanah air setelah perang mereda pada akhir 1945.
Setelah kembali dari Singapura, Mustajab bergabung dengan sandiwara Dewi Mada. Tak lama, ia keluar dan bergabung dengan sandiwara Bintang Surabaya dan Irama Masa. Dalam dua kelompok sandiwara itu, ia didapuk menjadi pimpinan.
Karier sandiwara Mustajab cukup pajang. Setelah berkali-kali pindah kelompok sandiwara, akhirnya ia bergabung dengan sandiwara Pantjawarna dan Bintang Timur pimpinan Djamaludin Malik. Oleh Djamaludin Malik, ia diberi kepercayaan untuk memimpin Pantjawarna.
Baca juga: Sontani, Pelopor Pelarian dari Kamp Boven Digul
Pada 1949, Mustajab mulai masuk ke dunia film. Film pertama yang ia bintangi berjudul Terang Bulan, rilis pada 1950.
"Barangkali telah jemu dengan sandiwara, yang memang pada waktu itu kurang mendapat perhatian yang layak dari masyarakat, Pak Mustajab coba-coba main di film. Memang waktu itu, film di Indonesia telah mulai dikenal masyarakat," tulis Minggu Pagi, 25 Januari 1959.
Semasa aktif di dunia film, Mustajab mendorong para pekerja film untuk turut menjadi alat propaganda revolusi Indonesia dan perebutan Irian Barat. Ia belajar dari pengalaman bahwa pada masa pendudukan Jepang, seniman-seniman dimanfaatkan sebagai alat propaganda politik.
"Saran yang demikian itu dikatakan oleh Pak Mustajab, karena tampak adanya tendensi bahwa pemerintah yang berwenang belum menaruh perhatian ke sana (ranah kebudayaan)," sebut Minggu Pagi.
Berdasarkan arsip Sinematek, dekade 1950-an menjadi tahun paling produktif bagi Mustajab. Ia muncul dalam film Djembatan Merah (1950), Ajah Kikir 1951), Si Mintje (1952), Lagu Kenangan (1953), Kasih Sajang (1954), hingga Kasih dan Tjinta (1956). Setidaknya, 32 film telah ia bintangi pada dekade ini.
Mustajab tetap aktif pada 1960-an dengan membintangi Djakarta By Pass (1962), Kami Bangun Hari Esok (1963), dan empat film lainnya. Sedangkan pada 1970-an ia juga mendapat peran dalam film Ratu Amplop (1974).
Baca juga: Jejak Film dalam Poster
Salah satu anak Mustajab, yakni Endang Kusdiningsih, mengikuti jejak ayahnya sebagai artis. Sebelumnya, Endang juga pemain drama dan sandiwara seperti ayahnya. Endang membintangi film Tarmina (1954) dan terpilih sebagai aktris pendukung terbaik dalam Festival Film Indonesia yang pertama pada 1955.
Endang kemudian berperan dalam film Hadiah 10.000 (1955) dan Kasih dan Tjinta (1956). Namun, karier Endang tak sepanjang ayahnya yang masih aktif hingga 1977. Endang pensiun dari dunia perfilman selepas bermain di film Malam Tak Berembun (1961).
Film Manager Hotel (1977) menjadi film terakhir Mustajab sebelum meninggal dunia pada tahun yang sama. Tepatnya pada 12 September 1977, Mustajab Budrasa meninggal dunia di rumahnya di Jakarta. Tak banyak yang mengetahui berita duka ini dari kalangan pekerja film. Hanya dua orang artis film, yakni aktor Darussalam dan istrinya, Netty Herawaty, yang hadir pada hari pemakamannya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar